PUISI
Acep Zamzam Noor
Menuju Vihara
Di jalan setapak
Melintas sebuah kalimat
Tapi aku tak sempat
Mencatatnya
Di jalan setapak
Ketika surya meninggi
Selembar daun yang jatuh
Kubaca sebagai elegi
Di jalan setapak
Di undakan menuju vihara
Kabut bagaikan langkah
Yang mengambang
Di jalan setapak
Di ujung helaan napas
Waktu yang kuendapkan
Seperti akan lepas
2017
Yangshuo
Dari selatan ke utara
Menyusuri jejak waktu
Di gigir jurang menganga
Jalan setapak berliku-liku
Melewati pohon-pohon gui
Lereng semakin menanjak
Mendekati puncak sunyi
Samar-samar bunyi gagak
Tak ada sinar bulan kini
Sebab hari belum malam
Tak ada yang kekal lagi
Lampau sudah ingatan
Dari utara ke selatan
Melintasi rute peziarah
Di persimpangan jalan
Ke mana melangkah
2017
Guilin
1
Bunga-bunga peoni menjelang gugur
Seperti lagu kenangan yang pergi
Dalam pengembaraannya yang panjang
Mengikuti usia. Pergi ke arah senja
2
Putik-putik magnolia menjelang semi
Seperti surat cinta yang kembali
Dari perjalanannya yang jauh
Bersama sunyi. Kembali ke alamat pagi
2017
Impression Liu Sanjie
1
Sebuah sampan kayu mengalun tenang
Dari titik yang masih terlihat. Udara sejuk
Kabut menyelimuti sungai yang airnya bening
Senja pelahan turun diiringi rinai gerimis
2
Kerbau-kerbau berbaris meninggalkan sawah
Di antara sungai dan bukit padas yang berserak
Cahaya kesumba memancar halus di balik kabut
Dan sampan kayu menjadi penanda bagi sunyi
3
Mungkin angin petang ini dikirim langsung
Dari negeri jauh. Deraunya menciptakan gerak
Seorang penari melayang ringan mengitari sungai
Lalu tubuh tipis itu meliuk bagai selembar daun
4
Musik malam yang terdengar diserap dari sendang
Di hutan. Gesekan daun, kicau burung, bunyi serangga
Juga puisi yang memantul-mantul di permukaan air
Cahaya memadat dan ruang menyudut pada gelap
5
Bahasa sungai adalah napas peradaban yang lampau
Arusnya mengalun pelan menyeret apa saja yang terapung
Sebuah sampan kayu bergerak lamban dari abad ke abad
Pelayaran tanpa peta yang tak menuju ke mana-mana
6
Lewat sepertiga malam lampu-lampu masih berkedipan
Di atas bukit seorang penari melepaskan tubuhnya sendiri
Lembar demi lembar pakaian beterbangan seperti kata-kata
Tanpa sayap. Sebait puisi yang gagal mengendapkan berahi
2017
Porto Antico
Aku memandang jauh ke luar jendela
Dari lantai delapan kulihat perahu-perahu besi
Seperti titik-titik sunyi. Tampak juga pelabuhan tua
Dengan gudang-gudang serta dermaganya yang renta
Ada awan yang bentuknya menyerupai burung
Ada burung yang melayang-layang entah ke mana
Entah ke mana pula imajinasiku akan menemui ujung
Apabila menyaksikan seseorang melompat dari jendela
Di depanku sebotol anggur bagaikan elegi yang kembali
Di sampingku seseorang menceritakan indahnya bunuh diri
Di luar jendela burung-burung sudah tidak kelihatan lagi
Cakrawala meredup ketika bintang-bintang becermin
Pada laut. Dari lantai delapan kulihat perahu-perahu besi
Seperti titik-titik sunyi yang terasing satu sama lain
2017
Genova
Wajahku menelungkup di atas meja kayu
Sayup-sayup terdengar bunyi dari ujung jemari
Ketukan ringan yang kembali mengingatkanku
Pada pantai yang jauh. Pada senja yang sunyi
Asap rokok melapisi udara yang kuhirup pelan
Dingin merasuki tubuhku karena angin laut
Menyelinap lewat jendela. Dan sebotol anggur
Kureguk di antara kebisuan yang menekan
Di sudut ruang seseorang menyanyi, suaranya
Seperti dengung kapal-kapal pengangkut barang
Berat dan sunyi. Kembali jemariku mengetuk meja
Kembali teringat pantai dan senja. Dalam menanti
Ternyata tak semua hal benar-benar bisa kupahami
Langit meredup dan menit-menit bergerak pergi
2017
Piazza della Vittoria
Di halaman katedral aku mengumpulkan guguran bunga
Untuk kujadikan rosario. Di bawah keremangan langit senja
Pengakuan demi pengakuan kuendapkan dalam nokturno
Kebisuan masa lalu seakan menemukan lagi nadanya
Diksi-diksi kupungut dari sisa ruang dan serpihan waktu
Hingga tercipta amsal rindu. Lalu pada setiap akhir paragraf
Penempuhan yang berabad-abad kupantulkan sebagai rima
Nubuat-nubuat lama kubangkitkan dari reruntuk bahasa
Di gerbang kemenangan aku mengubur sebuah biografi
Pada dinding marmer kupahat alamat sunyi. Aku pun berlayar
Meninggalkan pelabuhan yang selalu menebarkan melankolia
Kini aku terapung dalam gelombang pasang yang tak lain
Adalah masa lalu. Bumi masih terus berputar pada orbitnya
Dan masa depan menjadi setitik cahaya di tengah lautan
2017
Denfert- Rochereau
Stasiun seakan beku
Begitu juga bangku
Jendela kayu yang tua
Bantalan rel yang dingin
Tak ada lagi menit
Yang menetaskan kata
Pada lantai granit hitam
Pada ruang tunggu ini
Aku menantimu, selalu
Sebab aku pemuja waktu
Tahun-tahun sudah lewat
Kereta datang terlambat
Tak ada lagi jam
Yang meneruskan pesan
Pada dinding putih
Pada stasiun beku ini
Aku menantimu, selalu
Sebab aku penikmat rindu
Abad-abad sudah lewat
Menjemput kiamat
2018
Acep Zamzam Noor lahir dan tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. Membaca Lambang (2018) adalah buku puisi terbarunya.