Keliru dan Menyesatkan, Argumen Presiden Terkait Perppu KPK
Argumen Presiden Joko Widodo menunjukkan lemahnya komitmen pada agenda pemberantasan korupsi. Tak hanya itu, pernyataan Presiden tak selaras dengan janji yang berulang kali disampaikannya bahwa KPK harus diperkuat.
Oleh
Patricia Sharon
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Argumen Presiden Joko Widodo yang belum akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait Komisi Pemberantasan Korupsi karena menunggu putusan Mahkamah Konstitusi dinilai keliru dan menyesatkan. Argumen itu kian menguatkan lemahnya komitmen Presiden pada agenda pemberantasan korupsi.
”Jadi, kalau kemarin argumentasi presiden mau menunggu proses MK (Mahkamah Konstitusi), itu pernyataan yang keliru dan menyesatkan. Menurut saya, kok terlalu mengada-ada. Sembilan hakim MK pun enggak akan tersinggung kalau perppu dikeluarkan Presiden karena itu kebijakan hukum. Sementara MK berbicara soal inkonstitusionalitas dari pasal per pasal,” ujar pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, di Jakarta, Minggu (3/11/2019).
Dia menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk ”Presiden Tidak Menerbitkan Perppu, Komitmen Anti Korupsi Pemerintah Dipertanyakan”. Diskusi diselenggarakan oleh Koalisi Save KPK yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Transparency International Indonesia (TII).
Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Ketua YLBHI Asfinawati, Ketua PSHK Gita Putri Damayanti, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, dan Peneliti TII Agus Sarwono.
Pada Jumat (1/11/2019), Presiden Joko Widodo menyatakan, perppu belum dibutuhkan karena ada proses uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Jangan ada orang yang masih berproses, diuji materi, kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan,” katanya.
Alasan sopan santun juga dinilai Bivitri tidak tepat. Kekuasaan presiden sebagai cabang eksekutif dan MK sebagai cabang yudikatif tidak saling bersentuhan, apalagi dalam pembuatan perppu. Selain itu, secara prosedur juga tidak saling terkait.
Menurut Feri Amsari, Presiden seharusnya paham justru UU No 19/2019 yang melanggar sopan santun dalam ketatanegaraan.
Sebab, proses perumusan undang-undang tidak transparan. Undang-undang juga lahir tanpa partisipasi publik. Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengamanahkan adanya transparansi dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.
Selain itu, perumusan undang-undang tidak melibatkan KPK. Padahal, sebagai lembaga yang terkait langsung dengan undang-undang tersebut, KPK seharusnya dilibatkan.
Ditambah lagi setelah UU KPK yang baru itu lahir, unjuk rasa mahasiswa dan pelajar pecah di sejumlah daerah. Lima orang meninggal dalam unjuk rasa. Protes kuat dari publik hingga menelan korban jiwa itu seharusnya menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan perppu. Jika tidak, justru bisa memunculkan pandangan presiden yang tidak sopan dalam ketatanegaraan.
Argumen-argumen keliru yang disampaikan Presiden Jokowi itu, menurut Gita Putri Damayanti, menunjukkan lemahnya komitmen Presiden pada agenda pemberantasan korupsi. Tak hanya itu, pernyataan Presiden juga tak selaras dengan janji yang berulang kali disampaikannya bahwa KPK harus diperkuat.
UU No 19/2019 dinilai banyak kalangan akan melemahkan KPK. Kajian KPK bahkan menemukan setidaknya 26 poin dalam UU No 19/2019 yang berisiko melemahkan kinerja lembaga tersebut.
”Mengeluarkan perppu harusnya menjadi penolakan masalah terhadap produk legislatif. Perppu ini hak konstitusional, tidak ada hubungannya dengan sopan santun,” ucap Gita
Sekarang investor agak malas datang ke Indonesia kalau ternyata korupsinya masih sangat besar. Dengan begitu, persaingan usaha pun tidak akan menarik dan kualitas hidup masyarakat tidak akan membaik.
Investor malas
Agus Sarwono yakin, pelemahan pada KPK akan membuat indeks persepsi korupsi Indonesia menurun. Salah satu akibatnya akan berimbas pada kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya menjadi salah satu perhatian pemerintahan Presiden Jokowi bersama wakilnya, Ma\'ruf Amin.
”Sekarang investor agak malas datang ke Indonesia kalau ternyata korupsinya masih sangat besar. Dengan begitu, persaingan usaha pun tidak akan menarik dan kualitas hidup masyarakat tidak akan membaik,” ujar Agus.
Laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) tentang Indeks Daya Saing Global pada 2019 menunjukkan, korupsi masih menjadi hambatan utama dalam berbisnis di Indonesia. Skornya pun terus meningkat dari 11,7 pada 2016, 11,8 (2017), hingga 13,8 (2018).
Laporan WEF itu juga menyebutkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018 menduduki peringkat ke-77 dari 141 negara dengan skor 38 dalam rentang 0-100. Di Asia Tenggara, peringkat dan skor IPK Indonesia di bawah negara tetangga, yaitu Malaysia di peringkat ke-55 dengan skor 47, Brunei Darussalam peringkat ke-29 dengan skor 63, dan Singapura peringkat ke-3 dengan skor 85.
Semakin tinggi skor IPK menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki tingkat korupsi rendah dan cenderung memberikan kemudahan berinvestasi bagi pengusaha.
Dewan Pengawas KPK
Sementara itu, terkait rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK yang personelnya dipilih langsung oleh Presiden Jokowi sebagai salah satu amanah UU No 19/2019, Asfinawati khawatir siapa pun yang terpilih, tak akan bisa menjalankan tugasnya sebagai pengawas.
Kerja mereka rentan diintervensi oleh presiden karena presiden yang memilihnya. Kemudian yang berbahaya, mereka yang dekat dengan presiden bisa saja lepas dari penindakan oleh KPK saat korupsi.
Tugas Dewan Pengawas KPK mengacu pada UU No 19/2019, di antaranya mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan, serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Lahirnya Dewan Pengawas KPK itu sendiri masih terus ditentang oleh kalangan akademisi dan masyarakat sipil.
Kurnia Ramadhana misalnya. Dia melihat Dewan Pengawas tidak dibutuhkan karena pengawasan terhadap KPK sudah dilakukan oleh pihak internal dan eksternal. Dari internal sudah ada deputi di KPK yang tugasnya mengawasi internal KPK. Adapun dari eksternal, KPK telah diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, presiden, Ombudsman, hingga masyarakat.
”Jadi, poinnya bukan soal presiden akan memilih figur yang kapabel dan berintegritas. Siapa pun yang dipilih presiden, itu tetap menjadi kekeliruan yang fatal dalam melihat konsep lembaga anti korupsi,” ucap Kurnia.