Ekonomi domestik butuh bantalan, agar dinamika global yang ada tidak turut menyuramkan ekspektasi dunia usaha dalam negeri. Pemerintah berharap dunia usaha tidak turut larut dalam ketidakpastian global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meski kegiatan ekonomi dunia berlangsung baik, terjadi anomali yang membuat pertumbuhan ekonomi global terhambat ekspektasi negatif. Ekonomi domestik butuh bantalan, agar dinamika global yang ada tidak turut menyuramkan ekspektasi dunia usaha dalam negeri.
Hal tersebut menjadi benang merah dalam pertemuan para pimpinan perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan pemangku kebijakan ekonomi Tanah Air, dalam acara CEO Networking 2019 di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Turut hadir dalam acara ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
Di hadapan para CEO emiten pasar modal Indonesia, Sri Mulyani meminta agar dunia usaha tidak turut larut dalam ketidakpastian global. Dia memastikan, ekonomi dalam negeri punya kemampuan untuk secara otomatis mampu tumbuh di kisaran 5 persen.
Suramnya ekspektasi ekonomi global terutama karena imbas dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Ketidakpastian global semakin meningkat akibat perubahan kebijakan ekonomi AS, dari yang awalnya terbuka menjadi sangat terproteksi.
“Ekspektasi negatif muncul karena psikologis dunia terganggu dinamika global, salah satunya perang dagang. Padahal pertumbuhan ekonomi AS masih jauh dari resesi. China pun yang sedang menata ekonominya kembali bisa tumbuh di kisaran 6 persen,” ujar Sri Mulyani.
Ekspektasi negatif muncul karena psikologis dunia terganggu dinamika global, salah satunya perang dagang.
Dia memastikan, kebijakan fiskal akan mendorong permintaan konsumsi atas produksi dalam negeri. Meningkatnya konsumsi yang hingga kini masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi, diharapkan juga dapat menarik penanaman modal asing (PMA).
Stabilitas
Perry Warjiyo meyakini kondisi fundamental perekonomian Indonesia akan tetap terjaga hingga akhir 2019. Hal itu karena sejumlah kebijakan telah dikeluarkan bank sentral untuk menjaga stabilitas dalam negeri. Salah satunya pemangkasan suku bunga acuan dalam empat bulan terakhir dari 6 persen menjadi 5 persen.
BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini akan mencapai 3 persen dan 3,1 persen pada 2020, dengan asumsi perang dagang tidak semakin memburuk dan kesepakatan AS dan Cina dapat terealisasi bulan depan.
"Berdasarkan asumsi itu, kami masih melihat terbukanya ruang bagi kebijakan moneter yang akomodatif, bisa dalam bentuk pemangkasan suku bunga, penurunan giro wajib minimum, atau relaksasi makroprudensial," ujar Perry
Sementara itu, Wimboh Santoso menilai dinamika perekonomian global pasti berdampak ke Indonesia termasuk sektor jasa keuangan dan sektor riil. Untuk itu diperlukan sinergi yang kuat dalam membangun sektor prioritas pemerintah.
“Sektor jasa keuangan juga masih memiliki ruang permodalan untuk mendorong perekonomian nasional,” kata Wimboh.
Dinamika perekonomian global pasti berdampak ke Indonesia termasuk sektor jasa keuangan dan sektor riil.
Strategi yang tepat dibutuhkan menguatkan stabilitas sektor jasa keuangan di tengah pelemahan ekonomi global, di antaranya dengan meningkatkan permodalan, likuiditas, dan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN).
Data OJK pada September 2019 menunjukkan risiko kredit dan pembiayaan terjaga dengan rasio kredit macet (non performing loan/NPL) sebesar 2,66 persen. Adapun penyaluran redit perbankan mencapai Rp 5.524,19 triliun, tumbuh 7,89 persen dibandingkan posisi September 2018.
Meski pemerintah mampu menjaga ekspektasi dunia usaha, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, menilai kecepatan pemerintah merespons dinamika ekonomi global dalam pembuatan regulasi yang bermanfaat untuk dunia usaha masih terbilang lambat.
Dia mencontohkan, dari 94 industri yang melakukan relokasi dari China akibat perang dagang, tidak ada satu pun industri yang masuk ke wilayah Indonesia. Keengganan pelaku industri masuk ke Indonesia disebabkan regulasi yang mewajibkan investor menggunakan mesin baru bila memutuskan membangun pabrik di Indonesia.
“Itu adalah satu hal yang sebenarnya sangat sederhana. Sayangnya akibat mesin bekas tidak boleh masuk untuk investasi baru, tertutuplah semua pintu bagi industri dari China yang mau relokasi ke Indonesia,” ujarnya.
Hal lain yang juga dikeluhkan oleh pengusaha, lanjut Jahja, adalah mengenai perizinan berlapis di level pemerintah daerah. Misalnya, pengusaha membutuhkan waktu hingga 1,5 tahun untuk sekadar mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB).
"Birokrasi berlapis-lapis masih kerap terjadi di daerah. Pengusaha berharap ini juga bisa jadi perhatian utama pemerintah," kata Jahja.