Temukan Dugaan Korupsi, Inspektorat Daerah Boleh Melapor ke Penegak Hukum
Dalam PP No. 72/2019, inspektorat di daerah tidak perlu menunggu penugasan dari kepala daerah jika terdapat potensi penyalahgunaan wewenang atau kerugian uang negara.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski belum diatur, inspektorat di daerah boleh berkoordinasi dengan aparat penegak hukum tatkala menemukan dugaan korupsi di lingkungan pemerintah daerah. Hal itu dinilai akan lebih menguatkan peran inspektorat sebagai bagian dari aparat pengawas internal pemerintah (APIP).
Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tumpak Haposan Simanjuntak ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (31/10/2019), menyatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 72 tentang Perangkat Daerah memang tidak mengatur koordinasi antara inspektorat dan penegak hukum lain. Akan tetapi, jika meyakini ada dugaan tindakan pidana korupsi, inspektorat boleh berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan.
“Bisa sebetulnya langsung (berkoordinasi), jika setelah betul-betul diyakini sebagai tindak pidana,” katanya.
Dalam PP No. 72/2019, inspektorat di daerah tidak perlu menunggu penugasan dari kepala daerah jika terdapat potensi penyalahgunaan wewenang atau kerugian uang negara. Hasil pemeriksaan itu wajib dilaporkan ke menteri untuk inspektorat di level provinsi dan kepada gubernur jika terjadi di tingkat kabupaten/kota.
Tumpak menyatakan, inspektorat sebetulnya sudah membuat nota kesepahaman dengan kejaksaan dan kepolisian. Di tingkat pemerintah pusat, Inspektur Jenderal Kemendagri dengan Badan Reserse Kriminal Polri dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung. Demikian pula di provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam ranah koordinasi, lanjut Tumpak, inspektorat bisa mendiskusikan lebih lanjut dengan aparat penegak hukum terkait hasil pemeriksaan dan monitoring terhadap pemerintah daerah. Jika hasil monitoring menunjukkan terjadi pelanggaran administratif, maka hal tersebut tidak perlu diteruskan ke aparat penegak hukum. Akan tetapi jika kuat dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum bisa bertindak.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Kajian Hukum Administrasi Negara Pusat Pelatihan Pengembangan dan Kajian Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Said Fadhil menyatakan, nota kesepahaman berkait koordinasi inspektorat dan aparat penegak hukum tersebut merupakan tindak lanjut dari Pasal 385 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam aturan itu, koordinasi dengan aparat penegak hukum dilakukan untuk menindaklanjuti laporan dari masyarakat, bukan temuan inspektorat.
“Dalam tahap operasional, implementasi koordinasinya tidak ada mekanisme yang mengikat antarpihak,” katanya.
Dia melanjutkan, kedudukan nota kesepahaman tersebut sangat lemah karena tidak masuk dalam urutan peraturan perundang-undangan. Seharusnya hal tersebut dapat diatur dengan peraturan presiden jika revisi undang-undang tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.
Prinsip kehati-hatian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun belum sepakat mengenai langkah hukum berkait temuan dugaan penyalahgunaan di lingkungan pemerintah daerah. Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyatakan, ketiadaan klausul koordinasi antara inspektorat dan aparat penegak hukum dalam PP No. 72/2019 berangkat dari asas kehati-hatian.
Ada tingkatan proses investigasi inspektorat dalam memeriksa penyalahgunaan wewenang. Pertama audit biasa, yang jika ditemukan potensi kerugian negara maka dilanjutkan dengan audit investigasi.
“Ujungnya belum tentu pidana. Bisa saja kemungkinan ganti rugi saja. Makanya kalau langsung ke aparat penegak hukum, kasihan yang (seharusnya) hanya ganti rugi,” katanya.
Dia melanjutkan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga mesti dilibatkan ketika inspektorat melaporkan hasil investigasi kepada atasan setingkat di atasnya, dalam hal ini menteri atau gubernur. Apabila BPKP ikut serta, Pahala optimistis hasil investigasi inspektorat tidak akan “selesai secara adat” jika memang ada unsur tindak pidana.
Penguatan peran inspektorat di daerah tidak lepas dari masih terjadinya perbuatan lancung di daerah. Selama ini, inspektorat dinilai mandul dalam melakukan pencegahan korupsi. Buktinya, KPK terus melakukan operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah.
Terakhir, penyidik KPK menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin dan sejumlah pejabat Pemerintah Kota Medan, Sumatera Utara. Dzulmi ditangkap karena menerima suap dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat Isa Ansyari Rp 20 juta per bulan dan Rp 250 juta untuk pengeluaran selama perjalanan dinas Dzulmi ke Jepang.