Pengembangan pangan lokal agar kembali berdaya menemui banyak tantangan di lapangan. Konversi lahan, belum adanya program terstruktur, dan semakin berkurangnya petani menjadi tantangan berat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
ANGATA, KOMPAS — Pengembangan pangan lokal agar kembali berdaya menemui banyak tantangan di lapangan. Konversi lahan, belum adanya program terstruktur, dan semakin berkurangnya petani menjadi tantangan berat. Upaya serius dan aksi nyata pemerintah dibutuhkan agar pangan lokal yang begitu beragam bisa tumbuh dan berdaya saing tinggi menuju tercapainya kedaulatan pangan.
Hal itu menjadi sorotan dalam pembukaan Hari Pangan Sedunia Ke-39 di Angata, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (2/11/2019). Dalam acara yang akan berlangsung hingga 5 November ini, pemerintah menitikberatkan pada dua komoditas utama, yaitu sagu dan kakao. Acara ini dihadiri sejumlah perwakilan negara, pemerintah daerah, dan lembaga internasional.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menuturkan, ilmu pertanian dan program pengembangan yang dimiliki aparatur dan Pemerintah Indonesia pada dasarnya tidak kalah dibandingkan dengan negara lain. Hanya saja, aksi nyata di lapangan masih kurang sehingga tidak teraplikasikan dengan baik.
”Gebrakan lapangannya masih kurang. Hari ini kita angkat sagu yang merupakan pangan lokal yang begitu enak. Sagu itu tumbuh dan berkembang sendiri, tinggal bagaimana di lapangannya,” tutur Syahrul.
Menurut Syahrul, ketahanan sebuah negara turut ditentukan oleh kedaulatan pangan dari negara tersebut. Oleh karena itu, pangan lokal harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sekaligus membuat daya saing pangan bertambah bagi masyarakat dan negara. Pengembangan itu harus didukung dengan pengembangan teknologi pertanian, inovasi, dan beragam teknik lainnya agar kedaulatan pangan tercapai.
Meski demikian, saat ditanyakan terkait aksi dan program yang akan dilakukan, Syahrul belum merinci rencana teknis yang akan dilakukan untuk pengembangan pangan lokal, khususnya sagu.
”Pasti ada (programnya). Yang penting juga, koordinasi dengan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah hingga tingkat paling bawah itu hal penting dilakukan. Sebab, pertanian itu tanggung jawab kita bersama,” lanjutnya.
Aksi nyata di lapangan masih kurang sehingga tidak teraplikasikan dengan baik.
Tidak masuk
Pengembangan pangan lokal, khususnya sagu, di Sultra memang belum menemukan titik terang. Dari program prioritas Kementerian Pertanian di Sultra pada 2018, sagu tidak masuk menjadi komoditas utama yang dikembangkan.
Berdasarkan Kepmentan Nomor 470 Tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional, komoditas prioritas di Sultra adalah kakao, cengkeh, lada, kelapa, mete, dan tebu. Jumlah total anggaran pemerintah pusat untuk pengembangan tanaman perkebunan dan hortikultura ini sebesar Rp 33 miliar.
Gubernur Sultra Ali Mazi menuturkan, secara umum tujuan pelaksanaan Hari Pangan Sedunia ini untuk memperkuat kerja sama, melibatkan semua elemen pemerintah dan masyarakat, dalam menjaga kedaulatan pangan. Selain itu, hal itu juga menumbuhkan kemandirian di tengah ancaman krisis pangan dunia.
”Keberlanjutan masa depan kita tergantung dari upaya menjaga kedaulatan pangan. Ini menjadi momen berharga bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pengelolaan pertanian dan sumber daya,” ucapnya.
Ali Mazi melanjutkan, di sektor pertanian, ada sejumlah komoditas yang bisa terus dikembangkan selain subsektor beras, antara lain singkong, ubi jalar, jagung, kedelai, kacang tanah, dan sagu.
Untuk sagu, luas lahan tanam adalah 5.105 hektar, dengan produksi mencapai 6.967 ton. Jumlah ini terus menyusut selama beberapa dekade terakhir. Konversi lahan menjadi perkebunan hingga pertambangan menjadi penyebabnya. Pada 1990, luas wilayah tanam sagu mencapai 13.000 hektar. Dalam kurun hampir 30 tahun, wilayah tanam sagu berkurang lebih dari 60 persen. Kondisi serupa terjadi di banyak wilayah di Indonesia.
Kondisi ini diperparah dengan belum adanya program pengembangan sagu yang dilakukan di tingkat provinsi. Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, ada 13 komoditas yang dikembangkan, tetapi sagu tidak termasuk di dalamnya.
Konversi lahan
Syahrul menambahkan, terkait konversi lahan, dirinya mengharapkan pemerintah daerah memiliki prioritas pertanian dan menjaga agar tidak terjadi pergeseran lahan untuk berbagai kepentingan. Hal itu penting untuk menjamin keberlangsungan komoditas pangan lokal ke depan.
Sementara itu, dari data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dalam lima tahun terakhir, diperkirakan terjadi konversi lahan pertanian produktif seluas 600.000 hektar. Hal itu karena terjadinya urbanisasi, persaingan penggunaan lahan untuk produksi tanaman pangan, dan lainnya.
Perwakilan FAO untuk Indonesia Stephen Rudgard menambahkan, Indonesia memiliki begitu banyak pangan lokal yang bisa dikembangkan. Akan tetapi, di satu sisi, terlalu banyak beras di mana-mana.
”Sagu siapa yang tidak tahu? Akan tetapi, orang-orang muda berpindah sehingga petani menghadapi kesenjangan generasi,” ucapnya.
Menurut Rudgard, tenaga kerja pertanian turun hampir 9 persen dalam lima tahun terakhir. Hal ini akibat terjadinya pergeseran demografis yang signifikan di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan kehidupan ekonomi petani dan keluarga petani.