Teknis penegakan hukum dalam menjalankan kewenangan penyidikan menjadi tidak jelas. Tentu ketika melakukan OTT, bisa dipermasalahkan di kemudian hari karena menjadi tidak jelas atas perintah siapa OTT boleh dilakukan.
Oleh
·4 menit baca
Suasana Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (31/10/2019).JAKARTA, KOMPAS – Berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi praktis membuat fungsi penindakan lembaga antirasuah menjadi terhambat. Jika terus dibiarkan, pemerintah akan berhenti dan masyarakat yang akan terdampak.
Sejak berlakunya UU KPK pada 17 Oktober 2019, hingga Jumat (1/11/2019) siang, tidak ada penetapan tersangka baru yang dilakukan oleh KPK. Bukan tanpa sebab, penindakan KPK kini menemui jalan terjal akibat kontradiksi pasal-pasal UU KPK baru.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menyatakan, tentu ada dampak UU KPK baru. Landasan hukum ini memberikan batasan yang tidak pasti dalam penegakan hukum.
“UU baru ini menimbulkan ketidakpastian prosedur yang dilakukan oleh KPK karena beberapa pasal saling bertolak belakang. KPK pun menjadi serba salah dalam melangkah karena setiap tindakan KPK itu berpotensi bermasalah secara hukum dan digugat oleh pihak lain,” kata Oce.
Operasi tangkap tangan (OTT) dan pengembangan perkara pun menjadi terhambat karena ketidakpastian dasar hukum sebagai landasan untuk menindak. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin tindakan KPK akan mudah digugat oleh pihak yang berperkara.
Terkait OTT, Oce menjelaskan, persoalannya bukan di masalah perizinan, namun status penyidik di KPK yang kini berstatus sebagai Aparatur Negeri Sipil. Sementara para pimpinan KPK pun kini bukan lagi penyidik dan penuntut umum berdasarkan UU KPK.
Dengan begitu, teknis penegakan hukum dalam menjalankan kewenangan penyidikan menjadi tidak jelas. Tentu ketika melakukan OTT, bisa dipermasalahkan di kemudian hari karena menjadi tidak jelas atas perintah siapa OTT boleh dilakukan.
Peneliti Pukat, Zaenur Rohman, juga menyampaikan demikian. Tidak adanya OTT selama lebih dari 2 minggu ini merupakan efek dari kontradiksi pasal-pasal UU KPK baru.
Pasal-pasal yang dinilai bertolak belakang, yakni Pasal 69D, yaitu sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.
Namun, dalam Pasal 70C dikatakan, pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
“Tidak ada OTT efek dari UU KPK baru karena kontradiksi Pasal 69D dan Pasal 70C. Penyidikan dan penuntutan itu butuh tanda tangan, sekarang siapa yang bisa memberikan tanda tangan? Keadaan ini jelas menunjukkan KPK gamang karena pimpinan KPK bukan lagi sebagai pimpinan tertinggi tapi hanya menjadi manajer KPK,” kata Zaenur.
Tujuan tercapai
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch Donal Fariz menyatakan, terhambatnya fungsi penindakan memang menjadi tujuan yang ingin dicapai pihak-pihak yang merevisi UU KPK. Dengan keadaan ini, proses hukum KPK dalam memberantas korupsi dengan mudah dimentahkan.
“Ini memang tujuan yang ingin dicapai dari revisi UU KPK dan sejauh ini tujuan itu berhasil meredam kerja-kerja penindakan KPK. Target ini yang kemudian berhasil dicapai hari-hari ini ketika kita melihat kerja penindakan menjadi vacuum. Kevakuman KPK menjadi target revisi UU KPK,” tegas Donal.
Tak berhenti di sini, Donal pun menyoroti adanya upaya pelemahan selanjutnya melalui penetapan pegawai KPK sebagai ASN yang harus melalui seleksi kembali. Langkah ini dinilai akan melemahkan KPK karena akan memangkas jumlah pegawai KPK yang sebenarnya telah melalui seleksi yang ketat juga.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengatakan, transisi pegawai KPK menjadi ASN akan tetap melalui proses seleksi. “Ada yang mau atau tidak, itu sah-sah saja. Kalau ada yang mau, silakan,” ujar Tjahjo.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan, sejauh ini KPK dalam melaksanakan fungsinya masih mengacu pada UU KPK sebelum direvisi. Pada saat bersamaan, KPK juga terus mempersiapkan tim transisi agar transisi dari UU lama ke baru dapat berjalan lancar.
“Pengembangan perkara tetap berlangsung dan kami tetap bekerja dengan UU lama berdasarkan pasal 69D UU KPK yang baru,” ujar Syarif.
Urgensi perppu
Oce menilai, meski sudah ada tim transisi yang akan menghasilkan peraturan komisi (perkom), namun itu tetap tidak cukup. Sebab, yang bermasalah adalah undang-undangnya.
“UU KPK baru yang harusnya diperbaiki supaya KPK dalam melakukan tugas bisa berlandaskan hukum yang kuat seperti sebelumnya. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai langkah koreksi, tidak perlu membatalkan semua tapi bisa menjadi langkah untuk memperbaiki pasal-pasal bemasalah,” ujar Oce.
Kehadiran perppu diharapkan dapat memberi efek perubahan yang cepat agar KPK tidak mati suri dalam beberapa bulan ke depan. Tanpa perppu, KPK tidak dapat melakukan tugasnya dengan sempurna.
Donal pun menyatakan bahwa perkom tidak dapat menjawab persoalan UU tidak bisa dengan solusi perkom karena hanya berlaku untuk internal dan bukan produk peraturan perundang-undangan. Tanpa perppu, maka ruang gugatan kepada KPK ke depan akan semakin besar.