JAKARTA, KOMPAS--Peluang swasta untuk masuk ke proyek jalan tol tidak terbatas pada proyek yang direncanakan pemerintah. Namun, swasta juga bisa masuk ke proyek tol prakarsa atau usulan badan usaha.
Proyek prakarsa tersebut diharapkan tidak hanya layak secara ekonomi, namun juga dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
Saat ini, ada tujuh proyek tol yang akan maupun sedang dilelang. Ketujuh ruas tol itu adalah Solo-Yogyakarta, Bawen-Yogyakarta, tol Akses Pelabuhan Patimban, Cileunyi-Garut-Tasikmalaya, Semanan-Balaraja, Kamal-Teluk Naga-Rajeg, dan Jembatan tol Balikpapan-Penajam Paser Utara. Investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 150 triliun.
Dari ketujuh ruas tersebut, yang direncanakan pemerintah adalah ruas Bawen-Yogyakarta. Sementara, enam ruas lainnya adalah proyek prakarsa badan usaha. Adapun keseluruhan usulan ruas tol prakarsa yang masuk ke Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sebanyak 38 ruas.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Jalan Tol Indonesia Kris Ade Sudiyono, Rabu (30/10/2019), di Jakarta, berpendapat, baik proyek prakarsa maupun proyek pemerintah akan meningkatkan panjang jalan tol. Bedanya, perencanaan tol prakarsa dilakukan pihak lain, atau bukan pemerintah.
“Inisiasi sebuah proyek oleh badan usaha pasti memiliki motif ekonomi. Misalnya (jika diusulkan) kontraktor, mereka pasti mengejar nilai kontrak proyeknya. Demikian pula jika (diusulkan) pengembang kawasan, mereka ingin meningkatkan nilai ekonomi kawasannya,” kata Kris Ade.
Rencana ruas tol prakarsa dari badan usaha di ruas Kamal-Teluk Naga-RajegKelayakan
Menurut Kris Ade, kendati proyek prakarsa merupakan mekanisme yang dimungkinkan dalam pembangunan jalan tol, namun aspek kelayakannya mesti diukur. Pengukurannya tidak hanya secara ekonomi, akan tetapi juga dari sisi publik atau dari nilai yang dirasakan publik. Dengan demikian, proyek inisiasi tersebut sejalan dengan nilai publik atau yang diharapkan masyarakat.
Namun, hal ini akan jadi masalah jika jalan tol -sebagai jalan berbayar- sebenarnya bukan solusi yang diharapkan masyarakat. Sebab, bisa jadi kebutuhan masyarakat bukan jalan berbayar, melainkan jalan biasa atau non-tol, atau malah moda transportasi berbasis rel.
Dalam perspektif ini, lanjut Kris Ade, seharusnya perencanaan proyek tetap dilakukan pemerintah secara komprehensif. Di sisi lain, jika pemrakarsa proyek jalan tol tersebut hanya mengejar ukuran proyek, maka akan berdampak terhadap nilai proyek yang tinggi.
Padahal, biaya tersebut nantinya harus dikompensasi melalui tarif yang dibebankan kepada masyarakat.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala BPJT Danang Parikesit mengatakan, dari sisi investasi, keberadaan ruas-ruas tol prakarsa tersebut positif. Sebab, semakin banyak swasta yang terlibat dalam industri jalan tol.
Namun, di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan kapasitas perencanaan, khususnya dalam pengembangan jaringan jalan.
“Hal lain adalah pemerintah perlu secara cepat menganggarkan biaya lahan supaya sinkron dengan inisiatif swasta tersebut,” kata Danang.
Untuk memastikan agar tidak terjadi jual-beli konsesi jalan tol, menurut Danang, badan usaha pemrakarsa yang menang tender tidak diperbolehkan mengganti pemegang saham sampai terjadi penggenapan pembiayaan. (NAD)