Harap-harap Cemas pada Ekonomi
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Asia sedang harap-harap cemas soal resesi meski juga ada peluang merebut mata rantai pasokan.
Awan mendung tampak masih menggantung jika berbicara soal proyeksi perekonomian global saat ini. Perang dagang AS-China sejauh ini masih menemui jalan buntu dan terjadi di tengah persiapan dan fokus AS menghadapi pemilu tahun depan. Presiden Donald Trump sesumbar bersiap- siap menyelesaikan kesepakatan pertama—dengan istilah fase satu—dengan China. Akan tetapi tersiar kabar, Beijing justru mengklaim sebaliknya, Jumat (1/11/2019).
Padahal, tekanan kepada China, khususnya kinerja ekonomi domestik, terus menguat. Ekonomi negeri itu tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan. Kondisi keuangan China memburuk dan konsumen China menjadi lebih berhati-hati, apalagi utang pun masih tinggi. China harus siap-siap menemui kenyataan tumbuh di bawah 6 persen dan mengalami resesi.
Pada triwulan III-2019 ekonomi China tumbuh 6,0 persen, capaian pertumbuhan terendah dalam hampir tiga dekade terakhir. Dengan angka pertumbuhan seperti itu, secara triwulan ekonomi China melambat sekitar 0,02 persen. Pada triwulan II-2019, data Biro Statistik Nasional (NBS) China menunjukkan bahwa ekonomi China tumbuh 6,2 persen.
Melalui mata rantai produksi global, perekonomian yang terhubung dengan China akan sangat terdampak.
Angka pertumbuhan 6,0 persen itu sejalan dengan survei kantor berita AFP atas 13 analis beberapa waktu lalu. Diproyeksikan kala itu bahwa ekonomi China akan mengalami fase triwulanan terburuk sejak 1992 dengan kisaran pertumbuhan 6,0-6,5 persen sepanjang tahun ini. Tahun lalu, ekonomi China tumbuh 6,6 persen.
Perang dagang dan efeknya, baik bagi AS maupun China sebagai negara dengan perekonomian terbesar, berkelindan dengan kondisi keuangan global yang memburuk. Suku bunga rendah untuk jangka panjang dan pengetatan regulasi perbankan menyebabkan gelembung kredit di sektor non-bank. Gelembung kredit ini bisa menyebabkan gagal bayar dan meruntuhkan kepercayaan di negara-negara yang rentan.
”Melalui mata rantai produksi global, perekonomian yang terhubung dengan China akan sangat terdampak. Negara seperti Thailand, yang melakukan perdagangan intensif dengan China, akan sangat terdampak perang dagang. Sementara Indonesia dan Jepang tidak akan merasakan banyak dampaknya,” kata Toshinori Doi selaku Direktur ASEAN+3 Macroeconomic Research Office dalam simposium Internasional ”Asia’s Trade and Economic Priorities 2020” yang digelar Biro Riset Ekonomi Indonesia (IBER) dan Biro Riset Ekonomi Asia (ABER) di Jakarta, Selasa (29/10).
Perang dagang AS-China melemahkan pertumbuhan global. Perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF)—di mana perang dagang bisa melemahkan pertumbuhan global sampai 1 persen tahun 2019—dianggap relatif meremehkan dampak perang dagang terhadap pelemahan pertumbuhan.
Ketidakpastian yang diciptakan perang dagang sejatinya telah menunjukkan dampak sejak 2017, di mana pertumbuhan perdagangan global turun dari 4,6 menjadi 2,6 persen dan investasi asing langsung global telah turun 27 persen. Gangguan dalam perdagangan juga mengganggu aliran keuangan dan modal, serta menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan. Meskipun memang butuh waktu bertahun-tahun sebelum dampak penuh dapat diketahui.
Dinamika perekonomian global saat ini mempersulit negara Asia menghadapi tantangan utama dalam perekonomian mereka, yaitu pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, perbaikan lingkungan, pengelolaan perubahan iklim, menanggapi transformasi teknologi yang cepat, dan memperkuat sistem politik dan hukum.
Ini berdampak negatif terhadap rantai pasokan dan produksi di Asia.
Buruknya iklim perdagangan dunia membuat integrasi pasar yang selama ini dibangun untuk menopang pertumbuhan mulai terpecah. Ini berdampak negatif terhadap rantai pasokan dan produksi di Asia. Studi oleh konsultan Baker dan McKenzie terhadap perusahaan-perusahaan multinasional menemukan bahwa hampir setengah dari 600 perusahaan yang disurvei membuat perubahan besar pada mata rantai pasokan dan sekitar 12 persen di antaranya tengah mempertimbangkan perubahan sistem mata rantai pasokan secara total.
Saling adu kesiapan
Dalam situasi seperti itu, bagaimana posisi negara-negara Asia, terutama ASEAN yang menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan positif.
Masih lekat di ingatan kita, Pemerintah RI dan publik terkejut (atau pura-pura terkejut) dengan fakta bahwa hingga lewat tengah tahun 2019 Indonesia hampir tidak menerima manfaat dari perubahan mata rantai pasokan industri, berupa pengalihan basis produksi dari China. Pemenangnya adalah Vietnam, Thailand dan Malaysia.
Sebagai catatan, pemindahan itu dilakukan oleh sejumlah perusahaan global karena kebijakan bea impor yang dilakukan AS atas produk-produk dari China.
Ingatan pun meluncur dalam sejumlah perjalanan kerja jurnalistik Kompas tiga tahun terakhir, khususnya ke Thailand, India, dan juga Australia. Terkait isu investasi dan negara mana yang menjanjikan, nama Indonesia sangat jarang disebut. Kalaupun ada, nama Indonesia ada di barisan akhir.
Berbeda dari Vietnam yang menyeruak menjadi primadona baru di Asia Tenggara. Nyaris tak ada lagi jejak sebutan Indonesia dalam singkatan BRICS sebagai negara yang pertumbuhannya digadang-gadang publik global.
Organisasi WEF mencatat upaya-upaya itu melalui Global Competitive Index (GCI). Beberapa hal yang menjadi basis penilaian adalah infrastruktur, ketenagakerjaan, kapabilitas inovasi, dan produk pasar.
Indonesia sangat jarang disebut. Kalaupun ada, nama Indonesia ada di barisan akhir.
Di depan sejumlah kriteria itu, Indonesia dinilai hanya bertumpu pada ukuran pasar dan stabilitas makroekonomi sebagai modal. Aneka pekerjaan rumah, seperti kemudahan investasi dan pemangkasan birokrasi—pada saat negara lain berlari kencang—justru belum optimal dituntaskan.
Meski peringkatnya masih di bawah Indonesia—Vietnam peringkat ke-67 dan Indonesia 50 dari 141 negara—posisi Vietnam naik 10 tingkat soal peringkat daya saing secara global. Posisi Indonesia turun 5 tingkat. Thailand dan Malaysia ada di peringkat ke-38 dan ke-25. Juaranya adalah Singapura, menduduki peringkat teratas sebagai negara paling kompetitif sedunia.