Perbaikan menyeluruh sepak bola nasional hanya bisa dicapai jika pemimpin baru PSSI berani mengambil langkah tegas menjalankan agenda reformasi. Asa itu diharapkan diawali dari Kongres Luar Biasa PSSI hari ini.
Oleh
Yulvianus Harjono, FX Laksana Agung Saputra, Ihsan Mahar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Para pemilik suara dan calon ketua umum PSSI berkomitmen mengedepankan aspek integritas dalam Kongres Luar Biasa PSSI demi reformasi menyeluruh sepak bola nasional. Tanpa aspek penting itu, sulit membebaskan selamanya PSSI dari jeratan oligarki yang selama ini merongrong kemajuan sepak bola nasional. Komitmen itu akan diuji dalam Kongres Luar Biasa, Sabtu (2/11/2019) ini di Jakarta.
Sepuluh calon ketua umum, 15 calon wakil ketua umum, dan 71 calon anggota komite eksekutif PSSI akan bertarung merebut dukungan dari total 86 pemilik suara di Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI. Pandangan publik sepak bola pun terbelah menyambut agenda PSSI ini. Ada yang pesimistis, dan tidak sedikit pula yang optimistis KLB bisa menghasilkan perubahan positif.
Presiden Joko Widodo berharap KLB PSSI menghasilkan Ketum PSSI yang kredibel agar sepakbola nasional bisa keluar dari kubangan masalah klasiknya selama ini dan mampu menorehkan prestasi gemilang seperti diharapkan seluruh masyarakat Indonesia.
Ada yang pesimistis, dan tidak sedikit pula yang optimistis KLB bisa menghasilkan perubahan positif.
”Pemerintah nggak bisa ikut campur apalagi intervensi (PSSI). Statuta FIFA tidak memungkinkan itu. Jadi, kami hanya berharap agar ketua umum PSSI betul-betul mempunyai integritas yang baik dan bisa membawa kemajuan sepakbola di tanah air,” kata Jokowi.
Terkait komitmen pembenahan PSSI itu, sembilan dari sepuluh calon ketua umum PSSI, kemarin, mendeklarasikan perlunya semangat pembaruan PSSI, salah satunya melalui proses pemilihan yang bersih, jujur, dan tanpa politik uang. Praktik ”jual beli” suara dan dukungan itu, ditengarai kerap mewarnai kongres PSSI selama ini. Kemarin, bahkan didapatkan kabar salah satu calon ketua umum telah menyiapkan susunan ”kabinet” pengurus karena sangat percaya diri bisa memenangi pencalonan.
Kesembilan calon ketua umum yang kompak mengusung tema ”PSSI Baru Menuju Perubahan” itu adalah Arif Putra Wicaksono, Aven S Hinelo, Benhard Limbong, Benny Erwin, Fary Djemy Francis, Rahim Soekasah, Sarman, Vijaya Fitriyasa, dan Yesayas Oktavianus.
”Saat ini, kami tidak menyinggung dulu koalisi. Namun, hari ini, kami sepakat mengimbau para voter (pemilik suara) untuk menjalankan kongres secara bersih dan sesuai statuta FIFA serta PSSI. Kami juga menentang segala bentuk politik uang. Sudah saatnya para voter menggunakan hati nuraninya (dalam memilih pemimpin PSSI),” ujar Fary Djemy, juru bicara aliansi sembilan calon ketuua umum PSSI itu, Jumat di Jakarta.
Jauh dari ideal
Deklarasi itu disampaikan oleh mereka untuk menyikapi keprihatinan tentang tahapan pemilihan menjelang kongres yang jauh dari ideal. Selain tidak adanya sosialisasi tata cara pemilihan di kongres dan daftar pemilik suara, acara debat calon juga dibatalkan Komite Pemilihan PSSI. Tidak hanya itu, isu politik uang juga sempat muncul menjelang kongres.
Sudah saatnya para voter menggunakan hati nuraninya.
