Kurikulum 2013 mencakup pembangunan karakter, kompetensi, dan nasionalisme. Dalam pelaksanaannya, kontekstualisasi pemelajaran masih menjadi tantangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Kurikulum 2013 mencakup pembangunan karakter, kompetensi, dan nasionalisme. Dalam pelaksanaannya, kontekstualisasi pemelajaran masih menjadi tantangan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengevaluasi Kurikulum 2013 dan penerapannya sejak pertengahan tahun ini. Apabila data telah terkumpul dan analisa berjalan akan diketahui titik-titik pembenahan yang perlu dilakukan.
"Evaluasi tidak hanya dari sektor akademik dan hasil capaian pemelajaran siswa, tetapi juga dari pemahaman guru dan cara mereka menerapkan konteks kurikulum di kelas masing-masing," kata Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla di Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Setelah lima tahun dilaksanakan, sudah waktunya Kurikulum 2013 ditinjau sejauh mana pelaksanaannya di lapangan. Kurikulum yang diimplementasikan sejak pertengahan 2013 ini secara konten sudah mencakup pembangunan karakter, kompetensi, dan nasionalisme. Dari segi penerapan, para guru juga diberi kebebasan mengadaptasi materi sesuai kondisi dan kebutuhan di kelas.
Syaratnya adalah pengadaptasian tetap berujung kepada penguasaan materi yang ditentukan untuk level pemelajaran. Adapun metode guru mengajarkan materi ke siswa serta alat bantu pemelajaran yang digunakan boleh dikembangkan sesuai minat siswa dan bahan-bahan yang ada di sekitar.
"Memang selama ini pelatihan Kurikulum 2013 dilakukan berjenjang oleh instruktur nasional, daerah, hingga ke guru-guru di lapangan. Kami juga mengevaluasi teknis penyampaian informasi ini kalau-kalau ternyata cara pelatihannya malah lebih banyak meninggalkan celah pengetahuan sehingga ketentuan kurikulum yang sesungguhnya tidak tersampaikan," tutur Awaluddin.
Memang selama ini pelatihan Kurikulum 2013 dilakukan berjenjang oleh instruktur nasional, daerah, hingga ke guru-guru di lapangan.
Minim kontekstualisasi
Kontekstualisasi pemelajaran merupakan tantangan berat pendidikan Indonesia. Hasil riset lembaga penelitian independen Smeru di 46 SMP di Yogyakarta, cara guru mengajar mayoritas tidak berubah meskipun kurikulum selama 25 tahun terakhir mengalami berbagai perkembangan. Guru ceramah di depan kelas selama siswa mencatat, alat bantu hanya dipegang oleh guru, dan jarang memberi umpan balik kepada siswa lazim diterapkan hingga kini. (Kompas, 25 Oktober 2019)
Padahal, paradigma pendidikan abad ke-21 adalah menjadikan siswa sebagai inti pemelajaran dengan guru sebagai fasilitator. Siswa yang mencari jalan sendiri atas masalah yang dihadapi dengan guru memastikan jalur pencarian yang diambil siswa akurat. Butuh guru yang bisa memberi kebebasan berekspresi kepada siswa dan mengetahui bahwa untuk menyelesaikan sebuah persoalan bisa memakai banyak rumus, tidak hanya seperti yang tertulis di dalam buku teks.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Pendidikan Kemdikbud Supriano mengungkapkan pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 840 miliar untuk pelatihan guru, mulai dari literasi teknologi digital hingga metode pemelajaran adaptif terhadap perubahan zaman. Sistemnya adalah lima kali pemasukan dan tiga kali penerapan dalam satu semester.
Artinya, Musyawarah Guru Mata Pelajaran dan Kelompok Kerja Guru melakukan pertemuan lima kali untuk membahas masalah nyata di kelas. Setelah dua kali pembahasan, guru menerapkan metode yang dirembukkan di kelas masing-masing. Pekan berikutnya mereka mengevaluasi metode tersebut dan pembenahannya akan diterapkan setelah itu. Ada 23.000 titik pelatihan yang masing-masing terdiri dari 20 guru.
Pola pikir
Psikolog pendidikan Universitas Gadjah Mada yang juga salah satu pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Novi Chandra mengkritisi sistem sosialisasi yang selama ini diterapkan pemerintah. "Berat ke bimbingan teknis. Pelatihan sering sekali melupakan bahwa inti dari pendidikan itu pola pikir. Kalau pola pikir guru tidak berubah, susah menerapkan pemelajaran yang kreatif," ujarnya.
Landasan filsafat mengenai pembentukan kurikulum kerap tidak disampaikan kepada guru sehingga mereka banyak yang keliru mengira kurikulum hanya perubahan teknis. Padahal, idealisme pembangunan bangsa yang menjadi inti dari kurikulum adalah penentunya.
Landasan filsafat mengenai pembentukan kurikulum kerap tidak disampaikan kepada guru sehingga mereka banyak yang keliru mengira kurikulum hanya perubahan teknis.
"Asesmen hasil belajar di tahap akhir juga kontradiktif dengan tujuan kurikulum karena hanya melihat dari sisi akademik. Harus ada sistem asesmen yang melihat proses perkembangan siswa tidak hanya dari otak, tetapi juga dari perilaku, emosional, dan kreativitas. Selama asesmen hanya akademik, paradigma pendidikan tetap sekadar mengejar nilai rapor," ujarnya.