Pro dan kontra kebijakan harus disudahi agar energi bangsa fokus untuk membangkitkan industri kelautan dan perikanan. Inilah momentum bagi pemerintah guna menyiapkan strategi yang efektif.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
Selama hampir sepekan menjabat, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menerima sejumlah usulan dan permintaan dari pelaku usaha perikanan. Para pelaku usaha, antara lain, mengusulkan pencabutan kebijakan larangan alih muatan kapal atau transshipment dan larangan penggunaan alat tangkap cantrang.
Kebijakan larangan alih muatan kapal dan larangan cantrang yang diterbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti hingga kini masih menuai pro dan kontra. Pelaku usaha perikanan menganggap kebijakan itu menghambat iklim usaha.
Bagi pihak yang kontra, larangan alih muatan kapal membuat biaya operasional penangkapan ikan menjadi tidak efisien. Alih muatan ke kapal pengangkut dinilai perlu demi efisiensi biaya dan menjaga mutu ikan. Kapal penangkap tidak perlu bolak-balik mendaratkan ikan ke pelabuhan setiap usai menangkap ikan.
Sementara itu, pelaksanaan larangan cantrang hingga kini masih mengambang. Sekalipun pemerintah sudah menerapkan masa transisi penghentian penggunaan alat tangkap harimau dan pukat tarik, termasuk cantrang, dogol, dan arad, penggunaan alat tangkap itu masih berlangsung.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, setidaknya 755 kapal cantrang di Jawa Tengah masih beroperasi dengan ukuran kapal di atas 30 gros ton (GT).
Kebijakan pemerintah melarang alih muatan kapal dan penggunaan alat tangkap cantrang berangkat dari maraknya pelanggaran. Penyelewengan itu antara lain alih muatan kapal ikan di tengah laut, ikan dilarikan ke luar negeri, dan hasil tangkapan tidak dilaporkan. Selain itu, penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl), termasuk cantrang dan sejenisnya, dimodifikasi menyerupai trawl sehingga berdampak menguras dan merusak sumber daya.
Komitmen pemerintah menjadikan laut sebagai masa depan bangsa membutuhkan langkah strategis untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan dengan pemanfaatan yang terkendali dan mampu menyejahterakan pelakunya. Pengawasan menjadi kata kunci.
Optimalisasi perangkat sistem monitor kapal (VMS), real time global positioning system, dan keberadaan pemantau (observer) di atas kapal, seperti disyaratkan organisasi pengawasan perikanan regional, diharapkan dapat memperkuat pengawasan dan mencegah praktik transshipment. Problemnya, jumlah observer sangat minim.
Saat ini, hanya ada 80 observer untuk memantau 410 kapal ikan besar atau ukuran di atas 30 GT. Jumlah observer itu hanya 1 persen dari total 7.987 kapal ikan berukuran di atas 30 GT yang wajib diawasi observer. Jumlah kapal itu belum termasuk kapal-kapal besar yang baru dibangun tanpa rekomendasi dan kapal yang datanya dimanipulasi dengan ukuran lebih kecil (mark down) yang ditaksir lebih dari 3.000 kapal.
Usulan pencabutan larangan transshipment dan larangan cantrang membutuhkan kajian matang agar tak berujung pada kebijakan emosional demi menyenangkan banyak pihak. Penertiban usaha perikanan butuh solusi. Namun, tanpa kejelasan aturan dan penguatan pengawasan, kebijakan itu hanya membuka celah penyimpangan baru.
Pro dan kontra kebijakan harus disudahi agar energi bangsa fokus untuk membangkitkan industri kelautan dan perikanan. Inilah momentum bagi pemerintah menyiapkan strategi yang efektif dengan mendengarkan masukan pemangku kepentingan yang kompeten.
Saatnya pemerintah membuktikan pengelolaan perikanan secara lestari sejalan dengan peningkatan kesejahteraan pelaku usaha perikanan dalam negeri. Kebangkitan industri perikanan harus mampu memastikan perikanan yang berkelanjutan dan kecukupan protein bagi generasi mendatang.