Sekolah untuk Yang Terabaikan
Sambil menyelempangkan proyektor, Amelia Dwi Putri (24) berjalan menyusuri gang sesempit 1 meter antara tembok pagar Stasiun Senen dan deretan unit tempat usaha di Jakarta Pusat, Sabtu (26/10/2019).
Mengamen, memulung, dan membantu orangtua berjualan. Itulah beberapa keseharian peserta didik Sekolah Bingkai Jalanan. Namun, dua kali sepekan, ketika kelas dimulai, jiwa-jiwa yang terabaikan ini menanggalkan keseharian mereka sejenak untuk sepenuhnya kembali ke kodrat sebagai anak-anak.
Sambil menyelempangkan proyektor, Amelia Dwi Putri (24) berjalan menyusuri gang sesempit 1 meter antara tembok pagar Stasiun Senen dan deretan unit tempat usaha di Jakarta Pusat, Sabtu (26/10/2019). Di antara tempat usaha itu, di tengah lingkungan tak tertata, ada unit kontrakan dengan dua pintu gulung yang masih tertutup rapat, yang di depannya sejumlah anak dan ibu sudah menunggu.
Amel membuka salah satu pintu gulung sehingga isi ruangan terungkap: rak berisi buku, papan tulis, dinding dengan cap-cap berbentuk tangan berwarna-warni, serta lima kipas angin untuk sedikit mengurangi rasa gerah saat ruang 6 meter x 6 meter ini dipadati puluhan anak. Inilah wajah Sekolah Bingkai Jalanan.
”Ayo, Neng. Yang lainnya mana?” sapa Amel kepada salah satu anak yang ditemuinya. Perempuan berhijab ini merupakan salah satu sukarelawan pengajar di Bingkai Jalanan, yang Sabtu itu mendapat giliran mendampingi anak-anak peserta didik untuk belajar. Proyektor disiapkannya untuk menambahkan sajian video dalam pembelajaran agar kelas makin atraktif bagi para anak.
Berbaris di gang sebelum pelajaran dimulai adalah tradisi wajib bagi peserta Sekolah Bingkai Jalanan. Hasil penghitungan, ada 33 anak berbagai usia yang datang, mulai dari anak balita hingga remaja tanggung. Setelah itu, satu per satu memasuki kelas setelah sebelumnya melepas alas kaki mereka. Amel meminta mereka menata sandal-sandal mereka agar rapi, tetapi tetap saja sandal-sandal itu ditinggalkan dalam keadaan berantakan.
Untungnya, Bingkai Jalanan punya anak-anak rajin yang senang hati membantu. Muhammad Arianto (12), misalnya, dengan sukarela masuk paling akhir untuk terlebih dahulu merapikan sandal teman-temannya. ”Iya, biar kelasnya cepat dimulai,” ucap siswa kelas VI sekolah dasar itu.
Baca juga: Jeratan Kemiskinan Anak
Beberapa rekan Arianto lainnya membantu Amel menggelar tikar dan karpet untuk duduk lesehan. Kelas memang diselenggarakan tanpa meja dan bangku. Dengan perlengkapan seadanya, tetapi dengan semangat membuncah, anak-anak hari itu menyimak materi yang sudah disiapkan Amel, kali ini tentang gunung dan letusan gunung berapi.
Kelas memang diselenggarakan tanpa meja dan bangku. Dengan perlengkapan seadanya, tetapi dengan semangat membuncah, anak-anak hari itu menyimak materi yang sudah disiapkan Amel, kali ini tentang gunung dan letusan gunung berapi.
Anak-anak itu datang dari keluarga kurang mampu yang tinggal di permukiman padat penduduk ataupun kampung kumuh di Senen dan sekitarnya. Ada pula yang biasa bermalam di emperan. Kehidupan di jalanan akrab dengan keseharian. Keceriaan, sopan santun, dan keaktifan dalam belajar di kelas Bingkai Jalanan hanya selubung terhadap aneka masalah hidup yang mereka tanggung sehari-hari.
Meski demikian, mereka membuktikan bahwa prestasi tidak anti terhadap kemiskinan, asalkan ada usaha dan dibantu kepedulian insan lain. Elsa Zaini Risma Aprilia (11), misalnya. Ia setiap hari ke lapak pemulung milik orangtuanya di dekat Stasiun Kemayoran, membantu ibunya membersihkan gelas-gelas plastik hasil pengumpulan ayahnya. Gelas-gelas yang sudah bersih akan dijual untuk menambah pemasukan keluarga.
