Pembahasan Anggaran dalam Bayang-bayang Waktu dan Defisit
Pembahasan anggaran tahun 2020 DKI Jakarta dilakukan dalam bayang-bayang defisit dari target pemasukan dan waktu yang begitu mepet. Anggaran harus disahkan paling lambat 30 November.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
Pembahasan anggaran tahun 2020 DKI Jakarta dilakukan dalam bayang-bayang defisit dari target pemasukan dan waktu yang begitu mepet. Anggaran harus disahkan paling lambat 30 November. Sementara banyak pembenahan harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan pemasukan daerah tahun ini yang masih kurang Rp 6,39 triliun.
Kondisi ekonomi yang lebih suram dari harapan mewarnai pembahasan rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI Jakarta 2020. Seperti sudah diberitakan, defisit Rp 6,39 triliun itu berasal dari dana bagi hasil dari pemerintah pusat yang belum tersalurkan ke Provinsi DKI Jakarta. Kondisi diperparah karena pemasukan pajak yang kurang dari target semula.
Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Faisal Syafruddin mengatakan, akibat kondisi tersebut, Silpa yang awalnya dipatok Rp 8 triliun dalam pembahasan anggaran terpaksa Rp 3 triliun. ”Akibatnya, cadangan dana untuk anggaran tahun depan berkurang,” katanya dalam rapat di Komisi C DPRD DKI Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Silpa adalah sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan, yaitu selisih antara surplus dan defisit anggaran dengan pembiayaan bersih (netto). Sementara pemasukan pajak yang terkoreksi terbesar terdapat pada mata bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Dari target pada Oktober sebesar Rp 7 triliun, saat ini BPRD DKI Jakarta baru mencatat pemasukan Rp 3,5 triliun dari sektor BPHTB. Pajak lain yang terkoreksi di antaranya dari sektor restoran dan parkir.
Selama sepekan lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun melakukan penyisiran anggaran dengan maksud efisiensi sesuai dengan realisasi pemasukan tersebut. Hasil efisiensi tersebut sempat dibahas di Komisi D DPRD DKI Jakarta pada Senin, tetapi pembahasan langsung dihentikan karena Komisi D menilai perlu ada dasar hukum untuk perubahan angka dalam rancangan KUA-PPAS tersebut.
KUA-PPAS yang diajukan pada Juli lalu didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 61 Tahun 2019 tentang Rancangan Kerja Perangkat Daerah 2020. Besarnya anggaran sekitar Rp 95 triliun.
”Perlu ada revisi aturan kalau rancangan KUA-PPAS yang diajukan juga revisi,” kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik saat rapat Komisi D DPRD DKI Jakarta, Senin lalu.
KUA-PPAS yang diajukan pada Juli lalu didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 61 Tahun 2019 tentang Rancangan Kerja Perangkat Daerah 2020. Besarnya anggaran sekitar Rp 95 triliun.
Di sisi lain, waktu pembahasan sudah sedemikian mepet. Revisi aturan dan anggaran akan membuat waktu semakin panjang. Selama dua hari terakhir, pimpinan DPRD DKI Jakarta terlihat memimpin langsung rapat di komisi, sebuah kejadian yang cukup langka.
Bahkan, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) DKI Jakarta yang dipimpin langsung Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah ikut rapat di Komisi C DPRD DKI Jakarta pada Selasa ini. Kehadiran Sekretaris Daerah langsung di rapat komisi pun merupakan hal yang langka sebab biasanya pemimpin TAPD hadir dalam rapat badan anggaran yang merupakan rapat besar dari rapat-rapat di tingkat komisi.
Terkait dihentikannya rapat di Komisi D, Saefullah mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak mengajukan rancangan KUA-PPAS baru. Rancangan yang diajukan masih sama, yaitu senilai Rp 95 triliun, sementara rancangan dengan nilai Rp 89,4 triliun hanya rencana kerja untuk mengantisipasi efisiensi. Karena itu, menurut Saefullah, tidak diperlukan peraturan gubernur revisi untuk itu.
”Itu tidak diajukan, sekali lagi itu hanya kertas kerja, catatan kolektif SKPD kira-kira berdasarkan kondisi ekonomi sekarang, kan kami mesti antisipasi. Jadi, karena dokumen tak ditarik, tak perlu surat gubernur baru,” katanya.
Sementara itu, di tengah bayang-bayang kondisi ekonomi yang tak secerah yang lalu itu, sejumlah mata anggaran masih mengundang pertanyaan dari para anggota dewan. Hal itu antara lain jalur sepeda yang naik dari Rp 4,4 miliar menjadi Rp 73 miliar, anggaran untuk tim gubernur untuk percepatan pembangunan yang juga naik, serta anggaran hibah untuk organisasi-organisasi masyarakat yang dinilai besarnya membebani keuangan daerah oleh anggota DPRD DKI Jakarta Wiliam Aditya Sarana, dari Partai Solidaritas Indonesia.