Buaya Pucat yang Dinikahkah Kesepian
Bukan karena ibu lebih tua maka dimajukan satu langkah dan dinaikkan satu ranting. Tapi cinta ibu yang menginginkan anaknya tetap dekat memang seringkali rumit. Ada penderitaan di balik kepuasan kasih sayang ibu yang anaknya selalu dekat. Kondisi ini yang dirasakan Nur Hasanah.
Pada kasur yang dipasang sprei kuning Nur Hasanah bak termenung. Persis di sebelah bawah ranjang tempat pemandian berkeramik lengkap dengan keran stainless selalu bersih. Bila ingin mandi, Nur Hasanah sang buaya bergerak-gerak.
Tiada protes keras dari masyarakat awalnya. Toh setiap warga punya hak merawat binatang asal tidak mengganggu dan melukai warga. Tapi semua berubah ketika undangan pernikahan atas nama Nur Hasanah si buaya sinyulong tersebar hingga ke Kota.
Pengumuman tersebar. Nur Hasanah akan kawin dengan siluman ular dari Kalimantan. Pada hari Minggu pertengahan Maret, tenda-tenda sudah harus siap dan organ tunggal pun dipesan. Para ibu diundang untuk masak bersama.
“Iya nanti datang ya,” kata Inem, ibu dari Nur Hasanah, bicara sambil menempelkan telepon lipat di telinga kanannya. Sedangkan tangan satunya sibuk membolak-balik ayam bakar.
Setiap Senin dan Kamis Nur Hasanah makan. Makanannya adalah ayam bakar. Tidak ada alasan pasti, karena ibunya suka ayam bakar maka mungkin tak salah Nur Hasanah juga diberikannya ayam bakar.
....
Ada beberapa versi cerita Nur Hasanah bisa sampai terbaring selama 20 tahun di ranjang dengan sprei kuning. Inem satu waktu mengatakan dapat mimpi saat hamil. Saat itu dia tinggal di Musi Banyuasin.
“Aku mimpi. Terus saat melahirkan yang keluar cuma satu anak laki-laki. Dalam mimpi ada anakku namanya Nur Hasanah katanya jadi buaya dan minta jemput,” katanya.
Pada keluarga yang lain, Inem berkata kalau Nur Hasanah mendatangi Inem dalam mimpi berkali-kali. Sampai pada suatu ketika Nur Hasanah, si buaya Sinyulong muncul di depan rumah setelah kelahiran anaknya yang pertama. Katanya buaya itu saudara kembar.
Sudah dua puluh kali lebaran Nur Hasanah bermain dengan keluarga Inem. Sampai saudara kembar Inem yang bernama Surya sudah punya anak. Foto-foto anak Surya bersama Nur Hasanah ditempel di dinding. Mereka juga punya foto keluarga.
....
Sampai saat hari H pernikahan, Nur Hasanah tetap diam melongo. Bebunyian lagu dangdut dan aroma gulai di dapur tak membuatnya bergerak sedikit pun. Baginya ini asing.
Matanya bergerak melihat lalu-lalang makhluk yang berjalan dengan dua kaki. Ini terlalu aneh baginya. Tapi ya sudahlah, toh pada akhirnya dia akan dinikahkan dengan ular.
Polisi mendatangi rumahnya, kabarya beberapa warga protes. Inem diteriaki dan disebut menyesatkan.
“Pesta akan terus lanjut,” kata Warso, ayah dari Nur Hasanah.
Warso sudah mengundang pejabat-pejabat yang biasa datang mengunjungi Nur Hasanah. Mereka sering menitipkan amplop sampai membuatkan bak mandi keramik Nur Hasanah. Sejak pejabat-pejabat datang itu, hari Minggu dan Sabtu berjejer mobil bagus parkir. Mereka minta doa dari Nur Hasanah. Ya, para pejabat itu.
Warso berharap pejabat-pejabat ini datang memberikan amplop yang tebal. Dia melihat Nur Hasanah dan kembali mengelus-elus kulit kerasnya yang kering dan pucat.
Karena sibuk sejak kemarin pagi, Inem merasa lelah dan mengantuk. Dia tertidur sebentar pada pukul 10.00 WIB.
Asap-asap bersuara datang dalam mimpi Inem, dia pun mengigau. Lantas terbangun. “Hentikan ini semua!” teriak Inem.
Inem menyuruh pemuda-pemuda yang memasang tenda berhenti dan membongkar besi-besi yang sudah dirangkai. Menyuruh berhenti pemain organ tunggal, meminta maaf pada ibu-ibu yang masak agar tidak melanjutkan penamabahan bumbu.
“Calon suami Nur Hasanah batal ke Jambi. Entah apa alasannya!” seru Inem.
Kontan warga yang ada di rumah Inem pun melongo. Satu per satu mereka pergi. Bahkan awak media yang datang baru 10 menit pun harus pulang. Semua berbenah dan Nur Hasanah tetap di kasurnya yang berseprei kuning.
Kulitnya yang tebal semakin hari semakin pucat warnanya. Dari hijau tua menjadi hijau muda pucat. Tidak ada yang pernah benar-benar bicara dengan Nur Hasanah, Inem pun hanya berbicara dalam mimpi dengan Nur Hasanah berwujud anak perempuan.
Tidak ada yang tahu juga, kesepian macam apa yang dirasakan Nur Hasanah. Sebab perkawinan gagal atau tinggal dengan makhluk-makhluk aneh yang tak serupa dengannya.
.....
Adalah rupanya anak remaja bernama Bagas yang turut melihat Nur Hasanah. “Dia kesepian,” kata Bagas.
Dia pahami itu karena punya kembaran seekor buaya Muaro. Setiap ulang tahun mereka, kembarannya menepi di dekat kampung. Sadu nama kampungnya. Kembaran Bagas berwujud buaya datang malam.
“Sebentar saja dia datang,” katanya pada tetangga Nur Hasanah.
Menurut Bagas saudaranya tak kesepian, sebab hidup di air asam tak membuat buaya lainnya mati. Buaya kembarannya punya teman.
Bagas tak paham apakah ini kutukan untuk ayahnya yang merupakan penangkap buaya atau memang keputusan alam. “Tapi nenek-nenek saya menyuruh membuang buaya itu ke sungai, meski keluarga, bukan membunuh atau tetap menaruhnya dalam rumah,” kata Bagas.
Setelah bercerita pada tetangga Inem dan ada pula adik Nur Hasanah yang manusia di situ, Bagas pamit pulang. Dia naik motor. Langkahnya tak terdengar karena tak pakai sendal. Meski pun celananya jeans dan bajunya pun kemeja flanel.
Meski pun sudah mendengar cerita Bagas, tidak ada yang mampu berkata-kata. Cinta seorang ibu yang menginginkan anakya tetap dekat memang seringkali rumit. Ada penderitaan di balik kepuasan kasih sayang ibu yang anaknya selalu dekat. Mulai dari suhu tubuh buaya yang tidak stabil hingga makanannya yang tak bervariasi.
Nur Hasanah tetap diam. Apakah dia kesepian atau tidak, tiada yang tahu. Mungkin dia benar-benar merasakan apa yang dikata Chairil bahwa kesunyian adalah nasib masing-masing. Mungkin pula kesepian adalah mimpi-mimpi mustahil yang dipaksakan manusia pada Nur Hasanah yang sudah lemas itu.
__________________________
Jaka HB, sehari-hari bekerja sebagai pewarta di Tribun Jambi. Sempat bergiat di Komunitas Seniman Bungo dan Seloko Institut.