Publik Tanggapi Beragam Soal Kenaikan Iuran, Minta Pelayanan Dibenahi
Selama ini, antrean pasien JKN-KIS di rumah sakit seringkali mengular. Berbeda dengan pasien umum yang mendapatkan pelayanan cepat.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat menanggapi kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat secara beragam. Namun, satu hal yang mereka sepakati, perbaikan layanan jaminan kesehatan mesti dibenahi.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada 24 Oktober 2019. Iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) pun naik mulai tahun depan.
Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) golongan III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Adapun, untuk golongan II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 dan golongan I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. Besaran iuran tersebut akan mulai berlaku pada Januari 2020.
Fildaz Raeditya (28), wiraswasta asal Semarang, Jawa Tengah, selama ini terdaftar sebagai peserta JKN-KIS BP golongan III, mengaku tidak keberatan dengan kenaikan iuran tersebut. Menurutnya, nominal sebesar Rp 42.000 masih relatif masuk akal.
“Buat saya, kenaikan segitu masih terjangkau, asalkan pelayanannya diperbaiki juga,” ujar Fildaz, yang usahanya beromzet Rp 3 juta per bulan, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Fildaz menilai, layanan JKN-KIS selama ini belum cukup memuaskan. Ia berharap, kenaikan iuran ini juga dibarengi dengan perbaikan fasilitas kesehatan, baik Pada tingkat I, II dan III. Selain sistem rujukan berjenjang yang menurutnya berbelit, pasien JKN-KIS juga sering diperlakukan secara diskriminatif.
“Saya pernah mengantar kerabat berobat di Solo, dokter yang melayani JKN-KIS ternyata hanya melayani tiga hari dalam seminggu. Padahal, pasien umum dilayani setiap hari,” katanya.
Tukang ojek daring di Jakarta, Lehan (42), mengeluhkan kenaikan iuran JKN-KIS tersebut. Sebab, ia tidak hanya menanggung dirinya sendiri, tapi juga istri dan kedua anaknya. Saat ini, mereka terdaftar sebagai peserta BP golongan III.
Sebelumnya, ia hanya membayar iuran sebesar Rp 102.000 perbulan. Kini, ia mesti menanggung iuran sebesar Rp 168.000 perbulan. “Berat untuk orang berpenghasilan menengah ke bawah seperti saya. Tapi kalau sudah diputuskan, saya bisa apa?” ujar Lehan.
Selama ini, ia dan anggota keluarga belum pernah sekalipun menggunakan layanan JKN-KIS, kecuali saat persalinan anak keduanya. Meski tidak merasakan keluhan secara langsung, ia kerap melihat para pasien JKN-KIS terbengkalai di Puskesmas maupun rumah sakit.
Mitra ojek daring lainnya, Syarif (42), berharap agar pelayanan pasien JKN-KIS disamakan dengan pelayanan pasien umum. Selama ini, antrean pasien JKN-KIS di rumah sakit seringkali mengular. Berbeda dengan pasien umum yang mendapatkan pelayanan cepat.
“Sekarang sudah dinaikkan, jadi samakan, dong, pelayanannya. Selama ini kalau penyakitnya ringan sering disepelekan,” kata peserta JKN-KIS PBI tersebut.
Dede Padila (37), karyawan swasta salah satu perusahaan swasta di Kuningan selama ini terdaftar sebagai peserta JKN-KIS PPU. Baginya, kenaikan iuran tidak menjadi soal karena tidak akan ia rasakan secara signifikan.
Kendati demikian, ia menganggap, kenaikan iuran untuk peserta nonpenerima bantuan cenderung memberatkan. Sebab, kelompok tersebut sebagian besar berasal dari kalangan pedagang, buruh atau masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
“Mereka pasti merasakan keberatan, apalagi yang memiliki banyak anggota keluarga,” ujarnya.
Dikaji ulang
Ketua Forum Warga Jakarta Azas Tigor Nainggolan mengatakan, kenaikan iuran JKN-KIS untuk PBPU sebaiknya dikaji ulang. Kelompok ini dianggap sebagai korban dari sengkarut defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selama 6 tahun terakhir.
“Saya sendiri punya tiga anggota keluarga yang terdaftar golongan I. Jadi, saya harus membayar Rp 640.000 perbulan,” katanya.
Menurut Tigor, sebagian besar masyarakat akan berpikir untuk menurunkan golongan kepesertaan mereka. Selain itu, banyak masyarakat yang juga akan menunggak pembayaran.
Tigor menambahkan, menaikkan iuran bukan satu-satunya jalan untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Pemerintah bisa menambal defisit tersebut dengan memanfaatkan cukai rokok.
Menurutnya, penyakit-penyakit katastropik yang menghabiskan biaya tinggi untuk JKN-KIS, sebagian besar karena efek rokok. “Biaya untuk pengobatan karena rokok cukup tinggi, jadi kenapa tidak dibebankan saja pada cukai tersebut,” tambahnya.