Setiap tahun Indonesia mendatangkan berbagai bahan pangan, seperti beras, gandum, jagung, kacang-kacangan, dan ubi dari luar negeri. Impor dilakukan untuk menambah suplai bahan pangan di pasar domestik akibat minimnya ketersediaan. Impor bisa pula dilakukan untuk berjaga-jaga, meningkatkan ketahanan pangan nasional dan mencegah kelangkaan pangan.
Pada 2015-2018, rata-rata volume impor bahan pangan mencapai 20 juta ton per tahun. Besarnya volume impor menyebabkan neraca perdagangan komoditas pangan defisit: jumlah yang diimpor lebih banyak daripada produk yang diekspor. Tercatat rata-rata defisit neraca perdagangan subsektor tanaman pangan mencapai 6,75 miliar dollar AS per tahun.
Nominal defisit ini tak terpaut jauh dengan nilai impor pangan yang hampir menyentuh 7 miliar dollar AS. Kondisi demikian mengindikasikan semua produksi pangan dalam negeri ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Itu pun masih kekurangan sehingga harus melakukan impor untuk mencukupi permintaan. Hasilnya, neraca perdagangan mengalami defisit karena nilai impor sangat tinggi dibandingkan nilai ekspor yang relatif rendah, yakni 184 juta dollar AS setahun.
Dari sekitar delapan subsektor tanaman pangan yang diimpor, setidaknya ada empat komoditas yang memiliki kuantitas sangat besar. Keempatnya meliputi beras-berasan, gandum, jagung, dan kedelai.
Komoditas-komoditas itu setiap tahun rata-rata menyumbang 19,7 juta ton atau 95 persen dari seluruh impor subsektor tanaman pangan. Jika diurutkan, impor terbesar adalah gandum dengan jumlah permintaan setahun hingga 10,11 juta ton, kedelai sebesar 6,80 juta ton, jagung sekitar 1,60 juta ton, dan beras-berasan sekitar 1,17 juta ton per tahun.
Beragam alasan mendasari impor yang dilakukan. Salah satunya adalah rendahnya produksi gandum. Bukan tradisi pertanian Indonesia menanam gandum, sementara kebutuhannya sangat besar karena permintaan yang tinggi dari industri produk makanan olahan.
Faktor penyebab lain adalah rendahnya produksi dari petani sehingga tidak memenuhi permintaan dalam negeri. Alasan ini biasanya diutarakan saat permintaan jagung dan kedelai melonjak akibat langka. Selain untuk mencukupi permintaan, pengadaan jagung dan kedelai dari luar negeri juga untuk menurunkan harga di pasaran yang terkadang melonjak tinggi.
Impor jagung umumnya bertujuan menurunkan harga pakan ternak yang mahal karena mayoritas pakan ternak olahan menggunakan bahan baku dari jagung. Impor kedelai juga untuk meredam kenaikan harga produk-produk makanan olahan yang dikonsumsi manusia. Hampir semua kedelai terserap untuk produksi makanan olahan, seperti tempe dan tahu. Impor kedelai penting untuk menjaga ketersediaan makanan sumber protein bagi masyarakat.
Impor untuk mengamankan pasokan stok biasanya dilakukan pada produk yang sangat penting, seperti beras. Stok bertujuan mengantisipasi kegagalan panen atau penurunan produksi akibat berbagai faktor.
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, ketersediaan beras di pasaran juga harus meningkat. Kelangkaan beras akan menyebabkan gejolak pasar dan keresahan umum karena beras merupakan bahan makanan primer di Indonesia. Posisinya berbeda dengan komoditas jagung, kedelai, ataupun gandum yang bersifat komplementer, sewaktu-waktu dapat diganti dengan produk lain ketika mengalami kelangkaan.
Perbedaan ukuran
Dari empat produk pangan impor tersebut, beras kerap kali menjadi sumber perdebatan. Keinginan pemerintah berswasembada beras sejak Reformasi belum tercapai hingga sekarang. Padahal, di atas kertas, produksi beras Indonesia tampak terus meningkat dan mampu menutup konsumsi rata-rata masyarakat Indonesia.
