Ditunggu, Langkah Konkret Pemerintah untuk Atasi Pencemaran Timbel
Pencemaran timbel yang berasal dari usaha peleburan aki bekas ilegal masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia, terutama anak-anak.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran timbel yang berasal dari usaha peleburan aki bekas ilegal masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia, terutama anak-anak. Penertiban tempat peleburan aki bekas ilegal yang mulai dilakukan tahun lalu harus diikuti langkah-langkah konkret dalam penanganan pencemaran dari proses peleburan aki bekas tersebut.
Tahun lalu, polisi mulai menyelidiki dugaan tindak pidana lingkungan dari pencemaran timbel akibat peleburan aki. Dewan Ketahanan Nasional juga membentuk tim pembenahan pencemaran timbel (Kompas, 17/10/2018). Namun, belum terlihat hasil yang signifikan.
Hasil pengamatan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), di sejumlah daerah ada penertiban tempat peleburan aki bekas ilegal. Namun, tak lama kemudian, muncul praktik serupa di tempat lain, tak jauh dari tempat penertiban.
Upaya penanganan limbah bahan berbahaya beracun (B3) dari usaha pengolahan logam dan peleburan aki juga belum terlihat. Pemerintah berulang kali mengumumkan rencana pengerukan dan pengangkatan gunungan limbah B3 di Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Namun, pengerukan limbah B3 yang diperkirakan mencapai 30.000 meter kubik tersebut tak kunjung dilakukan.
”Diperlukan langkah-langkah konkret untuk menangani pencemaran itu,” kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin di Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Koordinator Program KPBB Alfred Sitorus mengatakan, ada empat kementerian yang terkait dengan penanggulangan bahaya kronis pencemaran timbel dari tempat peleburan aki bekas ilegal, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan hasil penelusuran KPBB beberapa tahun lalu, ada 71 tempat peleburan aki bekas ilegal di wilayah Jabodetabek dan 45 tempat peleburan aki bekas ilegal di Tegal. Tempat peleburan serupa juga ditemukan di Klaten, Lamongan, Pasuruan, Medan, dan Bandar Lampung.
Menurut Safrudin, pemerintah harus mengatur secara ketat perdagangan aki bekas sebagai limbah B3 sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
”Pengumpul aki bekas ilegal dan tempat peleburan aki bekas ilegal harus dihentikan dan diproses secara hukum. Pemerintah juga wajib membina dan mengawasi secara efektif para pengumpul dan tempat peleburan aki bekas yang legal sehingga sirkular ekonomi pengelolaan aki bekas berjalan baik dan efektif,” tuturnya.
Pengumpul aki bekas ilegal dan tempat peleburan aki bekas ilegal harus dihentikan dan diproses secara hukum.
Dampak kesehatan
Langkah konkret pemerintah tersebut mendesak dilakukan karena pencemaran timbel berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama anak-anak. Berbagai penelitian mengenai pencemaran timbel menunjukkan dampak yang bersifat merusak terhadap sistem saraf manusia yang berakibat fatal, misalnya penurunan kecerdasan intelektual (IQ) pada anak-anak, penurunan kemampuan belajar, cacat fisik dan mental, tremor, kerusakan fungsi ginjal, kerusakan fungsi otak, hingga kematian.
”Hampir semua anak yang tinggal di sekitar tempat peleburan aki bekas ilegal rentan terkena berbagai penyakit. Itu karena darah anak-anak pada umumnya sudah terkontaminasi. Kadar timbel dalam darahnya relatif tinggi,” kata Safrudin.
Dari penelitian yang dilakukan pada 2017, darah anak-anak yang tinggal di sekitar tempat peleburan aki bekas ilegal pada beberapa lokasi di Jabodetabek, Jawa Tengah, dan Jawa Timur memiliki kadar timbel rata-rata di atas 30 mikrogram/desiliter (dL). ”Padahal, standar kadar timbel dalam darah yang diperbolehkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maksimal 5 mikrogram/dL,” ujarnya.
Menurut Safrudin, di beberapa lokasi sekitar peleburan aki bekas, tanahnya tercemar timbel sangat parah. Di Cinangka, misalnya, mencapai 270.000 ppm (part per million), artinya dalam setiap 1 kilogram tanah terdapat 270.000 miligram timbel atau Pb. Padahal, ambang batas aman menurut WHO adalah 400 ppm.
Di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, darah anak-anak memiliki kadar timbel rata-rata 36,62 mikrogram/dL. Kadar minimum sebesar 16,2 mikrogram/dL ditemukan pada anak laki-laki usia 6 tahun, sedangkan kadar maksimum sebesar 65 mikrogram/dL ditemukan pada anak perempuan usia 7 tahun.
Di sejumlah kawasan dengan peleburan aki bekas ditemukan anak-anak lahir dan tumbuh tidak normal yang diduga akibat pencemaran timbel. Anak-anak itu mengalami cacat fisik, keterbelakangan mental, down syndrome, proporsi postur tubuh tidak sesuai dengan umur atau tumbuh kerdil, anemia, sesak napas, kram perut, sakit kepala, tremor, autis, kaku sendi, dan kesulitan belajar.
Di berbagai kawasan dengan peleburan aki bekas ditemukan anak-anak lahir dan tumbuh tidak normal yang diduga akibat pencemaran timbel.
”Di Cinangka, kami menemukan 21 anak menderita berbagai penyakit tersebut akibat pencemaran timbel. Di Pesarean kami juga menemukan 26 anak dalam kondisi serupa. Kalau benar-benar disensus, jumlahnya bisa lebih dari itu,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal pada 2012, masyarakat yang terpapar limbah B3 di Pasarean memiliki risiko gangguan kesehatan, seperti, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, penurunan vertilitas, retardasi mental pada bayi yang dikandung, gangguan pernapasan, dan lain-lain.
Akibat pencemaran timbel, banyak pula orang dewasa yang mengalami hipertensi, kram perut, sakit kepala, tremor, kemandulan, impotensi, dan gangguan saraf. ”Bahkan, kami menduga sesungguhnya generasi di sekitar peleburan aki bekas telah terputus oleh genosida ekologi akibat pencemaran tersebut,” katanya.