Palapa Ring yang membuka konektivitas internet ke seluruh wilayah memunculkan tantangan bagi masyarakat untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI/C ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi digital diperkirakan tumbuh pesat sejalan dengan pengoperasian penuh Palapa Ring mulai Agustus 2019. Bisnis masa depan berbasis digital di seluruh Indonesia perlu disiapkan dengan mengangkat potensi unggulan daerah.
Hasil riset e-Conomy SEA 2019 yang dilansir Google, Temasek, dan Bain & Company menaksir potensi ekonomi digital di Indonesia bakal menyentuh 133 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.862 triliun pada 2025. Pada 2018, pendapatan ekonomi digital 27 miliar dollar AS, sedangkan tahun ini diprediksi 40 miliar dollar AS atau setara Rp 566 triliun.
Saat ini, lebih dari 60 persen penduduk Indonesia atau sekitar 171 juta merupakan pengguna internet. Dengan jumlah pengguna yang besar dan jaringan yang tersedia, potensi bisnis digital diharapkan tumbuh dan berkembang tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di wilayah terpencil yang terhubung internet.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Widodo Muktiyo, di Jakarta, Kamis (31/10/2019), memaparkan, peluang bisnis masa depan terbuka di daerah. Palapa Ring yang membuka konektivitas internet ke seluruh wilayah memunculkan tantangan bagi masyarakat untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas.
”Pemerataan pengetahuan tentang digital ekonomi sangat penting. Dengan kemampuan masyarakat untuk mengelola teknologi internet, kekhawatiran ekonomi hanya dikuasai elitis bisa dipatahkan,” katanya dalam Seminar Pemerataan Ekonomi Berbasis Digital.
Pemerintah akan berperan sebagai fasilitator transformasi digital serta mendorong literasi masyarakat terhadap teknologi digital. Dengan demikian, masyarakat bisa mengakses teknologi digital secara positif untuk mendukung produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Literasi yang tidak merata dinilai dapat memicu ketimpangan pemanfaatan teknologi informasi. Pemerintah daerah dituntut cepat menangkap peluang meningkatkan daya saing daerah.
Pemerataan pengetahuan tentang digital ekonomi sangat penting.
Direktur Utama Bakti Anang Latif mengemukakan, dalam 5-10 tahun mendatang, persoalan konektivitas telekomunikasi antarwilayah diharapkan sudah tuntas. Bonus demografi penduduk di Indonesia diharapkan memiliki landasan pendidikan yang memadai sekaligus kemampuan digital.
”Kreativitas mendapat tempat karena setiap wilayah sudah punya akses internet. Hasil karya bisa diakses di mana saja, termasuk mengangkat kekuatan lokal daerah,” katanya.
Vice President Media & Digital PT Telkom Asli Brahmana mengemukakan, ekonomi daerah berbasis digital akan tumbuh dan berhasil jika ada komoditas unggulan daerah yang dikembangkan. Disamping itu, ada tiga syarat penopang pertumbuhan ekonomi digital, yakni e-dagang, logistik, dan sistem pembayaran.
CEO Aruna Farid Naufal Aslam menyampaikan, usaha rintisan di bidang logistik perikanan berbasis digital telah dimanfaatkan kelompok nelayan di sentra-sentra perikanan di pelosok daerah untuk membuka pasar dan meningkatkan nilai jual hasil tangkapan. Pihaknya bekerja sama dengan 5.000 nelayan dengan menawarkan alternatif pasar, jaminan harga, dan pasar berbasis digital.
Saat ini, pasar utama ekspor meliputi Malaysia, Singapura, China, Hong Kong, Amerika Serikat dan Korea. Beberapa produk ikan laut yang dipasarkan adalah kepiting, lobster, udang, kerapu, dan tuna.
Farid menambahkan, kebutuhan pasar sangat besar, sedangkan pasokan belum memenuhi permintaan. Ia mencontohkan, permintaan tuna 200-300 ton, tetapi pasokan nelayan 20-30 ton. Jaringan internet hingga pelosok daerah diyakini membuka jaringan pemasaran perikanan nelayan ke pasar ekspor.
”Sektor perikanan identik dengan daerah terpencil. Dengan jaringan internet dan sinyal yang baik, nelayan bisa memasarkan produk dengan harga yang pasti,” katanya.
Talenta
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya, Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Bonnie M Thamrin Wahid menyampaikan, perkembangan ekonomi digital mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini dan masa mendatang. Penyiapan talenta digital merupakan agenda penting pemerintah dan dunia usaha untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja.
Mengacu pada sejumlah kajian, ada kekurangan 9 juta talenta digital di Indonesia pada 2015-2030. ”Dari gap ini, setiap tahun rata-rata ada kekurangan 600.000 talenta digital,” kata Bonnie di acara Executive Leadership Forum 2019 bertajuk Reinventing the Digital Workforce for the Work of Tomorrow yang digelar iCIO Community di Jakarta, Kamis.
Merujuk Standard Chatered PLC, kata Bonnie, Indonesia pada 2030 diperkirakan menjadi negara ekonomi terbesar keempat dunia dengan produk domesik bruto (PDB) 10,1 triliun dollar AS.
”Talenta digital di sisi keterampilan, inovasi, dan kreativitas harus disiapkan menghadapi era Industri 4.0 dan disrupsi perkembangan pesat teknologi,” kata Bonnie.
Chairman iCIO Community Rico Usthavia Frans menambahkan, inovasi teknologi berimplikasi besar terhadap ketenagakerjaan. ”Perubahan teknologi dapat memengaruhi kebutuhan tenaga kerja,” ujarnya.
Direktur Operasi dan Teknologi Informasi PT Bank CIMB Niaga Tbk Rita Mas’oen mengatakan, perbankan melihat peran teknologi dalam mengefisienkan pekerjaan. ”Teknologi robotik dan sebagainya terlihat cukup memadai dipakai di bank. Sekarang kami sudah mulai memakainya di operasional untuk proses bisnis dan IT,” kata Rita.
Chief of Talent Bukalapak Bagus Harimawan menuturkan, talenta digital bernilai penting, terutama pada bisnis yang memiliki kompleksitas tinggi. ”Di bisnis kami, misalnya, ada 2 juta transaksi lebih setiap hari, ada 2,5 juta lebih mitra, dan hampir 5 juta pelapak,” katanya.
Bagus menuturkan, dari sisi organisasi, Bukalapak didukung sekitar 2.100 orang.
Wakil Ketua Komite Tetap Pemberdayaan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Wisnu Wibowo mengatakan, isu gap atau kekurangan tenaga kerja telah teridentifikasi sejak awal 2000. Saat itu banyak perusahaan asing membuka kantor atau cabang baru di Indonesia. ”Mereka memerlukan tenaga-tenaga kerja untuk mengelola bisnis mereka yang menerapkan otomasi dan lainnya,” kata Wisnu. (LKT/CAS)