Lewis Hamilton mampu mengalahkan dirinya sendiri hingga tinggal membutuhkan empat poin dari balapan di Sirkuit Amerika, pada akhir pekan ini, untuk memastikan diri sebagai juara dunia.
Oleh
Agung Setyahadi
·3 menit baca
AUSTIN, KAMIS - Lewis Hamilton seperti roda yang terus menggelinding. Dia dinamis, enggan terjebak kemapanan dan rasa berpuas diri. Pun mampu berdamai dengan keadaan dan menjadikan kegagalan di musim-musim sebelumnya untuk berbenah dan menjadi pebalap terhebat di era ini.
Pebalap tim Mercedes itu, kini sedang menjemput pencapaian besar, menjadi pebalap kedua di ajang Formula 1 yang meraih enam gelar juara dunia, setelah Michael Schumacher. Mantan pebalap Ferrari itu meraih gelar keenam pada 2003. Setahun kemudian, Schumacher menancapkan rekor baru, tujuh gelar juara dunia, terbanyak sepanjang era Formula 1.
Jika Hamilton meraih empat poin, atau finis kedelapan pada balapan di Sirkuit Amerika, Texas, Austin, Minggu (3/11/2019), dia akan meraih gelar juara keenamnya.
”Ini menjadi medan perburuan yang bagus bagi saya, jadi sangat menyenangkan pergi ke sana,” ujar Hamilton, Kamis (31/10/2019). ”Semoga kami mendapat balapan yang bagus di sana,” lanjut pebalap Inggris itu.
Hamilton musim ini menjadi pebalap yang sangat minim membuat kesalahan. Dia sangat memahami karakter ban, juga kemampuan mobil Mercedes W10 yang dia pacu. Dia juga didukung oleh tim yang solid, dengan komunikasi yang semakin cair sejak musim yang kurang bagus pada 2016. Kondisi itulah yang membuat Ferrari dengan mesin SF90 yang sangat cepat, gagal mengusik dominasi Mercedes.
Kemampuan Hamilton menaikan levelnya di setiap musim, salah satunya diuji pada 2017. Setelah kalah bersaing dengan rekan setimnya Nico Rosberg pada 2016, Hamilton kecewa berat. Dia frustasi di akhir musim 2016 karena koordinasi dengan tim tersendat, juga sejumlah strategi tim membuat dirinya kehilangan poin. Rosberg pun juara, dan kemudian memilih pensiun.
Frustasi Hamilton terbaca oleh bos tim Mercedes Toto Wolff. Mereka pun makan malam di rumah Wolff, dan membahas masa depan tim dalam percakapan yang dikenal dengan ”obrolan dapur”. Percakapan dari hati ke hati itu mengerucut pada perbaikan komunikasi tim dan pengembangan mesin yang lebih andal.
Hasilnya, Hamilton membalap dengan level yang jauh lebih matang pada 2017. Dia tak terkejar oleh rekan setimnya Valtteri Bottas, juga dua pebalap Ferrari Sebastian Vettel dan Kimi Raikkonen. Situasi yang sama berulang di musim 2018. Singkat kata, dia tak memiliki lawan sepadan.
Memasuki musim 2019, Hamilton menciptakan lawan imajiner, yaitu dirinya sendiri. Dia mengejar bayangannya di musim 2018, supaya bisa membalap lebih cepat dan tidak terjebak dalam rasa jemawa. Dia menempatkan dirinya dalam situasi yang tak mapan, demi menjaga insting petarungnya untuk terus menyala.
Mentalitas Hamilton itulah yang membuat dirinya kembali tampil dominan musim ini. Bahkan, di saat para pebalap muda seperti Charles Leclerc (Ferrari) dan Max Verstappen (Red Bull) mengusik di beberapa seri, dia selalu bisa kembali ke habitat alaminya, di panggung podium. (AP)