Di waktu senggang kala membersihkan limbah, Elsa menyempatkan membaca buku pelajaran atau mengerjakan tugas dari gurunya. Ia juga dibantu pengajar Bingkai Jalanan untuk cepat memahami materi di sekolahnya, SD Negeri Kemayoran 01 Jakarta.
Siswi dengan cita-cita menjadi guru itu sangat ingat, saat masih kelas V SD, ia pernah mendapat pembelajaran Matematika tentang pecahan di kelas Bingkai Jalanan. Tiga minggu kemudian, ia baru menerima materi itu di sekolahnya. ”Pas di sekolah, ada soal, guru tanya siapa yang mau mengerjakan duluan. Saya maju dan menjawab benar,” ungkapnya diiringi senyuman bangga.
Perpaduan dari usaha pribadi dan kepedulian para sukarelawan membuat Elsa tidak pernah keluar dari klub ranking tiga besar di kelasnya dari tahun ke tahun. Bahkan, saat di kelas I-III SD, ia selalu menjadi juara kelas.
Duo bersaudara Dinda Renjani Intan Elfariani (11) dan Natalia Oktaviana Sitanggang (10) juga merasakan begitu bermanfaatnya Bingkai Jalanan untuk pendidikan mereka. ”Kalau pelajaran di sekolah kurang mengerti bisa belajar di sini,” ujar sang kakak, Dinda.
Hidup Dinda dan Natalia tidak kalah susah daripada Elsa. Mereka berdua rajin mengamen di Terminal Senen dan sekitarnya selepas pulang sekolah pukul 12.00-15.00 untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam sehari, mereka rata-rata mengumpulkan Rp 30.000-Rp 40.000.
Baca juga: Mereka Mengeja Larangan Mengemis
Miris membayangkan mereka berkeliling di bawah teriknya matahari menjajakan suara mereka, padahal pemandangan mereka membaca buku dan bermain balok-balok susun di kelas Bingkai Jalanan sewajarnya anak-anak sungguh menyejukkan.
Miris membayangkan mereka berkeliling di bawah teriknya matahari menjajakan suara mereka, padahal pemandangan mereka membaca buku dan bermain balok-balok susun di kelas Bingkai Jalanan sewajarnya anak-anak sungguh menyejukkan.
Bingkai Jalanan didirikan oleh Hestiana Kiftia (28) dan Natalia Melake (30) pada Desember 2012 sewaktu mereka sama-sama masih mahasiswa. Rasa utang budi mereka kepada anak jalanan melandasi pendirian sekolah ini.
Hesti, begitu Hestiana dipanggil, bercerita, dirinya dan Natalia pada tahun 2008 sewaktu masih berstatus pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 14 Jakarta mengerjakan riset karya tulis. Mereka meneliti anak-anak berusia 8-10 tahun di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur, yang menjadi pencuri besi atau biasa dikenal sebagai bajing loncat atau bajilo.
”Kami wawancarai mereka, kami buat karya tulis, lalu iseng kami ikutkan lomba ternyata bisa sampai tingkat nasional, saat itu presentasi di UGM (Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta,” tutur Hesti. Karena menang, mereka meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan secara gratis di universitas.
Mereka pun berniat untuk membuat sekolah bagi anak-anak bajilo di Pulogadung guna menyelamatkan masa depan mereka. Namun, ternyata Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggencarkan razia untuk meringkus anak-anak ini dan beberapa anak terjatuh dari truk kontainer saat berusaha kabur dari kejaran satuan polisi pamong praja. Yang selamat memilih tidak menampakkan diri lagi karena takut. Misi sekolah gratis bagi anak-anak bajilo pun batal.
Meski demikian, Hesti dan Natalia merasa tetap harus membalas budi kepada anak-anak jalanan, meski bukan di Pulogadung. Saat Hesti berstatus mahasiswa di Universitas Bung Karno dan Natalia di Universitas Indraprasta PGRI, mereka membuka sekolah bernama Bingkai Jalanan bagi anak-anak di Terminal Senen dan sekitarnya, yang kebanyakan mencari nafkah dengan mengamen.
”Awalnya kami membuka kelas di bawah pohon, di depan GOR (Gelanggang Olahraga Remaja Senen),” ujar Hesti. Bermula dari ajakan lomba mewarnai dengan iming-iming susu kotak, Hesti dan Natalia lantas menambahkan kegiatan belajar menyanyi ”Indonesia Raya”, kemudian belajar membaca.
Setelah hanya Hesti dan Natalia yang menjadi guru, kini ada empat lagi orang muda yang bergabung menjadi sukarelawan pengajar, termasuk Amel. Mereka semua berprofesi utama karyawan, bahkan ada yang pernah mengenyam pendidikan magister di Perancis.
