Gereja Katedral dan Sumpah Pemuda 1928
Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda salah satunya digelar di gedung Katholieke Jongelingen Bond. Gedung ini berada di kompleks Gereja Katedral, Jakarta. Memori itu dilestarikan untuk generasi penerus.
Hai para pemuda dan pemudi Indonesia. Apa yang bisa kalian ingat dari hari-hari ini? Apakah semangat dari para pendahulu itu masih tersisa di dada kita semua? Apakah keinginan untuk bersatu itu masih ada? Kenapa sekarang kita diserang badai perbedaan yang makin tajam?
Rentetan pertanyaan itu menandai akhir pertunjukan video mapping yang ditampilkan pada dinding muka Gereja Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga atau yang biasa dikenal sebagai Gereja Katedral, Jakarta, Senin (28/10/2019) malam. Tidak kurang dari 12 proyektor menembakkan citra video ke bagian muka gereja yang telah berusia lebih dari 100 tahun itu.
Malam itu, 91 tahun yang lalu, Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 ditutup dan menghasilkan resolusi, ”Sumpah Pemuda”. Selama tiga hari berturut-turut, 26-28 Oktober 2019, bagian muka Katedral Jakarta menjadi kanvas untuk lukisan cahaya video mapping dalam rangka memperingati tonggak sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia tersebut.
Selama 15 menit, ratusan orang yang memenuhi halaman Gereja Katedral dipuaskan dengan permainan cahaya yang ditampilkan. Para penonton seakan mendapatkan kursus kilat akan sejarah pergerakan kemerdekaan.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendirian organisasi Boedi Oetomo ditampilkan di awal pertunjukan, mulai dari Dr Soetomo, Wahidin Sudirohusodo, hingga KH Ahmad Dahlan dan RM Tirto.
Kemudian, pertunjukan dilanjutkan dengan tampilan gambar para tokoh Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda II (27-28 Oktober 1928). Tokoh-tokoh pemuda itu antara lain Soenario, J Leimena, S Mangoensarkoro, WR Supratman, M Yamin, dan Soegondo Djojopoespito.
Para tokoh proklamasi pun ditampilkan di antara relief neogotik Katedral, dari dwitunggal Soekarno-Hatta hingga tokoh muda Sutan Syahrir.
Lalu, di tengah pertunjukan, para hadirin disuguhi sentuhan aransemen komposer Addie MS pada karya klasik Alfred Simanjuntak, ”Bangun Pemuda Pemudi”. Lirik lagu itu pun disorotkan ke muka Katedral sehingga tidak sedikit hadirin yang turut bersenandung.
Merawat sejarah
Melalui video mapping itu, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ingin menghidupkan ingatan bahwa kesadaran kolektif berbangsa tidak hanya bermula saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi telah lama sebelumnya.
”Sumpah Pemuda bersama-sama dengan Kebangkitan Nasional 1908 dan dimaklumatkannya Pancasila sebagai landasan negara kita adalah tonggak-tonggak sejarah yang sangat menentukan bagi bangsa Indonesia,” kata Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo dalam pidatonya saat menyambut ratusan hadirin yang memadati halaman depan Katedral Jakarta.
Baca juga: 52 Juta Pemuda Jadi Modal pada Era 4.0
Suharyo mengatakan, video mapping adalah upaya KAJ untuk merawat kembali ingatan bersama—tidak hanya akan Sumpah Pemuda—tetapi juga komitmen para pendiri bangsa yang sepakat mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan dasar persaudaraan yang melampaui sekat-sekat agama, suku, ataupun ras.
”Dengan merawat ingatan bersama secara kreatif, kita akan mempunyai kekuatan bersama yang besar untuk terus mempererat persaudaraan, untuk terus bersama-sama mengatasi segala macam tantangan bangsa kita,” kata Mgr Suharyo didampingi para pemuka lintas agama.
Sejarawan Anhar Gonggong sepakat dengan Suharyo. Menurut dia, persatuan sebagai aspek yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia yang beragam terwujudkan secara nyata saat Kongres Pemuda II.
Saat itu, para pemuda dengan beragam latar belakang dapat mengesampingkan perbedaan serta menggelar dialog dan kemudian bersatu, bergotong royong, untuk kemajuan bersama bangsa Indonesia.
”Sumpah Pemuda dan bahkan Indonesia dilahirkan oleh anak-anak muda dengan kecerdasan otak dan kecairan hati,” kata Anhar.
Baca juga: Sumpah Pemuda dan Data Pintar
Melalui rekaman video, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar pun menyatakan bahwa generasi muda Indonesia saat ini harus meneladani para pendahulu. Mereka dapat menyingkirkan perbedaan identitas dan bekerja sama demi lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka.
”Mari kita menciptakan bangsa Indonesia yang sangat kuat, apa pun agamanya, apa pun etniknya, apa pun jenis kelaminnya, mari kita bahu-membahu sebagai warga negara Indonesia untuk mengangkat martabat keindonesiaan sehingga dapat memiliki daya saing internasional dan insya Allah akan berjaya di masa datang,” kata Nasaruddin.