”Sebagai calon, saya kecewa acara debat resmi PSSI itu dibatalkan. Padahal, itu satu-satunya cara kami menyampaikan visi misi kami ke para voter. Kami sangat berharap ada perubahan di PSSI ke depan,” tutur Arif Putra, calon lainnya yang juga CEO Nine Sport.
Vijaya, pendatang baru calon ketua umum PSSI, berkata, nasib dan masa depan sepak bola Indonesia selama empat tahun ke depan ada di tangan 86 pemilik suara itu. ”Perbaikan PSSI dimulai dari sini (KLB). Jika salah langkah dalam memilih pimpinan, maka berikutnya juga akan terus salah. Seluruh rakyat sepak bola Indonesia akan menerima akibatnya. Voters punya tanggung jawab (moril) kepada rakyat,” tuturnya.
Mereka berharap utusan FIFA, Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), dan pemerintah, turut memantau langsung pelaksanaan kongres pemilihan pimpinan PSSI periode 2019-2023 itu agar tidak melenceng dari semangat reformasi sepak bola nasional yang digaungkan sejak 2016 atau pasca dicabutnya pembekuan PSSI oleh FIFA. Cita-cita itu belum terwujud tuntas hingga detik ini.
Dalam kesempatan terpisah, calon ketum lainnya yang merupakan kandidat terkuat, Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, berkata, dirinya akan terus mendorong Satgas Antimafia Bola dalam mengusut tuntas pengaturan skor. ”Apa yang dilakukan satgas harus diteruskan. Ketika resmi menjadi Ketua Umum PSSI, saya akan mendorong satgas menindak praktek kecurangan di sepakbola nasional,” ujarnya.
Ia optimistis bisa menjadi ketum PSSI terpilih karena mengantongi dukungan hingga 50 persen suara. ”Sejak Maret saya sudah keliling ketemu para voter dan menyampaikan visi misi sekaligus belanja masalah dari para asprov (asosiasi provinsi) dan klub-klub di Liga 1 sampai ke Liga 3. Mereka (calon ketua umum lainnya) tidak tahu ini,” ujar Iriawan, Komisaris Jenderal Polisi yang saat ini menjabat Sekretaris Lembaga Ketahanan Nasional.
Meskipun diunggulkan, Iwan sempat dikritik salah satu pesaingnya. Vijaya, yang juga mantan aktivis mahasiswa di era reformasi 1998, bercerita, awalnya ia ingin mendukung Iwan di kongres. Namun, niat itu dibatalkannya seusai mengetahui adanya sejumlah oligarki yang menurutnya ikut dirangkul Iwan. Dalam acara Mata Najwa, Kamis, Vijaya menyebut kelompok itu sebagai ”kartel lama”.
Tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Seperti oligarki
Terkait pernyataannya itu, Vijaya lantas dilaporkan salah seorang pendukung Iwan ke Kepolisian Resor Tangerang Selatan, kemarin. Ia dianggap mencemarkan nama baik Iwan. Terkait hal itu, Vijaya berkata dirinya siap memenuhi panggilan polisi jika dibutuhkan. ”Saya itu sebetulnya hanya mengingatkan agar jangan sampai mengulangi kejadian seperti Edy Rahmayadi dulu (mundur di tengah jalan),” ujarnya.
Oligarki
Menurut Viola Kurniawati, mantan CEO PSS Sleman, pembenahan PSSI tantangannya besar, sehingga membutuhkan pemimpin yang berintegritas dan tegas. Ia menegaskan, bukan rahasia jika PSSI selama ini dicengkeram oligarki kekuasaan kelompok tertentu. ”Pemain-pemain tim nasional (sepak bola Indonesia) selalu berganti, ada yang baru dan ada yang pergi. Namun, tidak dengan para pemilik suara. Mereka ini adalah orang-orang yang itu-itu saja. Tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Seperti oligarki,” tuturnya.
Menurut Viola, sulit ada perubahan di sepak bola nasional jika mereka ini masih ada dan ingin tetap berkuasa di PSSI dengan mendompleng calon-calon populer tertentu.