Warga Kawasan Leuser Bahas Dampak Buruk Pembangunan PLTA
Sebanyak 22 warga perwakilan dari desa-desa di kawasan hutan Leuser membahas dampak buruk dari pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Leuser. Warga hingga kini belum mendapatkan info lengkap tentang dampak PLTA.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Sebanyak 22 warga perwakilan dari desa-desa di sekitar kawasan hutan Leuser membahas dampak buruk dari pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Leuser. Selama ini warga tidak mendapatkan informasi secara lengkap terkait rencana pembangunan tersebut.
Diskusi terfokus dengan tema “Dampak Negatif Pembangunan PLTA Terhadap Lingkungan dan Masyarakat” dihadiri oleh warga dari Kabupaten Aceh Timur, Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Subulussalam. Kegiatan ini difasilitasi oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, Kamis (31/10/2019).
Kepala Desa Tampur Paloh, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur, Ali Hanafiah mengatakan, warga desanya mendukung rencana pembangunan PLTA Tampur I, sebab mereka berharap tersedia lapangan pekerjaan baru bagi warga. Namun, kata Ali, warga tidak tahu apa dampak buruk terhadap lingkungan ketika kawasan hutan dialihfungsikan.
Menurut rencana PLTA Tampur I akan dibangun di dalam kawasan hutan Leuser. Secara geografis proyek itu berada di tiga daerah yakni Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Luas area hutan yang digunakan untuk bendungan 4.407 hektar. Pembangunan dilakukan oleh perusahaan modal asing.
Desa Tampur Paloh berada di pedalaman Aceh Timur. Desa ini berbatasan dengan kawasan hutan Leuser. Tidak ada akses jalan ke desa itu, satu-satunya jalur transportasi melalui sungai.
Ali menuturkan, beberapa kali bertemu dengan pihak perusahaan tidak pernah dipaparkan dampak buruk terhadap lingkungan akibat pembangunan tersebut.
“Sebagai daerah terpencil kami ingin ada lapangan pekerjaan, sehingga tidak ada lagi pengangguran,” kata Ali.
Matsum warga Aceh Tamiang mengatakan, dampak buruk lebih banyak dibandingkan dampak baik pembangunan PLTA di Leuser. Matsum khawatir jika air dibendung untuk pembangkit listrik ketersediaan air untuk pertanian warga berkurang.
Dalam diskusi terfokus itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur dan Ketua Magister Kebencanaan Universitas Syiah Kuala Nazli Ismail memaparkan dampak buruk terhadap lingkungan jika PLTA dibangun.
Nur mengatakan, akan ada seluas 4.047 hektar hutan yang beralih fungsi dari hutan alam menjadi genangan raksasa. Jutaan pohon akan mati dan sumber ekonomi warga dari hutan hilang. Selain itu, satwa lindung seperti harimau, gajah, dan burung akan musnah lantaran habitatnya berubah fungsi.
“Ketika pohon mati ketersediaan air tanah berkurang. Kita khawatir suatu saat warga di sekitar kawasan akan kesulitan air bersih,” kata Nur.
Ketika pohon mati ketersediaan air tanah berkurang. Kita khawatir suatu saat warga di sekitar kawasan akan kesulitan air bersih
Nur mengajak warga untuk mengkaji lebih jauh dampak baik dan buruk terhadap rencana pembangunan PLTA di dalam kawasan hutan. Menurut Nur, investasi seharusnya tidak mengancam hutan, sebab, saat lingkungan hancur uang tidak akan mampu mengembalikan ke kondisi semula.
Nazli Ismail menambahkan, lokasi rencana pembangunan PLTA berada di zona sesar gempa aktif yakni sesar sumatera segmen tripa. Segmen ini telah 200 tahun tidak menghasilkan gempa berkekuatan besar. “Ada potensi gempa kekuatan 7 magnitudo di segmen tripa ini, namun tidak ada yang tahu kapan akan terjadi,” kata Nazli.
Nazli mengatakan, bendungan harus dibangun dengan daya tahan gempa agar tidak retak saat gempa. Jika bendungan jebol banjir bandang akan menerjang kawasan permukiman.
Saat ini tahapan pembangunan dihentikan sementara setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh membatalkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pembangunan pembangkit listrik yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh. Gugatan dilakukan oleh Walhi Aceh.
Izin tersebut dibatalkan lantaran luas izin yang diberikan oleh gubernur melampaui batas kewenangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P-50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 disebutkan gubernur hanya berwenang menerbitkan IPPKH untuk luasan paling maksimal 5 hektar dan bersifat nonkomersial. Namun, faktanya Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, mengeluarkan izin 4.407 hektar.
Kepala Biro Hukum Pemprov Aceh Amrizal menuturkan pemerintah tidak menerima kekalahan di PTUN Banda Aceh dan melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan. “Memori banding telah kami kirimkan,” kata Amrizal.