Baca juga: Menggantungkan Harapan kepada Pemuda
Sejarah kongres
Mengapa Katedral Jakarta menjadi lokasi untuk merawat ingatan Sumpah Pemuda 1928 dan kesadaran kolektif berbangsa?
Malam hari, 27 Oktober 1928, rapat pertama Kongres Pemuda II digelar di gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB) atau Perhimpunan Pemuda Katolik. Sejumlah literatur menyebutkan, gedung KJB telah berganti menjadi Gedung Pertemuan Gereja Katedral Jakarta. Gedung ini berada di belakang Katedral.
Dari Memoar Alumni Pemuda Katolik yang disusun Djokopranoto, Lahur, dan Soedjoed, gedung KJB diupayakan pendiriannya oleh Pastor Jan van Rijkervosel yang juga inisiator terbentuknya KJB. Gedung itu mulai digunakan pada 1918.
Pada saat itu, sejumlah pastor misionaris yang bertugas di Hindia Belanda memiliki keberpihakan kepada pribumi dan gerakan mencapai kemerdekaan. Hal ini, antara lain, terlihat pula dari Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Katholieke Sociale Bond (KSB) atau Perkumpulan Kemasyarakatan Katolik yang turut disusun Jan sebelum membentuk KJB. KJB, untuk diketahui, merupakan organisasi sayap dari KSB.
Baca juga: Pesan dari Tempat Kongres Pemuda II
Di buku Politik Bermartabat: Biografi IJ Kasimo karya JB Soedarmanta, salah satu poin di AD/ART itu menyebutkan, orang Jawa berhak untuk tumbuh sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Keberpihakan tersebut juga terlihat dari persahabatan Jan dengan M Hatta dan IJ Kasimo, dua tokoh pergerakan kemerdekaan. Jan, menurut Adolf Heuken dalam 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta, bahkan dipilih menjadi penasihat Jong Sumateranen Bond atau Perkumpulan Pemuda Sumatera, salah satu perkumpulan yang turut dalam Kongres Pemuda II.
Berangkat dari hal itu, tidak heran para pastor misionaris plus KJB mendukung gerakan para pemuda tahun 1928 dan mengizinkan gedung KJB menjadi lokasi kongres. Ini selain pertimbangan gedung yang mampu menggelar kongres yang kemungkinan dihadiri banyak orang pada saat itu tidak banyak.
Pastor Paroki Katedral Jakarta Hani Rudi Hartoko SJ menguatkan bahwa gedung KJB itu berada di lingkungan Gereja Katedral. Dari penelusurannya, ratusan pemuda dari berbagai organisasi pemuda hadir.
”Dilaporkan dihadiri sekitar 600 pemuda yang berjubel dan tidak tertampung. Banyak yang berdiri,” tutur Romo Hani.
Kita ingin menghargai sejarah dan merawat ingatan kita bersama. Ingatan yang menyatukan kita akan cita-cita dan mimpi bersama, yaitu Indonesia.
Sejarah ini yang mendorong KAJ menggelar video mapping di Gereja Katedral saat peringatan Sumpah Pemuda tahun ini. Sejarah itu pula yang sebenarnya mendorong Gereja menyediakan ruang khusus di Museum Katedral Jakarta, yang mengangkat memori seputar Kongres Pemuda II di KJB. Museum tersebut mulai dibuka sejak akhir tahun lalu.
”Kita ingin menghargai sejarah dan merawat ingatan kita bersama. Ingatan yang menyatukan kita akan cita-cita dan mimpi bersama, yaitu Indonesia,” kata Romo Hani.
Baca juga: Merawat Ingatan untuk Masa Depan
Sekretaris KAJ Romo Vincentius Adi Prasojo Pr mengatakan, semangat untuk merawat ingatan kolektif akan Sumpah Pemuda sejalan dengan Arah Dasar KAJ 2016–2020. Setiap lima tahunan, KAJ menetapkan garis besar kebijakan yang menjadi dasar setiap kegiatan gereja-gereja di bawah naungannya.
Dalam Arah Dasar KAJ 2016-2020, Pancasila dipilih menjadi tema utama. Setiap sila Pancasila mendapatkan penekanan khusus selama lima tahun ini. Tahun ini adalah tahun keempat. Maka, tahun 2019 mengusung semangat sila keempat. KAJ pun mengangkat semboyan ”Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”.
Kita terus mencoba menjadi warga negara yang mengenang dan terus menggelorakan nilai-nilai yang telah menjadi warisan dari para pendahulu, yakni persatuan.
Hikmat menjadi kata kunci. Bangsa yang berhikmat, menurut Romo Adi, berarti bangsa yang berjalan dengan panduan kearifan nilai-nilai yang telah diwariskan para pendahulu. Salah satunya, nilai persatuan lintas identitas.
Baca juga: Gereja Katedral Jakarta Sambut Peringatan Sumpah Pemuda
Romo Adi mengatakan, implementasi Arah Dasar KAJ adalah bentuk upaya kontribusi umat Katolik untuk tidak hanya mewartakan nilai-nilai rohani, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan yang diwariskan para pendiri bangsa.
”Artinya, kita terus mencoba menjadi warga negara yang mengenang dan terus menggelorakan nilai-nilai yang telah menjadi warisan dari para pendahulu, yakni persatuan,” ujarnya.