BANGKOK, SELASA -- Thailand akan membentuk lembaga pengawas media sosial guna memerangi penyebaran berita bohong. Thailand mengikuti Vietnam dan Singapura yang sudah lebih dulu bergerak memerangi penyebaran berita bohong. Namun, pengawasan siber yang lebih ketat terhadap media sosial tersebut dikhawatirkan para aktivis sebagai gerakan yang menarget para pengritik pemerintah.
"Setiap negara menghadapi masalah berita bohong, terutama warga Thailand," kata Menteri Masyarakat dan Ekonomi Digital Thailand Buddhipongse Punnakanta di Bangkok, Thailand, Selasa (29/10/2019), setelah memberi penjelasan soal lembaga itu pada Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha.
Prayut mengambil alih kekuasaan di Thailand melalui kudeta tahun 2014 dan memberangus perbedaan pendapat selama beberapa tahun dengan undang-undang khusus. Dia kemudian menjadi PM melalui pemilihan umum pada bulan Maret 2019.
Lembaga anti-berita bohong itu akan mulai bekerja, Jumat mendatang, menggunakan peranti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan monitor terprogram untuk menandai unggahan-unggahan media sosial (medsos), mulai dari soal perawatan kesehatan hingga kebijakan pemerintah Thailand.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan, pemerintah Thailand masih memberangus perbedaan pendapat sambil terus memantau perbincangan publik terkait monarki Thailand. Menurut Buddhipongse, hampir 80 persen unggahan medsos berisi berita bohong atau menyesatkan.
Lembaga anti-berita bohong Thailand ini memiliki Facebook, grup di Line, dan situs web. Contoh temuan berita bohong oleh lembaga tersebut akan dipublikasikan. Para pengguna medsos juga bisa melapor ke lembaga itu jika menemukan berita bohong.
Lembaga anti-berita bohong Thailand ini memiliki Facebook, grup di Line, dan situs web. Contoh temuan berita bohong oleh lembaga tersebut akan dipublikasikan.
Junta militer Thailand dulu pernah melarang pertemuan lebih dari lima orang dan menangkap ratusan orang karena melanggar larangan tersebut. Meski larangan itu kini telah dicabut, para advokat mengatakan bahwa kebebasan berpendapat di Thailand tetap tidak membaik.
Dianggap perang hibrida
Militer Thailand telah menentang penyebaran berita bohong dan propaganda daring, yang disebut sebagai salah satu bentuk perang hibrida. Perang hibrida adalah perang yang menggunakan kombinasi metode militer dan nonmiliter di masa damai untuk mencapai tujuan tradisional militer, seperti kontrol atau penaklukan teritorial.
Buddhipongse menolak tuduhan masyarakat sipil bahwa lembaga anti-berita bohong itu akan menjadi alat mengawasi perbedaan pendapat. "Kami tak hanya fokus pada politik dan warga yang menentang pemerintah," katanya.
Namun, Sunai Phasuk, peneliti senior Human Rights Watch, mengatakan bahwa lembaga anti-bohong palsu itu hanyalah alat penyensoran. "Itu alat sensor kebebasan berpendapat di Thailand yang semakin ketat," katanya.
Sunai Phasuk, peneliti senior Human Rights Watch, mengatakan bahwa lembaga anti-bohong palsu itu hanyalah alat penyensoran.
Para pendukung kebebasan berpendapat, upaya pemerintah Thailand untuk memerangi penyebaran berita bohong tersebut makin mengkhawatirkan. Para pengamat mengatakan, banyak rezim otoriter telah terpengaruh oleh retorika Presiden AS Donald Trump terhadap media.
Kasus serupa di ASEAN
Undang-undang untuk memerangi berita bohong pun mulai diberlakukan di Singapura pada bulan ini. Berdasar undang-undang tersebut, pelaku yang membuat berita bohong akan didenda besar dan bahkan hukuman penjara dalam kasus-kasus ekstrem.
Di Vietnam, menurut Amnesty International, siapa pun yang membuat berita bohong di medsos akan ditangkap setelah RUU keamanan siber yang kontroversial tersebut disahkan pada bulan Januari.
Parlemen Malaysia pada 23 Oktober 2019 telah membatalkan undang-undang yang menjadikan "berita bohong" sebagai kejahatan. Para pengritik menyebut undang-undang itu ditujukan untuk mengekang perbedaan pendapat. Pembatalan ini terjadi setahun setelah upaya awal untuk mencabut undang-undang itu diblokir oleh oposisi.
Undang-Undang Anti-Berita Bohong 2018 disahkan oleh pemerintahan PM Najib Razak hanya beberapa minggu sebelum ia dikalahkan dalam pemilihan Mei 2018 oleh aliansi oposisi yang dipimpin Mahathir Mohamad. Mahathir telah berjanji membatalkan undang-undang itu.
Parlemen memperdebatkan upaya untuk mencabut undang-undang itu selama dua hari sebelum disahkan pada Rabu. Kelompok-kelompok HAM mengecam undang-undang tersebut, yang mengenakan denda hingga 500.000 Ringgit (Rp 1,7 miliar) dan hukuman penjara hingga enam tahun, sebagai tindakan represif.
Mereka menuduh Najib menggunakan UU itu untuk menutupi tuduhan korupsi dan kesalahan manajemen pemerintahannya.
"Pembatalan UU Anti-Berita Bohong yang menyalahgunakan hak ini adalah berita baik yang sudah lama ditunggu," kata Phil Robertson, Wakil Direktur Asia Human Rights Watch. "Penerapan undang-undang ini akan menjadi lonceng kematian bagi kebebasan pers di Malaysia". (AFP/REUTERS)