Warna-warni Maskapai Penerbangan Indonesia
Maskapai penerbangan Tanah Air telah melalui sejarah yang cukup panjang. Berbagai maskapai penerbangan pernah menghiasi langit Indonesia meski tak semuanya bertahan mengepakkan sayap di angkasa Nusantara.
Pada 28 Desember 1949, pesawat NV Garuda Indonesia Airways (GIA) menjadi pesawat dari perusahaan penerbangan nasional yang terbang perdana dari Kemayoran ke Yogyakarta. Saat itu, pesawat tersebut diterbangkan untuk menjemput Presiden Soekarno yang pindah ke ibu kota baru di Jakarta.
Kala itu GIA telah memiliki 26 pesawat yang siap beroperasi, terdiri atas 11 unit DC-3 Dakota (angkut penumpang), 12 pesawat kargo, dan 3 pesawat amfibi Catalina untuk penerbangan perintis.
GIA merupakan kelanjutan dari Indonesia Airways bentukan Pemerintah Indonesia dan Belanda, hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, November 1949.
Menurut makalah ”Nasionalisasi Garuda Indonesia 1950- 1958” (Dwi Adi Wicaksono, 2016), ketika awal beroperasi, GIA telah memiliki aset perusahaan berjumlah tidak sedikit. Banyaknya aset itu tak lepas dari hasil patungan dengan maskapai Belanda KLM-IB yang telah beroperasi di Hindia Belanda sejak 1928.
Setahun kemudian, pasar penerbangan sipil di Indonesia berkembang pesat. Antusiasme penumpang GIA membeludak. Dalam dua tahun awal operasional saja, GIA berhasil mengangkut 288.331 penumpang. Tingkat keterisian penumpang relatif tinggi dengan rata-rata mencapai 76 persen. Tahun 1951-1953, jumlah penumpang GIA meningkat 6,7 persen menjadi 307.757 penumpang, sementara kargo dan pos udara yang diangkut mencapai 540 ton.
Tingginya pasar penerbangan di Indonesia kala itu, selain disebabkan posisinya sebagai pionir penerbangan, GIA juga memaksimalkan pesawat lama dan baru guna memperbanyak frekuensi terbang. GIA juga mengefektifkan rute-rute yang sudah berkembang sejak era kolonial, dan berpromosi melalui surat kabar, serta berusaha menambah jumlah agen pemesanan tiket.
Setelah 12 tahun beroperasi, GIA akhirnya tidak mengudara sendiri. Pada 6 September 1962 berdiri Perusahaan Negara Merpati Nusantara Airlines (MNA). Maskapai berslogan ”Jembatan Udara Indonesia” ini mengandalkan enam pesawat untuk menghubungkan tempat-tempat terpencil di Kalimantan, di antaranya 2 DC-3 Dakota dan 4 DHC-3 Otter.
Tahun 1990 MNA berkembang, ditandai dengan kepemilikan 100 pesawat untuk melayani rute domestik dan internasional. MNA yang berjaya akhirnya menghentikan operasinya tahun 2014 karena persoalan finansial dengan para kreditor.
Selain maskapai penerbangan nasional pembawa bendera (flag carrier), maskapai swasta juga pernah mengudara pada periode itu, seperti Sempati Air. Ada juga Pelita Air dan Mandala Air yang keduanya berhenti bersamaan dengan MNA, pada tahun 2014.
Sementara Bouraq Airlines didirikan tahun 1970 dengan modal awal tiga DC-3 Dakota. Tahun 1990-an maskapai ini pernah menyabet predikat maskapai swasta dengan ketepatan waktu terbaik untuk penerbangan domestik. Namun, pasca-krisis moneter, Bouraq terus meredup dan akhirnya gulung tikar pada 2005.
Maskapai baru
Merunut sejarah, tonggak penerbangan sipil Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 70 tahun lalu, 26 Januari 1949, saat pesawat DC-3 Dakota ”Indonesian Airways” beregistrasi RI-001, bertolak dari Kalkutta, India, ke Rangoon, Burma (kini Myanmar). Penerbangan carter ini untuk membantu Pemerintah Burma mengatasi persoalan politik dalam negerinya. Pesawat itu dibeli dari hasil sumbangan rakyat Aceh.
Tahun 1990-an menjadi tonggak banyak maskapai baru di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari lahirnya UU No 15/1992 tentang Penerbangan dan PP No 40/1995 tentang Angkutan Udara. Kedua peraturan ini menjadi salah satu faktor deregulasi yang memungkinkan pendirian usaha angkutan udara niaga di Indonesia oleh lebih banyak kalangan, baik itu dari badan usaha milik negara (BUMN) atapun swasta.
Cikal bakal maskapai-maskapai besar yang masih bertahan hingga saat ini berasal dari periode ini. Contohnya, Lion Air yang didirikan sejak 15 November 1999 oleh Rusdi Kirana. Awalnya hanya mengandalkan dua pesawat Boeing 737-200, maskapai ini kini memiliki ratusan pesawat berbagai jenis dengan volume penumpang 33 juta orang lebih (2018). Lion Air menduduki peringkat pertama maskapai penerbangan di Indonesia.