Selain itu, tempat berpindah, dari yang tadinya di luar ruang sehingga kelas langsung bubar kala hujan, mulai tahun 2015 sudah menetap di kontrakan yang mepet dengan Stasiun Senen. Tarif mengontrak hingga sekarang tidak berubah, Rp 700.000 sebulan. Ditambah biaya operasional, pengeluaran untuk kegiatan kelas rata-rata Rp 1,5 juta per bulan.
Angka yang relatif kecil, tetapi membutuhkan pengorbanan agar dana terus tersedia. Sebab, sumber pemasukan utama adalah ”saweran” di antara para sukarelawan pengajar. ”Udah ngajar ga dibayar, disuruh patungan juga, ha-ha-ha,” kata Hesti.
Baca juga: Memperkenalkan keindonesiaan di Kolong Jembatan
Dari awalnya mengajar 15 murid, Bingkai Jalanan kini dihadiri rata-rata 30-40 anak setiap kali kelas diadakan. Mereka mengikuti kelas pada Kamis pukul 18.30-20.00 dan Sabtu pukul 09.30-12.00. Dulu, rata-rata peserta didik merupakan anak jalanan yang tidak bersekolah, sedangkan sekarang kebanyakan sudah masuk sekolah formal. Namun, mereka tetap saja membutuhkan tambahan ilmu dari Bingkai Jalanan.
Alasannya, menurut Hesti, mayoritas orangtua anak-anak Bingkai Jalanan berpendidikan kurang sehingga kerap tidak mampu membimbing putra-putri mereka memahami materi ajar di sekolah. Sementara itu, dengan pendapatan yang rendah, mereka tidak mampu membiayai les atau bimbingan belajar bagi anak mereka. Bingkai Jalanan menjadi semacam tempat les gratis.
Sayangnya, masalah peserta didik Bingkai Jalanan lebih kompleks daripada sekadar memahami pelajaran di sekolah. Sebagai anak yang akrab dengan kehidupan jalanan, mereka rentan terhadap kekerasan, termasuk pelecehan seksual. Hesti mencontohkan, ada anak perempuan yang beberapa kali datang ke kelas dengan wajah lebam. Di beberapa kesempatan, bekas sundutan rokok juga menghiasi wajah bocah malang itu. Sudah seperti itu, si bocah berusaha menutupi dengan mengatakan, ayahnya tidak sengaja.
Mereka seakan masuk ke rimba liar sepulang sekolah atau seusai mengikuti kelas Bingkai Jalanan. Artinya, program yang menyasar anak tidaklah cukup untuk mengatasi masalah anak dari keluarga kurang mampu. Intervensi terhadap keluarga mereka juga diperlukan.
Di luar sekolah dan kelas di Bingkai Jalanan, rimba liar menunggu anak-anak ini. Ada anak perempuan yang datang ke sekolah dengan wajah lebam hingga ada bekas sundutan rokok. Kata si bocah, ayahnya tidak sengaja.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, menuturkan, intervensi terhadap keluarga kurang mampu guna melindungi anak-anak yang rentan mesti jadi kerja berbagai pihak secara sinergis. Apalagi, anak yang mencari nafkah di jalanan bisa jadi karena permintaan atau malah perintah dari orangtuanya. ”Memang butuh waktu karena dari awal dalam pola pikir orangtua seperti itu, dengan mengemis misalnya, lebih instan,” ucapnya.
Jasra mencontohkan, banyak keluarga kurang mampu yang menjadi penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial. Selain ada bantuan sosial untuk membantu keluarga-keluarga itu keluar dari jerat kemiskinan, penerima manfaat juga mendapat pendampingan dari para pendamping PKH, yang bertanggung jawab mendorong orangtua menerapkan pola asuh anak yang baik.
Perbuatan jangka pendek, termasuk memberikan bantuan dana meski dalam jumlah besar, belumlah cukup untuk menunjukkan kepedulian. Hesti, misalnya, sangat galak terhadap organisasi masyarakat atau partai yang mengiming-imingi dana gemuk bagi Bingkai Jalanan dengan pamrih mendapat citra sebagai organisasi yang peduli.
Baca juga: Kepada Siapa Anak Indonesia Berlindung?
Daripada menyumbang dana, ia mendorong warga yang mampu untuk menjadi orangtua asuh bagi anak-anak kurang beruntung. Memastikan anak-anak ini tidak hanya menikmati pendidikan, tetapi juga merasakan kasih sayang dari keluarga, itulah kepedulian yang paripurna bagi mereka yang terabaikan.