Indonesia mewaspadai peningkatan impor limbah plastik pasca China mengeluarkan kebijakan larangan menerima sampah plastik. Langkah itu ditempuh dengan memperketat verifikasi atau penelusuran teknis impor oleh surveyor.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mewaspadai peningkatan impor limbah plastik pasca China mengeluarkan kebijakan larangan menerima sampah plastik. Langkah itu ditempuh dengan memperketat verifikasi atau penelusuran teknis impor oleh surveyor.
Pada awal 2018, China menutup keran impor untuk hampir semua sampah plastik dari luar negeri. Izin impor hanya diberikan untuk sampah plastik yang telah didaur ulang menjadi pelet. Kondisi itu menyebabkan negara-negara Asia Tenggara jadi tujuan alternatif impor limbah plastik, termasuk Indonesia.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan, impor sampah plastik pada prinsipnya diperbolehkan selama memenuhi kriteria dan spesifikasi teknis yang diatur, antara lain tidak mengandung bahan beracun berbahaya. Limbah impor ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan sampah plastik.
“Kami menemukan, hal ini mengemuka pasca China tidak tidak lagi mengizinkan impor plastik, sebagian impor plastik berpindah ke Indonesia,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
Namun, Heru tidak menjelaskan secara spesifik angka kenaikan impor limbah plastik. Indikasi peningkatan impor limbah plastik ke Indonesia terpantau di Pelabuhan Tanjung Perak, Batam, Tanjung Emas, Tanjung Priok, dan Tangerang. Per 30 Oktober 2019, ada 2.194 kontainer impor limbah plastik yang diperiksa di lima pelabuhan itu.
Heru menuturkan, indikasi peningkatan impor limbah plastik segera diantisipasi. Saat ini Bea Cukai memperketat proses verifikasi atau penelusuran teknis impor oleh surveyor. Kontainer yang terbukti membawa impor limbah plastik mengandung bahan beracun berbahaya tidak diizinkan masuk.
“Kontainer yang tidak memenuhi syarat harus melakukan reekspor. Proses reekspor dipantau melalui dokumen berbasis digital,” kata Heru.
Dari 2.194 kontainer yang diperiksa, sebanyak 374 kontainer harus reekspor ke negara pengirim. Beberapa kontainer berasal dari Perancis, Jerman, Belanda, Slovenia, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Spanyol, Kanada, Hong Kong, dan Jepang.
Mengutip data Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah timbulan sampah di Indonesia tiap tahun 65,8 juta ton. Sejumlah 44 persen dari jumlah timbulan itu berupa sisa makanan dan 13 persen berupa ranting ataupun daun atau sampah organik untuk bahan baku pembuatan pupuk dan biogas.
Selebihnya merupakan sampah anorganik, terdiri dari sampah plastik (15 persen), kertas (11 persen), kain/tekstil (3 persen), logam (2 persen), karet/kuit (2 persen), dan lain- lain (8 persen). (Kompas, 10/9/2019).
Dihubungi terpisah, Direktur Pengembangan Bisnis, Asosiasi Industri Olefin, Aromati, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Budi Sasanto Sadiman, Kamis, mengatakan, permintaan bahan baku plastik rata-rata 6 juta ton, sementara kemampuan dalam negeri hanya 3,2 juta ton. Dengan kondisi itu, impor bahan baku plastik yang dibutuhkan sekitar 2,8 ton per tahun.
“Bahan baku plastik dari limbah sampah dicari karena lebih murah,” ujar Budi.
Permintaan bahan baku plastik rata-rata 6 juta ton, sementara kemampuan dalam negeri hanya 3,2 juta ton
Menurut Budi, kebutuhan impor bahan baku plastik sejatinya masih bisa dipenuhi dari dalam negeri. Kuncinya dengan memperbaiki manajemen sampah plastik sehingga tercapai tujuan tanpa sampah (zero waste). Manajemen sampah zero waste dilakukan Inaplas di Cilegon, Indramayu, dan Cirebon.
Tindakan tegas
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, antisipasi peningkatan impor limbah plastik ke Indonesia tak sekadar memperketat verifikasi. Importir yang terbukti melanggar akan dicabut izin rekomendasi hingga hukum pidana.
“Reekspor hanya cara halus. Pemerintah akan menindak tegas importir yang mengirim limbah sampah tidak sesuai syarat,” ujar Vivien.
Wewenang pemerintah untuk mencabut izin rekomendasi impor dan hukum pindana mengacu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2016. Terkait hukum pidana, KLHK atau Bea Cukai akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri karena bisnis melibatkan lintas negara.
Sebelumnya, Yayasan Nexus3, organisasi nonprofit bidang kesehatan dan pembangunan lingkungan serta masuk International Pollutant Elimination Network (IPEN), menemukan penyimpangan reekspor limbah ke AS dari PT MSE dan PT SM di Jawa Timur.
Dari 58 kontainer berisi plastik dan limbah berbahaya yang seharusnya dikembalikan ke AS, 38 kontainer dialihkan ke India, tiga ke Korea Selatan, dan masing-masing satu kontainer ke Thailand, Vietnam, Meksiko, Belanda, dan Kanada.
“Jika reekspor limbah sampah itu tidak sampai ke negara asal, pemerintah akan menempuh jalur Internasional sesuai dengan Konvensi Basel,” kata Vivien.