Selain Lion Air, ada juga Citilink Indonesia yang didirikan sejak 16 Juli 2001. Maskapai pelat merah ini merupakan unit strategi bisnis dari PT GIA. Awal beroperasi, Citilink baru melayani rute Surabaya-Balikpapan-Tarakan menggunakan dua pesawat Fokker F28 Fellowship. Segmen penerbangan berbiaya murah (LCC) dan nama besar Garuda Indonesia, menjadikan Citilink sebagai salah satu yang banyak dilirik. Pada 2018, tercatat sudah ada 15 juta penumpang yang berhasil diangkut Citilink dan angka ini menduduki peringkat ketiga.
Ada juga Susi Air yang beroperasi sejak 27 Desember 2004, bertepatan dengan bencana gempa di pesisir barat Sumatera. Mengandalkan dua pesawat Cessna Grand Caravan, Susi Air turut serta dalam pendistribusian bantuan ke lokasi bencana. Sejak itu, maskapai rintisan Susi Pudjiastuti ini menerima jasa penerbangan carter. Baru tahun 2006 mulai dikembangkan penerbangan niaga berjadwal, berbasis di Medan. Hingga 2015 maskapai ini memiliki 32 rute komersial, dan tahun 2018 berhasil mengangkut 41,6 ribu orang.
Lion Air, Citilink, dan Susi Air, hanya sebagian maskapai yang bertahan. Kemenhub mencatat, hingga 2018 setidaknya ada 16 maskapai niaga berjadwal yang masih beroperasi di Indonesia. Sebanyak 14 di antaranya berasal dari maskapai yang lahir di periode 1990 ke atas. Di antaranya Trigana Air Service yang berdiri 1991, Indonesia Airasia (1999), Sriwijaya Air (2003), Wings Abadi Airlines (2003), XpressAir (2003), Cardig Air (2004), Transnusa Aviantion Mandiri (2005), Batik Air (2013), Nam Air (2013), dan Indonesia Airasia Extra (2013).
Sementara bagi mereka yang berhenti operasi, disebabkan tak hanya persoalan finansial perusahaan, tetapi juga terkait faktor keselamatan. Contohnya Adam Air yang izin operator penerbangannya dicabut Kementerian Perhubungan, 2008. Pencabutan izin ini dilakukan karena maskapai ini dianggap telah mengabaikan keselamatan dalam kecelakaan jatuhnya Boeing 737 Adam Air bernomor di perairan Majene pada 1 Januari 2007. Musibah itu menewaskan seluruh penumpang dan awak kabin, 102 orang.
Strategi bertahan
Tidak mudah bagi pelaku jasa angkutan udara bertahan di tengah ketatnya persaingan bisnis penerbangan di Indonesia. Hasil penelitian Reza Adhi (2011) menunjukkan, setidaknya ada tiga faktor yang berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing maskapai penerbangan, di antaranya rute penerbangan, kualitas pelayanan, dan promosi. Setiap maskapai memiliki strategi yang berbeda-beda menerapkan ketiga faktor itu.
Contohnya meski sesama melayani penerbangan LCC, tahun 2018 Lion Air lebih unggul dari Citilink dalam mengangkut jumlah penumpang. Keberhasilan Lion Air turut dipengaruhi banyaknya jumlah kota tujuan dan frekuensi penerbangan. Sesuai data, sepanjang April 2019, Lion Air melayani lebih dari 51 kota tujuan dengan rata-rata 400-420 frekuensi penerbangan per hari. Sementara Citilink pada Juli 2018, hanya melayani 35 kota tujuan dengan rata-rata sekitar 274 frekuensi penerbangan tiap harinya.
Variasi rute penerbangan juga membuat sejumlah maskapai penerbangan perintis tetap bertahan. Contohnya rute Medan, Sumatera Utara-Meulaboh, Aceh, yang hanya dilayani Wings Air. Begitu juga rute Jayapura-Tanahmerah di Papua yang cuma dilayani maskapai Trigana Air.
Faktor promosi oleh maskapai bisa berupa harga murah jauh sebelum keberangkatan, potongan harga tiket, promo bagasi, dan pemasaran melalui iklan. Contohnya diskon 70 persen dari Airasia untuk sejumlah rute penerbangan mereka pada periode 7 Oktober–13 Oktober 2019. Pemesanan tiket promo ini untuk penerbangan setahun ke depan. Begitu juga Sriwijaya Air yang pernah memberikan diskon 10 persen bagi pemilik BPJS Ketenagakerjaan tahun 2018 lalu.
Sejarah panjang maskapai penerbangan RI dan jumlah penumpang yang diangkut menunjukkan bahwa moda transportasi ini sudah menjadi sarana utama penghubung Indonesia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan pesawat sebagai sarana penghubung paling efektif dan efisien. Meski demikian, tidak dapat dimungkiri jika operasional maskapai penerbangan memiliki risiko sangat tinggi.
(Litbang Kompas)