JAKARTA, KOMPAS —Lokalitas harus dilihat sebagai realitas yang memperkaya bahasa Indonesia, bukan sebaliknya, dianggap merusak tatanan bahasa Indonesia baku. Sebagai bahasa tutur, bahasa Indonesia terbuka terhadap kemungkinan pengucapan yang spesifik, yang dikenal dengan dialek.
Dalam tiga tahun terakhir, sebagaimana dilaporkan Kompas, Jumat (25/10/2019), jumlah entri kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercatat 328.836 dengan maknanya mencapai 384.635. Entri kosakata itu, antara lain, berasal dari bahasa gaul dan bahasa daerah.
Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar, Selasa (29/10), mengatakan, lokalitas yang terjadi dalam bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bahasa ibu. ”Tak ada yang salah dengan itu. Kekhasan lokal tak boleh hilang,” ujar Dadang.
Keberagaman dalam bahasa harus tetap dijaga.
Ia menambahkan, jika terdapat perbedaan kosakata atau aksen antara satu daerah dan daerah lain di Indonesia, itulah yang membuat bahasa Indonesia menjadi menarik. ”Keberagaman dalam bahasa harus tetap dijaga,” kata Dadang.
Budayawan dan pemerhati bahasa Melayu, Haji Abdul Malik, mengatakan, ragam bahasa Indonesia di sejumlah daerah memiliki variasi masing-masing. Variasi itu disebut dengan dialek karena bukan merupakan bahasa yang sama sekali berbeda. Dengan demikian, jika masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, acap menggunakan kata tambahan ”mi” atau ”ki” ketika bertutur, hal itu merupakan dialek setempat.
Begitu juga halnya dengan masyarakat Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang dengan kecepatan intonasi tertentu kerap menyingkat kata, seperti ”sa” untuk ”saya” atau ”pi” untuk ”pergi”. Kata ”dorang” bisa dipahami sebagai ”dia orang” oleh masyarakat di Indonesia bagian barat. Penyingkatan kata tak hanya terjadi di daerah Indonesia bagian timur, tetapi juga di bagian barat dan tengah, misalnya di Kepulauan Natuna.
”Variasi seperti itulah yang memperkaya bahasa Indonesia, jangan dihilangkan,” kata Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah), Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ini. Dialek semacam itu umum terdengar dalam percakapan nonformal, misalnya obrolan di pasar, di angkutan umum, di kedai kopi, atau juga di rumah. Namun, dalam forum resmi, seperti rapat di kantor, seminar, atau pengajaran di sekolah, dialek itu meluntur, digantikan dengan langgam yang lebih baku.
Variasi itu, kata Abdul Malik, dipengaruhi oleh bahasa daerah setempat, atau bahasa ibu penuturnya, yang lantas menjadi kebiasaan. Adakalanya penerima pesan tak mengerti dengan dialek yang diucapkan pemberi pesan. Jika hal itu terjadi, biasanya mereka secara otomatis akan saling beradaptasi, baik melambatkan intonasi maupun mengubah menjadi dialek yang lebih umum.
Setiap daerah punya dialek berbeda, tetapi belum diketahui mengapa disebut bahasa Melayu, bukan Indonesia.
Keberagaman suku di Indonesia, termasuk di Kota Kupang, menurut Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Nusa Cendana, Kupang, Simon Sabon Ola, memunculkan dialek lokal. Di Kupang, warga menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu Kupang. Begitu juga warga di Larantuka, Flores, menyebut dialek sebagai bahasa Melayu Larantuka. ”Setiap daerah punya dialek berbeda, tetapi belum diketahui mengapa disebut bahasa Melayu, bukan Indonesia,” ujar Simon.
Simon berasumsi, persebaran dialek-dialek di wilayah NTT lebih disebabkan oleh jalur perdagangan antarpulau dari Sumatera ke NTT. Beberapa kosakata dalam bahasa Melayu Kupang memiliki kesamaan dengan kosakata di Manado, Sulawesi Utara, atau Ambon, Maluku.
Ia mencontohkan penggunaan suku kata ”pi” atau ”tho” pada setiap akhir kalimat di Manado sama dengan di NTT. Selain itu, kata ”beta” dan ”katong” yang digunakan di NTT sama dengan di Ambon. Kecenderungan itu termasuk di dalam wilayah dialek regional.
Uniknya, warga Kupang memiliki kecenderungan memotong kata. Kata ”pergi” dipotong menjadi ”pi” dan ”saya” menjadi ”sa”, serta ”sonde” menjadi ”son”. Begitu pula ”sudah” menjadi ”su” dan ”juga” menjadi ”ju”. Kecenderungan pemotongan kata ini sangat mungkin dipengaruhi pergaulan antarsuku yang mendiami wilayah Kota Kupang dan sekitarnya.
Di Kota Makassar, tercipta bahasa pergaulan yang disebut sebagai bahasa Melayu Makassar. Bahasa ini sesungguhnya bercikal bakal dari bahasa Indonesia yang kemudian mengalami pelokalan untuk mewadahi bahasa-bahasa dari empat suku terbesar di kota itu. Orang-orang Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar, menurut seniman Celebes Street Art Makassar, Farid Prasetya, ”terpaksa” menggunakan bahasa Melayu Makassar untuk berkomunikasi. Tanpa bahasa Melayu Makassar, keempat suku tidak akan bisa berkomunikasi, padahal mereka hidup berdampingan di kota yang sama.