Setengah Izin Kebun Sawit di Jambi Belum Direalisasi
Setengah dari jumlah luasan izin perkebunan sawit yang telah dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jambi belum terealisasi. Banyak perusahaan yang belum melaksanakan rencana kerjanya secara optimal.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Setengah dari jumlah luasan izin perkebunan sawit yang telah dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jambi belum terealisasi. Banyak perusahaan belum melaksanakan rencana kerjanya secara optimal. Izin ataupun rekomendasi pembukaan perkebunan baru sudah tidak dikeluarkan sejak 2018.
Gubernur Jambi Fachrori Umar, di Jambi, Rabu, (30/10/2019), mengatakan, sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Perizinan Kelapa Sawit, dirinya bertanggung jawab menunda penerbitan rekomendasi ataupun izin usaha perkebunan sawit dan pembukaan lahan baru. Selain itu juga memverifikasi data dan peta izin lokasi. Ia mengatakan tidak pernah menerbitkan izin ataupun surat rekomendasi terkait perkebunan sawit sejak 2018.
Selain itu, pihaknya masih terus mendata perizinan perkebunan. Verifikasi lapangan ataupun pemanggilan pelaku usaha perkebunan telah dilaksanakan sepanjang April hingga Juni lalu.
Dari 186 perusahaan perkebunan sawit, sebanyak 107 perusahaan perkebunan telah selesai diverifikasi. Luas totalnya 852.245 hektar pada 229 izin usaha perkebunan. Sementara untuk izin lokasi yang telah diverifikasi sebanyak 193 izin di lahan seluas 548.329 hektar.
Lebih lanjut dijelaskan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal, dari 107 perusahaan kebun sawit yang telah diverifikasi, setengahnya ternyata belum merealisasi rencana kerja secara optimal. ”Ada perusahaan yang mendapatkan izin untuk membuka 10.000 hektar, tetapi sampai sekarang baru membangun 2.000 hektar,” tuturnya.
Dari 107 perusahaan kebun sawit yang telah diverifikasi, setengahnya ternyata belum merealisasi rencana kerja secara optimal.
Tak optimalnya realisasi itu berdampak pada pembangunan yang tak maksimal. Sejauh ini langkah yang telah diambil berupa peringatan pada perusahaan terkait. Namun, belum ada rekomendasi pencabutan izin.
Pihaknya juga merekomendasikan perusahaan perkebunan sawit untuk bermitra dengan masyarakat. Tujuannya agar pembangunan kebun sawit dapat lebih optimal.
Adapun pendataan pada 79 perusahaan lainnya, lanjut Agusrizal, belum berlanjut karena keterbatasan dana.
Selain verifikasi langsung terhadap perusahaan perkebunan, pihaknya juga melaksanakan pendataan melalui penerbitan surat tanda daftar budidaya perkebunan (STDB) yang dilaksanakan oleh setiap kabupaten. Hasilnya dilaporkan kepada Provinsi Jambi untuk diteruskan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan di Jakarta.
Penanggulangan karhutla
Ia menambahkan, moratorium pada daerah gambut menjadi penting bagi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, yang menjadi kendala adalah moratorium tersebut belum diikuti penerbitan peta spasial gambut yang valid di tingkat lapangan.
Dengan demikian, pihaknya masih harus berkoordinasi lebih dengan sejumlah instansi seperti Badan Restorasi Gambut (BRG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), untuk dapat menentukan lokasi gambut dalam. Hal itu dilakukan untuk menindaklanjuti moratorium sawit.
Moratorium tersebut belum diikuti penerbitan peta spasial gambut yang valid di tingkat lapangan.
Bupati Muaro Jambi Masnah Busro mengapresisasi Inpres Moratorium Sawit. Ia mengaku memperoleh informasi langsung dari surat edaran presiden hingga informasi dari anggota stafnya. Inpres dinilainya bertujuan baik untuk mengevaluasi sejauh mana pengaruh sawit selama ini terhadap peningkatan kesejahteraan pekebun sekaligus mengantisipasi kerusakan lingkungan.
Sejak 2018, pihaknya juga sadar untuk menunda pemberian izin baru. ”Namun, sampai saat ini memang belum ada lagi pelepasan lahan hutan konversi untuk perkebunan sawit, jadi tidak ada pemberian izin baru,” katanya.
Karena tidak ada yang mengajukan izin baru, lanjutnya, otomatis tidak ada pelepasan status kawasan hutan. Terkait kendala yang dihadapi, ia menjawab sangat dinamisnya perpindahan hak kepemilikan kebun dari pemilik lama ke pemilik baru yang alamatnya berbeda lokasi membuat pemilik kebun sulit dilacak.