Benahi Penerapan Pemelajaran, Bukan Rombak Kurikulum
Perwujudan pendidikan abad ke-21 tidak berarti merombak kurikulum. Justru, penerapannya yang perlu dibenahi dengan memastikan sesuai keunikan tiap-tiap wilayah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwujudan pendidikan abad ke-21 tidak berarti merombak kurikulum. Justru, penerapannya yang perlu dibenahi dengan memastikan sesuai keunikan tiap-tiap wilayah, meningkatkan kompetensi guru, dan merangsang daya berpikir siswa agar kreatif serta pemberani.
Sosiolog pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Sugeng Bayu Wahyono ketika dikontak di Padang, Sumatera Barat, Kamis (31/10/2019), mengatakan persoalan kurikulum masih sentralistis dengan memakai bias perkotaan yang merupakan masyarakat industrial. Penerapannya kurang memerhatikan masyarakat pinggiran.
"Memperhatikan persoalan standar dan kualitas pendidikan nasional yang belum merata dengan meluncurkan kebijakan membangun sistem teknologi informasi patut diapresiasi. Namun, mengubah kurikulum dengan maksud menstandarkan kualitas pendidikan tidak tepat karena kondisi sosio kultural dan kewilayahan di Indonesia sangat beragam," kata dia.
Mengubah kurikulum dengan maksud menstandarkan kualitas pendidikan tidak tepat karena kondisi sosio kultural dan kewilayahan di Indonesia sangat beragam.
Sugeng menilai pemerintah selama ini telah melakukan berbagai perubahan kurikulum mulai dari Kurikulum 1994 yang mengakomodasi muatan lokal, Kurikulum 2004 rintisan yang dikatakan sebagai berbasis kompetensi, Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 berbasis rekonstruksi sosial yang menekankan pada proses pemelajaran, dan hingga kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) untuk di SMK dan perguruan tinggi.
Akan tetapi, perhatian terhadap upaya mengembangkan sumber daya manusia di daerah pinggiran, perbatasan belum dilakukan secara serius.
Misalnya adalah pengembangan SMK di wilayah nelayan. Hal ini karena jauh implementasinya, selain terdapat hasil yang cukup memadai dalam meningkatkan kualitas SDM di seputar wilayah nelayan, tetapi juga menyodorkan masalah sebagai konsekuensi kurikulum yang sudah terpaket dari pusat. Proses pembuatan kurikulum kurang melibatkan partisipasi masyarakat nelayan setempat sehingga kurang mampu mengembangkan budaya maritim yang lebih historis dan sesuai dengan konteks sosio-kulturalnya.
Diversifikasi kurikulum
Menurut Bayu, jika pemerintah ingin mengevaluasi kurikulum secara besar-besaran hendaknya bukan untuk menstandarkan pendidikan, tetapi justru yang senafas dengan keberagaman. Caranya adalah mengembangkan kurikulum diversikatif dan partisipatoris.
Diversifikasi kurikulum sebagai pelayanan pendidikan dengan cara menyesuaikan, memperluas, dan memperdalam kompetensi dan materi pelajaran dalam rangka untuk melayani keberagaman penyelenggaraan satuan pendidikan, kebutuhan serta kemampuan daerah dan sekolah ditinjau dari segi geografis, budaya, serta kemampuan, kebutuhan dan minat serta potensi peserta didik. Kurikulum ini melayani minat peserta didik dan kebutuhan daerah dirancang oleh daerah dan sekolah.
"Juga dilaksanakan untuk melayani peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena adanya kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, hal ini juga disebut dengan istilah kurikulum adaptif dan akomodatif. Selain itu, juga perlu dilaksanakan untuk melayani peserta didik dari daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi," paparnya.
Menstandarkan kualitas pendidikan dengan membangun sistem teknologi informasi juga tidak mudah, di samping juga kurang sesuai dengan kondisi keberagaman sosio-kultural maupun kewilayahan. Guru juga masih banyak yang digital emigran sehingga menjadi kendala serius jika menggunakan sistem teknologi informasi untuk standarisasi kualitas dan peningkatan akses bagi masyarakat di daerah.
Benahi penerapan
Guru Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengingatkan bahwa tujuan pemelajaran Revolusi Industri 4.0 justru mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan disiplin. Digitalisasi adalah alat untuk membantu belajar, bukan tujuan pendidikan.
Menurut dia, masalah utama dalam setiap kurikulum adalah cara mengajar, fasilitas mengajar, dan sistem ujian untuk evaluasi. Pemerintah tampaknya belum menyadari bahwa K13 intinya berbasis karakter yang menitikberatkan kemampuan berpikir disruptif melalui pengalaman belajar saintifik.
"Pembenahan pada kekurangan metode implementasinya. Bukan mengganti kurikulum," ujarnya.
Dari perspektif guru, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim menjabarkan permasalahan ada di kapasitas guru. Metode pelatihan guru yang semestinya disruptif dan inovatif, bukan pendekatan normatif seperti tahun-tahun sebelumnya.
Dekatkan guru dengan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) melalui peluasan wawasan dan keterampilan agar bisa disinergikan dengan pembentukan karakter dan pola pikir. Tanpa karakter, pendidikan hanya akan menghasilkan tenaga kerja atau tukang yang keterampilannya lekang oleh waktu.