Kenyataannya, impor baik dalam bentuk gabah, beras siap konsumsi, hingga beras pecah dengan kualitas lebih rendah terus dilakukan. Bahkan, trennya meningkat. Pada 2015-2018, impor beras konsumsi rata-rata meningkat sekitar 432.000 ton per tahun sehingga pada tahun 2018 jumlah impornya mencapai 1,8 juta ton. Angka ini melonjak lebih tinggi lagi menjadi 2,25 juta ton jika memasukkan semua varian impor beras pada tahun 2018, yang terdiri dari gabah, beras konsumsi, beras ketan, hingga beras pecah dan sejenisnya.
Hal ini tentu merupakan ironi karena dengan luas sawah lebih dari 8,1 juta hektar, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Padahal, luas lahan bertambah tiap tahun hingga sekitar 17.000 hektar dengan produktivitas sekitar 54 kuintal per hektar. Berdasarkan data Statistik Pertanian, tahun 2015-2018, produksi padi Indonesia rata-rata 79 juta ton. Angka ini relatif besar dan mampu mencukupi permintaan pangan domestik.
Jika dibuat estimasi jumlah penduduk dikalikan angka konsumsi beras tahun 2017 sebesar 114,6 kilogram per kapita per setahun, produksi beras Indonesia sangat mencukupi. Pada tahun 2015-2018, total konsumsi beras seluruh penduduk 29,83 juta ton per tahun, sedangkan angka produksi berasnya diperkirakan mencapai 51 juta ton per tahun. Jumlah produksi beras ini diperoleh dari konversi gabah kering giling (GKG) ke beras yang besarnya 64,02 persen. Hasil konversi menunjukkan, produksi beras Indonesia rata-rata surplus sekitar 21 juta ton per tahun.
Namun, analisis data proyeksi yang bersumber pada data produksi padi Kementerian Pertanian itu sangat janggal. Jika benar mengalami surplus beras, Indonesia tak perlu mengimpor, tetapi justru berpeluang besar menjadi eksportir. Apakah benar Indonesia mengalami surplus beras sebesar itu? Kenyataannya, impor terus dilakukan sepanjang tahun.
Apabila data dari Kementerian Pertanian dikomparasikan dengan data luas panen dan produksi beras tahun 2018 hasil olahan BPS, hasilnya berbeda sangat jauh. Data BPS menunjukkan, produksi padi pada 2018 sebanyak 56,54 juta ton GKG. Gabah ini lalu dikonversi menjadi beras, yakni sebanyak 32,42 juta ton. Dengan estimasi konsumsi beras pada tahun 2018 sebanyak 29,57 juta ton, surplus beras hanya sekitar 2,85 juta ton. Angka ini terpaut jauh dengan data estimasi Kementerian Pertanian yang surplusnya lebih dari 20 juta ton.
Perbedaan itu sangat membingungkan karena kedua institusi sama-sama melakukan konsolidasi data setiap saat. Jika dirunut satu-satu, tampak asal muasal perbedaan data. Perbedaan signifikan terdapat pada jumlah produksi padi. BPS pada tahun 2018 memperkirakan produksi padi nasional 56,53 juta ton, sedangkan estimasi Kementerian Pertanian sebanyak 83,04 juta ton.
Kebutuhan beras Indonesia rata-rata hampir mencapai 2,5 juta ton per bulan atau sekitar 30 juta ton setahun. Dengan rutinitas Indonesia mengimpor beras setiap tahun, hampir dapat dipastikan penghitungan yang dilakukan BPS paling mendekati kenyataan.
Terlepas informasi mana yang benar dari dua lembaga tersebut, perlu dilakukan konsolidasi untuk kesamaan data produk pangan pada masa mendatang. Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Maju Syahrul Yasin Limpo bertekad melakukan pendataan ulang untuk membenahi sektor agraris.
Pembenahan salah satunya terkait angka-angka produksi yang mencakup surplus dan defisit pangan yang berdampak pada kebijakan ekspor ataupun impor. Dengan pendataan ini, data riil yang tersaji dapat digunakan untuk merencanakan kebijakan yang lebih baik dan tepat. (LITBANG KOMPAS)