Obligasi Daerah, ”Obat Kuat” yang Terganjal Setumpuk Persoalan
Obligasi daerah dapat menjadi ”obat kuat” bagi proyek-proyek pemerintah daerah. Namun, untuk menerbitkannya tidak mudah. Setumpuk persoalan menghadang.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Penerbitan obligasi daerah bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada pendapat bahwa obligasi daerah belum saatnya untuk diterbitkan di Indonesia. Salah satunya karena hampir semua pemerintah daerah belum memiliki kapasitas untuk mengelola surat utang tersebut.
Namun, di sisi lain, obligasi daerah dapat menjadi ”obat kuat” bagi proyek-proyek progresif pemerintah daerah (pemda). Pertengahan September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti banyaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang hampir 75 persennya habis hanya untuk membiayai gaji dan operasional pegawai.
Dalam dunia keuangan, obligasi merupakan pernyataan utang beserta janji untuk membayar pokok utang beserta bunga saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
Berdasarkan definisi tersebut, obligasi daerah dapat dikatakan sebagai sumber dana pembangunan pemda yang dipinjam dari masyarakat, baik dalam jangka menengah maupun panjang. Penggunaan dana ini untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik yang dijamin dapat menghasilkan penerimaan daerah dan terutama memberikan manfaat bagi publik.
Beberapa waktu lalu, dalam pertemuan dengan awak media di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen mengatakan, belum ada satu pemda pun yang dalam struktur organisasinya punya unit pengelola utang.
Padahal, unit ini penting jika pemda ingin menerbitkan obligasi daerah. Unit salah satunya memiliki tugas membangun hubungan antara pemda dan investor yang mengutamakan keterbukaan informasi, khususnya bagi investor.
”Menerima dan mengelola dana investasi secara transparan belum menjadi budaya bagi pemerintahan di daerah. Hanya ada beberapa pemda yang punya pengalaman berutang kepada swasta,” kata Hoesen.
Selain itu, pemda juga belum mempunyai sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola pendanaan proyek infrastruktur yang berasal dari surat utang. Pemda masih butuh waktu walau beberapa di antaranya sudah mulai menyiapkan kapasitas organisasi dan orang-orang di dalamnya.
OJK menilai pemda yang paling siap untuk menerbitkan obligasi daerah adalah Jawa Tengah. Saat ini proses penerbitan obligasi daerah Jawa Tengah sudah dalam tahapan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah. Adapun pemda lain, yakni DKI Jakarta dan Jawa Barat, baru membentuk tim internal untuk mengkaji obligasi daerah.
Mekanisme pengambilan keputusan yang lama oleh parlemen daerah berpotensi menjadi halangan lain bagi terbitnya obligasi daerah. Restu DPRD yang merupakan representasi dari masyarakat di daerah diperlukan, mengingat setelah itu penerbitan surat utang harus dilaporkan kepada OJK untuk tahapan proses audit dan pemberian peringkat.
Di luar itu, pemda terlihat belum terbiasa dalam merancang proyek infrastruktur yang mampu menarik investasi dan lolos studi kelayakan oleh otoritas pasar modal dan lembaga pemeringkat investasi. Terlebih lagi proyek harus mampu memberikan imbal hasil bagi investor.
”Proyek pemda harus profitable (menguntungkan) karena dana investor harus dikembalikan bersama bunga pokok,” ujar Hoesen.
Terhadap problem-problem yang menghadang, pemerintah pusat, lembaga multilateral, dan OJK tidak tinggal diam. Menurut Hoesen, sudah ada bantuan dari pemerintah pusat dan lembaga multilateral untuk membangun kapasitas sumber daya manusia di pemda.
Khusus OJK, penerbitan obligasi daerah merupakan salah satu kebijakan strategis sehingga OJK terus melakukan pendampingan kepada pemda. Tak sebatas itu, OJK juga telah menerbitkan tiga aturan sejak 2017 untuk memandu pemda yang ingin menerbitkan obligasi daerah.
Partisipasi publik
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta Haryo Kuncoro menilai, keberadaan obligasi daerah sebenarnya membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah.
Obligasi daerah juga dapat menjadi instrumen strategis untuk mendorong inklusi keuangan di masa depan.
”Keberadaan obligasi daerah bisa merangsang transformasi masyarakat yang awalnya berorientasi pada tabungan menjadi berorientasi pada investasi. Ujung-ujungnya ini akan memperkuat pasar modal,” ujarnya.
Namun, selain persoalan-persoalan yang telah disebutkan OJK, dia melihat satu poin lain yang menjadi batu sandungan terbitnya obligasi daerah.
Poin dimaksud, keharusan mencantumkan perkiraan kapasitas dan pendapatan yang bisa diraih dari kegiatan yang dibiayai oleh obligasi daerah. Artinya, terdapat proyek yang ditawarkan sebagai aset dasar (underlying), tetapi tidak ada jaminan arus pendapatan (revenuestream).
”Prasyarat itu sulit dipenuhi pemda lantaran proyek yang dibangun tak seluruhnya mengalirkan pendapatan. Pemilik modal tentunya akan merasa enggan untuk membeli obligasi semacam ini,” ujarnya.
Meski pemda selaku penerbit obligasi daerah bisa mengakali situasi di atas dengan menjamin pembayaran bunga kupon dan pokok utang hingga jatuh tempo, calon investor pasti tetap akan mengamati laporan belanja pemda, pendapatan asli daerah, serta transfer dana dari pemerintah pusat.