RUU Bea Materai Diundangkan Paling Cepat pada 2020
Lika-liku pengesahan Rancangan Undang-Undang Bea Materai belum menemui jalan keluar.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lika-liku pengesahan Rancangan Undang-Undang Bea Materai belum menemui jalan keluar. RUU Bea Materai akan kembali dibahas dan diundangkan paling cepat pada 2020.
Dalam RUU Bea Materai, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengusulkan kenaikan tarif bea materai dari Rp 3.000 dan Rp 6.000 menjadi satu materai dengan satu harga, yaitu Rp 10.000. Pembahasan RUU Materai ini sudah dilakukan beberapa kali dalam rapat kerja Komisi XI DPR periode 2014-2019.
Anggota Komisi XI DPR, Mukhammad Misbakhun, yang dihubungi di Jakarta, Jumat (1/11/2019), mengatakan, pembahasan lanjutan RUU Bea Materai masih menunggu keputusan badan legislasi. Kemungkinan besar RUU Bea Materai akan dibahas dan disahkan pada 2020.
”Pada 2019 tidak ada pembahasan undang-undang mana yang akan dilanjutkan dan mana yang akan dipindahkan,” ujar Misbahkhun.
Dalam rapat kerja terakhir pada Agustus 2019, Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR baru menyepakati Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Bea Materai. Ada 218 DIM dalam RUU Bea Materai, yang terdiri dari 111 DIM tetap, 77 DIM perubahan, dan 30 DIM baru.
Misbakhun mengatakan, sebagian besar substansi RUU Bea Materai telah selesai dibahas. Namun, keberlanjutan pembahasan sampai pengesahan menjadi undang-undang masih harus menunggu keputusan legislasi.
Pemerintah dan DPR telah membentuk tim pembahasan dan panitia kerja untuk mempercepat pengesahan RUU Bea Materai. Tim yang beranggotakan 86 orang ini diketuai oleh Ketua Komisi XI DPR periode 2014-2019 Melchias Marcus Mekeng dan Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu periode 2017-2019 Robert Pakpahan.
Lima poin
Secara garis besar ada lima poin utama usulan pemerintah dalam RUU Bea Materai. Pertama, menaikkan tarif Bea Materai menjadi satu harga, yaitu Rp 10.000. Tarif Bea Materai belum pernah mengalami perubahan sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai berlaku.
Kedua, menerapkan tarif bea materai tunggal senilai Rp 10.000. Ketiga, menyederhanakan batasan bea materai dari minimal Rp 250.000 menjadi Rp 5 juta. Keempat, memperluas obyek bea materai untuk dokumen digital atau nonkertas. Kelima, mengusulkan agar pemungut bea materai (penerbit dokumen) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelunasan bea materai.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, RUU Bea Materai diusulkan karena aturan yang ada tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi, sosial, dan kemajuan teknologi informasi. Aturan bea materai belum pernah berubah sejak tahun 1985.
Pemerintah juga menjamin RUU Bea Materai tetap mempertimbangkan aspek keadilan, RUU Bea Materai berpihak pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena dokumen yang wajib menggunakan materai bernilai transaksi di atas Rp 5 juta.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 1985, transaksi dengan nilai Rp 250.000-Rp 1 juta wajib menggunakan materai Rp 3.000 per dokumen, sementara transaksi bernilai di atas Rp 1 juta menggunakan materai Rp 6.000 per dokumen.
”Kenaikan tarif bea materai juga untuk menggali potensi penerimaan cukai yang saat ini relatif kecil,” Sri Mulyani.
Mengutip data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan bea materai sepanjang 2001-2017 dinilai rendah. Penerimaan bea materai hanya meningkat 3,6 kali lipat dari Rp 1,4 triliun tahun 2011 menjadi Rp 5,08 triliun tahun 2017.
Adapun jumlah meterai yang beredar saat ini berjumlah 79,9 juta untuk bea materai Rp 3.000 dan 803,2 juta bea materai Rp 6.000. Dari hitungan Kemenkeu, kenaikan tarif bea materai menjadi Rp 10.000 berpotensi meningkatkan penerimaan bea materai menjadi Rp 8,83 triliun per tahun.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menambahkan, perluasan obyek bea materai untuk dokumen berbasis digital diperlukan. Selain untuk menggali potensi penerimaan, bea materai digital akan memberikan kepastian hukum di tengah maraknya transaksi di platform digital.