Dunia telah berubah sedemikian cepat. Arus baru mengubah arah perhatian global. Populisme menguat mengalahkan keberpihakan kepada pengungsi dan migran yang terlunta-lunta di kamp-kamp pengungsian. Stabilitas dan pertumbuhan ekonomi kembali menjadi panglima dan mulai mengabaikan isu-isu kesetaraan serta pemenuhan hak-hak sipil dan politik. Gelora demokrasi dan gerakan hak asasi manusia yang pernah menghanyutkan seolah mulai kehilangan dayanya.
Di tengah aneka upaya komunitas global bertahan dari aneka gempuran persoalan, isu hak asasi manusia dan demokrasi perlahan tenggelam. Gaungnya luruh oleh riuh wacana publik yang didominasi upaya peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Lembaga nonpemerintah internasional yang mengadvokasi dan mengkaji isu demokrasi, Freedom House, dalam laporan bertajuk ”Democracy in Retreat, Freedom in the World 2019” menyebutkan, setelah Perang Dingin berakhir pada era 1970-an, runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989, dan Soviet pada tahun 1991, pintu untuk masuknya demokrasi terbuka lebar.
Di tengah aneka upaya komunitas global bertahan dari aneka gempuran persoalan, isu hak asasi manusia dan demokrasi perlahan tenggelam.
Arusnya begitu kuat sehingga, tulis Freedom House, ”membuka jalan bagi pembentukan atau pemulihan institusi demokrasi liberal tidak hanya di Eropa Timur, tetapi juga di Amerika, Afrika sub-Sahara, dan Asia”. Lembaga itu menyebutkan, antara 1988 dan 2005, persentase negara-negara yang diberi peringkat Tidak Bebas terkait isu kebebasan turun hampir 14 poin, dari 37 menjadi 23 persen, sebaliknya negara-negara yang semakin menghargai kemerdekaan tumbuh dari 36 menjadi 46 persen.
Namun, gelombang kemajuan ini, tulis Freedom House, sekarang mulai mundur. Antara 2005 dan 2018, sebut Freedom House, pangsa negara Tidak Bebas naik menjadi 26 persen, sedangkan pangsa negara-negara yang dinilai menghargai kebebasan turun menjadi 44 persen. Salah satu penyebab yang disebutkan oleh Freedom House adalah lembaga-lembaga demokrasi yang didirikan dengan cepat mengalami serangan berkelanjutan di negara-negara yang secara ekonomi masih rapuh atau masih terbelah oleh konflik kelas atau etnis yang mendalam.
Akan tetapi, di sisi lain, dunia juga melihat bahwa negara-negara Eropa, dan negara sekuat Amerika Serikat, juga memiliki makin banyak catatan. Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS makin menutup diri dari imigran, bahkan menerapkan kebijakan keras bagi mereka.
Kebijakan-kebijakan yang didasari pendekatan unilateral Trump menempatkan kampiun demokrasi dan salah satu promotor HAM global itu dalam sorotan. AS telah mengurangi banyak bantuan untuk pengungsi, dan mundur dari beberapa kerja sama multilateral yang sejatinya menjadi basis bagi pengembangan kesejahteraan di kawasan, seperti Perjanjian Nuklir Iran 2015 atau JCPOA.
Uni Eropa setali tiga uang. Derasnya arus pengungsi yang merupakan dampak konflik berkepanjangan di Suriah justru memicu xenofobia. Beberapa pemerintah di Eropa—saat upaya bersama sangat dibutuhkan—justru menutup diri bagi pengungsi, hal itu salah satunya dilakukan Hongaria.
Di Asia situasi yang ada tidak jauh berbeda. Di tengah menguatnya pengaruh Beijing di kawasan dan dunia, China masih memiliki catatan terkait isu Uighur.
Filipina dihadapkan pada tekanan akibat kebijakan keras Duterte dalam perang melawan narkoba.
Manila kembali menjadi perhatian global bukan karena praktik pemenuhan HAM dan demokrasi yang membaik, tetapi justru sebaliknya. Di bawah Presiden Rodrigo Duterte, Filipina dihadapkan pada tekanan akibat kebijakan keras Duterte dalam perang melawan narkoba. Kebijakan itu memicu maraknya pembunuhan tanpa adanya proses pengadilan.
Eksklusif
Indonesia pun dihadapkan pada tantangan serupa. Jika merujuk pada indeks demokrasi 2018, hasil kajian The Economist Intelligence Unit, Indonesia masuk dalam kategori demokrasi yang cacat. Secara prosedural, praktik demokrasi di Indonesia dijamin undang-undang dan terwujud dalam berbagai pilkada dan pemilu. Namun, dalam implementasinya, isu-isu agama, ras, dan etnis turut memengaruhi, bahkan memicu perselisihan dan menimbulkan korban.
Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran HAM belum dituntaskan, yang dikhawatirkan memicu maraknya impunitas.
Dalam sebuah pembicaraan via telepon, pekan lalu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengkhawatirkan kecenderungan untuk mengejar atau mengarusutamakan isu pertumbuhan ekonomi ”dapat” mengabaikan demokrasi dan pemenuhan HAM. Demi alasan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tutur Usman, ”kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat” dapat dikorbankan.
”Kita pernah mengalaminya di era Orde Baru,” kata Usman.
Saat ini situasi tersebut bisa jadi kembali menguat jika melihat China atau beberapa negara otoriter di kawasan. ”Pertumbuhan ekonomi mereka tinggi, di atas rata-rata global, tetapi praktik berdemokrasi dan implementasi HAM-nya lemah,” kata Usman.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Philips Vermonte mengatakan, Indonesia relatif menjadi lebih sibuk melihat ke dalam. Sebagai kekuatan regional dan pemimpin ASEAN, situasi itu turut memperlemah gerak asosiasi, termasuk dalam isu-isu demokrasi dan HAM. Lambatnya respons ASEAN terkait isu Rohingya di Myanmar merefleksikan situasi tersebut.
Masih ada waktu dan kesempatan untuk menggelorakan kembali isu demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun, situasi itu tidak hanya dihadapi Indonesia. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga tengah sibuk dengan politik domestik. Pada satu sisi, situasi itu seolah membenarkan lambatnya respons kawasan, tetapi hal itu tidak boleh dibiarkan.
Indonesia, tutur Philips, bisa kembali memainkan perannya sebagai pemimpin intelektual ASEAN, yang memberi visi dan mengarahkan ASEAN.
Masih ada waktu dan kesempatan untuk menggelorakan kembali isu demokrasi dan hak asasi manusia. (LSA)