JAKARTA, KOMPAS - Pemilihan Umum 2024 masih jauh, tetapi partai-partai politik ditengarai mulai melakukan penjajakan komunikasi sejak dini. Namun, gerakan partai-partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin ini dikhawatirkan bisa menimbulkan kecurigaan, sehingga merapuhkan koalisi pemerintahan.
Sinyal-sinyal itu antara lain terlihat dari pertemuan antara Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman di Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Seperti diketahui, Nasdem saat ini merupakan partai pendukung pemerintah, sementara PKS berada di luar pemerintahan.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10), menilai, langkah Nasdem itu sebenarnya wajar sebagai ancang-ancang menuju Pemilu 2024. Apalagi, Pemilu 2024 akan ditandai perpolitikan "pasar bebas" karena akan terjadi alih generasi dan munculnya aktor-aktor politik baru. Presiden Jokowi tak akan maju lagi karena sudah dua periode menjabat.
Tidak menutup kemungkinan, ujarnya dalam waktu dekat, akan muncul poros-poros koalisi baru. “Kita tinggal melihat saja, berapa tahun lagi (koalisi) ini akan bertahan. Setelah itu, orang-orang akan mulai membayangkan koalisi-koalisi baru untuk 2024. Itu kalkulasi politik yang wajar,” kata Lodewijk.
Hal senada disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa. Menurutnya, langkah Nasdem itu serupa dengan langkah PDI-P dan Gerindra, yang juga sudah menjajaki komunikasi politik. Dari semula rival di Pemilu 2019, kedua partai itu kini sangat dekat. Gerindra bahkan sekarang sudah menjadi bagian dari partai pendukung pemerintah.
Soliditas koalisi
Dalam diskusi dengan para pemimpin redaksi media massa di Jakarta, kemarin, Surya Paloh menjelaskan ia membuka komunikasi dengan PKS untuk mencari persamaan, termasuk dalam menjaga NKRI. Menurut dia, Nasdem mengutamakan apa yang menjadi masalah besar bangsa.
Surya Paloh juga menegaskan Nasdem tetap menghormati pilihan PKS untuk menjadi oposisi. Di dalam negara demokrasi, parpol adalah pilar strategis, peran oposisi tetap diperlukan untuk menjadi kontrol bagi pemerintah.
Menjawab pertanyaan apakah langkah itu mengindikasikan Nasdem akan menjadi oposisi, Surya mengatakan, Nasdem tidak ingin menjadi oposisi. Nasdem saat ini sedang menikmati kekuasaan di dalam pemerintah. Nasdem adalah partai pertama yang mendukung Jokowi tanpa syarat. Tidak ada jarak (gap) antara Nasdem dan Jokowi.
Secara tersirat dia juga menyampaikan sudah memberi tahu Presiden Joko Widodo mengenai rencana bertemu PKS. Meski demikian, langkah Nasdem itu dinilai kurang etis oleh sebagian anggota koalisi pendukung pemerintah. Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid menilai manuver itu membuat anggota koalisi saling curiga satu sama lain.
“Kami hormati rumah tangga partai lain. Tetapi, seharusnya utamakan kebersamaan. Kami bertanya-tanya, apa maksud Nasdem? Hanya silaturahmi atau manuver politik? Sekarang seharusnya fokus dulu bekerja, jangan sampai kita satu sama lain saling curiga,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengingatkan kewajiban terpenting partai pengusung Jokowi-Amin seharusnya mendukung pemerintahan. Partai-partai koalisi, termasuk Nasdem, seharusnya tak bermanuver untuk meningkatkan posisi tawar di koalisi.
“Politik dua kaki itu harus dihindari partai koalisi pendukung pemerintah. Namanya komitmen itu harus ada loyalitas dan kesetiaan,” ujarnya.