Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke sejumlah negara tujuan cenderung turun karena sejumlah hambatan. Indonesia perlu mencari pasar baru karena ekspor masih jadi andalan.
Oleh
MEDIANA / SUHARTONO
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke sejumlah negara tujuan cenderung turun karena sejumlah hambatan. Indonesia perlu mencari pasar baru karena ekspor masih menjadi andalan.
Ekspor kelapa sawit Indonesia ke sejumlah negara, seperti India, Pakistan, Belanda, Spanyol, dan Italia, cenderung turun seiring melemahnya permintaan. Oleh karena itu, sebagai produsen utama, Indonesia perlu mencari pasar baru.
Penurunan kinerja ekspor ke India, misalnya, sejalan penerapan tarif impor minyak sawit mentah (CPO) sebesar 40 persen sejak Maret 2019. Sementara ekspor ke pasar Uni Eropa ditengarai turun karena terdampak implementasi kebijakan pembatasan CPO untuk biodiesel sejak Mei 2019.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono, pada pidato pembukaan Konferensi Minyak Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference/IPOC) ke-15 dan Proyeksi Harta 2020 di Nusa Dua, Bali, Kamis (31/10/2019), menyatakan, Indonesia perlu terus meningkatkan daya saing untuk meningkatkan ekspor sawit.
Dengan kontribusi sekitar 70 persen, Indonesia adalah pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia.
”Hal itu artinya Indonesia tetap membutuhkan pasar global sehingga dalam situasi apa pun Indonesia punya posisi yang kuat dan berdaya saing,” kata Joko.
Syarat yang ditetapkan pasar Uni Eropa untuk minyak sawit berkelanjutan makin ketat. Hambatan dagang di pasar global serta aturan pembatasan tak terhindarkan. Dalam situasi seperti itu, Indonesia punya pasar alternatif.
Nilai tambah
Ekonomi dari Cirad, pusat riset Peranci, Jean-Marc Roda, berpendapat, ”serangan” Uni Eropa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengoptimalkan industri minyak kelapa sawit untuk meraih nilai tambah lebih besar. Sebagai ilustrasi, nilai tambah minyak sawit hanya 20–50 persen, sementara nilai tambah produk bahan makanan berbahan dasar refined oil 150 persen.
Minyak sawit juga bisa diolah jadi bahan untuk sejumlah produk, seperti kosmetik, parfum, deterjen, cat, dan farmasi, yang memiliki nilai tambah sekitar 600 persen.Selain itu, negara produsen minyak sawit Asia Tenggara seperti Indonesia juga tetap perlu memperhatikan pembangunan pertanian berkelanjutan.
Wakil Presiden Ma’aruf Amin, dalam sambutannya saat pembukaan konferensi, mendorong pentingnya meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit. Target peremajaan yang menyasar 185.000 hektar kebun rakyat sampai akhir 2019 mesti terealisasi.
”Hal terpenting, tata kelola perkebunan kelapa sawit jangan sampai diabaikan, sebab hal itu jadi kunci meningkatkan produktivitas,” ujarnya.
Hingga akhir tahun 2018, total luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,3 juta hektar, terdiri dari kebun rakyat 5,83 juta hektar, badan usaha milik negara 0,713 juta hektar, dan perusahaan swasta 7,788 hektar. Total produksi minyak kelapa sawit berkisar 37,8 juta ton per tahun.
Wakil Presiden menambahkan, selain tata kelola lahan, upaya meningkatkan produktivitas industri dalam negeri bisa dengan cara menambah jenis pemanfaatan, seperti biodiesel untuk pasar lokal. Kebijakan pencampuran 20 persen biodiesel dalam solar (B20), misalnya, sejauh ini telah mampu menyerap 4 juta ton dari total produksi biodiesel dalam negeri yang diperkirakan mencapai 6,4 juta ton sampai akhir tahun 2019.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia selama Januari-Agustus 2018 mencapai 108,72 miliar dollar AS. Pada periode yang sama tahun ini, nilainya turun 6,66 persen. Nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati mencapai 10,85 miliar dollar AS dan menyumbang 10,69 persen terhadap total ekspor nonmigas Januari-Agustus 2019 atau turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 19,42 persen.
Berdasarkan laporan ”Neraca Pembayaran Indonesia Triwulan II-2019” Bank Indonesia, pertumbuhan ekspor 10 komoditas utama nonmigas triwulan II-2019 mengalami kontraksi dibandingkan setahun sebelumnya akibat kontraksi ekspor riil dan harga komoditas. Ekspor minyak nabati, yang sebagian besar berupa minyak sawit, mengalami kontraksi lebih dalam. Nilainya 10,85 miliar dollar AS dan menyumbang 10,69 persen terhadap total ekspor nonmigas, padahal triwulan sebelumnya yang 13,3 persen.
Founder and Curiosity Officer Competere Italia, Pietro Paganini, memandang pentingnya kampanye positif terhadap minyak sawit sebagai antitesis atas informasi negatif. Edukasi perlu terus dilakukan karena tidak semua konsumen, bahkan yang sudah terdidik, rasional ketika disodorkan minyak kelapa sawit. (MED/HAR)