Konsep Indo-Pasifik ASEAN Akan Diperkenalkan kepada Negara Mitra
Presiden Joko Widodo kemungkinan akan memperkenalkan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik kepada negara-negara mitra dalam KTT Ke-35 ASEAN pada 2-4 November 2019 di Thailand.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Indonesia Joko Widodo kemungkinan akan memperkenalkan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik kepada negara-negara mitra dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-35 ASEAN pada 2-4 November 2019 di Thailand. Indonesia juga akan membahas sejumlah isu di sektor ekonomi, bencana alam, dan kemanusiaan.
Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik merupakan inisiatif Indonesia. Dalam konsep ini, tertera penegasan sentralitas ASEAN sebagai prinsip dasar untuk mendukung kerja sama, menjaga perdamaian, dan memperkuat budaya dialog di Indo-Pasifik. Konsep Indo-Pasifik bertujuan untuk menjaga perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jose Antonio Morato Tavares dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/10/2019), mengatakan, pembahasan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik merupakan tindak lanjut setelah ASEAN mengumumkan penyusunan konsep ini tahun lalu. ASEAN mengadopsi pandangan itu dalam KTT Ke-34 ASEAN di Thailand, Juni 2019.
Ini saatnya untuk menyampaikan kepada negara-negara mitra ASEAN secara luas mengenai pandangan tentang Indo-Pasifik.
”Indonesia sudah sampaikan sedang menyusun pandangan itu kepada mitra tahun lalu. Jadi, ini saatnya untuk menyampaikan kepada negara-negara mitra ASEAN secara luas mengenai pandangan tentang Indo-Pasifik,” ujar Jose.
Di sela-sela KTT ASEAN, ASEAN akan menggelar KTT Asia Timur (EAS). Negara-negara mitra yang akan hadir adalah Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Rusia.
Jose melanjutkan, Presiden Jokowi kemungkinan akan membahas mengenai Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang mengatur perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik dalam KTT tersebut. ASEAN sebelumnya sepakat untuk menyelesaikan perundingan RCEP pada akhir 2019 karena gejolak perekonomian global akibat perang dagang AS-China.
”Presiden juga diperkirakan membahas isu Rakhine di Myanmar, manajemen bencana alam, serta limbah plastik atau B3 (bahan berbahaya dan beracun). Selain itu, Presiden juga akan melakukan pertemuan bilateral dengan Selandia Baru, India, Jepang, dan Sekretaris Jenderal PBB,” kata Jose.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah menyebutkan belum dapat memastikan isu lain yang akan diangkat oleh para pemimpin ASEAN. Namun, isu terorisme dan kejahatan transnasional bisa menjadi agenda bahasan lainnya karena seluruh negara peserta KTT menghadapi tantangan keamanan yang sama.
Isu Rohingya
Jose melanjutkan, mengenai penyelesaian isu Rohingya, upaya saat ini terhambat karena proses repatriasi belum berjalan. Indonesia akan terus mendorong agar repatriasi terwujud.
Diperlukan penyaluran informasi yang lebih lancar kepada pengungsi untuk membangun rasa percaya.
”Memang repatriasi terjadi karena ada sejumlah faktor, seperti keamanan. Selain itu, diperlukan penyaluran informasi yang lebih lancar kepada pengungsi untuk membangun rasa percaya. Kemungkinan hal ini akan ditekankan oleh presiden,” ucap Jose.
Indonesia, lanjutnya, berkomitmen untuk membantu Myanmar dalam menyediakan kebutuhan dasar dan penghidupan pengungsi ketika tiba di lokasi penempatan setelah repatriasi. Indonesia dapat menyediakan pelatihan vokasi di bidang pertanian dan kerajinan kayu.
Dihubungi terpisah, peneliti senior ISEAS Yusof Ishak Institute, Moe Thuzar, menyampaikan, diplomasi Indonesia dalam menangani masalah Rohingya telah memfasilitasi pengakuan Myanmar terhadap peran ASEAN dalam merespons krisis.
”Myanmar telah menegaskan akan bekerja dengan ASEAN dalam masalah repatriasi dan kemanusiaan terkait Rohingya. Upaya diplomatik bilateral Indonesia untuk Myanmar, dalam konteks ’ASEAN membantu ASEAN’, merupakan bagian penting dari itu,” ujarnya.
Ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari persekusi yang terjadi di Rakhine, Myanmar, pada 2017. Mereka kini tinggal sebagai pengungsi di sejumlah negara, antara lain Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan. Bangladesh dan Myanmar sepakat melakukan repatriasi pada November 2017.