Ijazah Tidak Diakui, Praktik Perguruan Tinggi Ilegal Terungkap
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan mengungkap perguruan tinggi bidang kesehatan yang tidak memiliki izin penyelenggaraan alias ilegal. Kasus terungkap setelah dilaporkan mahasiwanya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan mengungkap perguruan tinggi bidang kesehatan yang tidak memiliki izin penyelenggaraan alias ilegal. Kasus terungkap setelah ada laporan dari salah satu mahasiwa yang ijazahnya tidak terdaftar di Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi itu adalah Perguruan Tinggi Harapan Palembang dengan Program Studi Akademi Perekam dan Informatika Harapan Palembang dan Akademi Farmasi Harapan Palembang. Lembaga itu dinyatakan ilegal karena tidak memiliki izin pendirian perguruan tinggi dan program studi.
Dalam kasus itu, polisi telah menetapkan dua tersangka, yakni Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Harapan SS dan dan Ketua Yayasan MS. Keduanya adalah pasangan suami-istri.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Sumsel Komisaris Besar Yustan Alpiani, Kamis (31/10/2019), mengatakan, kasus ini bermula dari laporan salah satu mahasiwa yang ijazahnya tidak terdaftar di Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). ”Laporan ini diterima pada 31 Mei 2018, dan langsung kami tindak lanjuti,” kata Yustan.
Selain laporan tersebut, pihaknya juga telah menerima surat pernyataan dari Direktorat Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti, Kemenristek dan Dikti, Nomor 3984/C.C5/KL 2017 yang menyatakan, Yayasan Perguruan Tinggi Harapan Palembang tidak memiliki izin pendirian perguruan tinggi ataupun izin membuka program studi. Dari hasil penyelidikan terungkap bahwa perguruan tinggi ini dibuka pada 1998 dan telah habis izin pendirian perguruan tinggi pada 2000.
Adapun untuk izin program studi telah habis pada 2009. ”Namun, perguruan tinggi ini baru berhenti menerima mahasiswa pada tahun 2014,” ujarnya.
Izin program studi telah habis pada 2009. (Yustan Alpiani)
Akibat perbuatannya, setidaknya ada 64 mahasiwa angkatan 2014-2017, yang menjadi korban karena ijazah mereka tidak terdaftar di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi. Kemungkinan jumlah korban lebih banyak lagi karena izin perguruan tinggi ini telah habis sejak 2009.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 378 KUHP dan Pasal 71 juncto Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 42 Ayat (4) UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sanksi maksimal yang diberikan, yakni pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Kepala Bagian Kelembagaan dan Sistem Informasi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti) Wilayah II Win Honaini mengungkapkan, dengan tidak adanya izin, perguruan tinggi ini telah ditutup. Win menerangkan, tanpa adanya laporan dari mahasiwa, pihaknya tidak bisa berbuat banyak lantaran perguruan tinggi yang berada dalam pengawasan L2Dikti Wilayah II mencapai 207 perguruan tinggi.
Walau demikian, ungkap Win, pihaknya selalu melakukan pengawasan, pengendalian, dan pembinaan terhadap perguruan tinggi untuk melakukan evaluasi termasuk terkait izin. ”Dari hasil pemeriksaan, ada perguruan tinggi yang program studinya hampir habis izinnya,” katanya.
Oleh karena itu, ia meminta perguruan tinggi tidak membuka penerimaan mahasiwa bagi prodi yang belum diperpanjang izinnya. ”Kami harap dengan hukuman ini bisa mengingatkan pengelola perguruan tinggi untuk segera melakukan pembaruan izin,” katanya.
Mulyadi, salah satu korban, mengatakan, dirinya baru mengetahui bahwa perguruan tinggi tersebut tidak memiliki izin setelah tidak menerima ijazah. Dugaan itu semakin kuat setelah namanya tidak terdaftar di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi dari Kemenristek dan Dikti.
Mulyadi mendaftar di perguruan tinggi itu pada 2014 dan lulus pada 2017. Proses belajar-mengajar berjalan seperti biasa. ”Saya belajar secara reguler, dosen juga mengajar seperti biasa,” katanya.
Dia menyesalkan adanya masalah karena selain mengalami kerugian material, ia juga mengalami kerugian imaterial. Dari sisi materi dia telah mengeluarkan dana sekitar Rp 50 juta, adapun untuk imaterial ia rugi waktu karena dia sudah tiga tahun belajar di sana.
”Saya sudah belajar tiga tahun, tetapi ijazahnya tidak bisa digunakan. Saya menggunakan ijazah SMA saat melamar kerja di tempat saya sekarang,” katanya.