Isu Pengungsi Rakhine, Gugus Tugas ”Ad Hoc” Segera Dibentuk
Masalah pengungsi asal Rakhine menjadi salah satu isu yang paling banyak dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand. Indonesia termasuk yang mengangkat permasalahan itu.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
BANGKOK, KOMPAS — Para pemimpin negara anggota ASEAN mendorong repatriasi pengungsi dari Provinsi Rakhine, Myanmar, segera terealisasi. Untuk memastikan repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat, mereka sepakat segera membentuk gugus tugas ad hoc.
Masalah pengungsi asal Rakhine ini menjadi salah satu isu yang paling banyak dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand, Sabtu (2/11/2019). Indonesia termasuk yang mengangkat permasalahan tersebut.
Presiden Joko Widodo dalam sesi pleno KTT berharap ada kemajuan berarti dari persoalan pengungsi Rakhine. Prioritas kegiatan yang sudah disepakati di tingkatan teknis dan working group antara ASEAN dan Myanmar juga diharapkan segera ditindaklanjuti.
”Saya yakin kita semua mengharapkan agar situasi di Provinsi Rakhine dapat segera kembali normal,” kata Presiden dalam sesi pleno KTT ke-35 ASEAN yang dilangsungkan di Impact Muang Thong Thani Arena, Exhibition and Convention Centre, Bangkok, Thailand, Sabtu (2/11/2019).
Dalam pertemuan ini, Presiden didampingi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.
”Rata-rata, pemimpin negara ASEAN mendorong agar kemajuan dapat terus terjadi, repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat dapat segera dilaksanakan dan ASEAN siap membantu,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Pembentukan gugus tugas ad hoc yang akan bertugas penuh untuk memonitor pelaksanaan rekomendasi tim penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA) sudah disepakati. Tim PNA mengeluarkan rekomendasinya pada Maret lalu yang disusul pertemuan-pertemuan working group antara Pemerintah Myanmar dan Sekretariat ASEAN ataupun Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Humanitarian pada Pengelolaan Bencana (AHA Center).
Sejalan dengan KTT ke-35 ASEAN, kegiatan-kegiatan prioritas untuk membantu repatriasi terus dibahas. Perlengkapan di pusat transit dan penerimaan para pengungsi kembali ke tempat asalnya juga perlu diperkuat. Sebab, fasilitas yang ada saat ini masih sangat minim dan tak akan bisa melayani dengan cepat saat pengungsi dalam jumlah besar kembali.
Selain itu, diperlukan ruang yang ramah anak dan perempuan di pusat transit yang mengacu pada kebijakan yang ramah jender. Hal ini akan mengurangi trauma setelah banyaknya kekerasan yang dialami.
Di sisi lain, kata Retno, diseminasi informasi perlu diintensifkan. Informasi ini perlu disampaikan sesuai kondisi kesiapan repatriasi di lapangan serta diberikan baik kepada para pengungsi di lokasi pengungsian Cox’s Bazar Bangladesh ataupun kepada keluarga mereka yang masih di Rakhine. Diseminasi informasi ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan.
Terkait kendala bahasa, yaitu bahasa Rohingya yang tak dipahami mayoritas warga Myanmar, Retno mengusulkan adanya media komunikasi yang lebih mudah dipahami, seperti film pendek.
”Usul Indonesia disetujui. Dialog ini kunci, enggak mungkin mereka akan mau pulang kalau enggak diajak bicara karena mereka subyek, bukan obyek. Hampir semua negara ASEAN bicara mengenai pentingnya dialog,” tutur Retno.
Hal penting lain yang perlu disiapkan terkait pekerjaan dan aktivitas ekonomi untuk para pengungsi setelah kembali dari pengungsian. Untuk ini, tak bisa hanya fokus pada kelompok Muslim saja, melainkan semua warga Provinsi Rakhine, baik yang beragama Buddha, Hindu, maupun lainnya. Harapannya, tak tercipta kesenjangan baru yang akan menimbulkan masalah sosial baru.
Untuk gugus tugas ad hoc pemantau pelaksanaan rekomendasi tim PNA ini, Pemerintah Indonesia sudah menyatakan siap membantu. Selain itu, lanjut Retno, banyak pihak yang juga siap membantu.
Pemerintah Myanmar mengatakan, sudah banyak kelompok pengungsi yang kembali ke Rakhine. Kelompok terdiri atas belasan hingga puluhan orang. Hingga kemarin, jumlah pengungsi dalam kelompok-kelompok itu sudah mencapai 414 orang. Kendati demikian, masih ada lebih dari 700.000 pengungsi di lokasi pengungsian Cox’s Bazar.
Masalah Rakhine ini juga dibahas dalam pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, Sabtu petang. Selain itu, dibicarakan pula masalah Palestina.
Dalam dua isu ini, Indonesia secara aktif membantu menyelesaikannya. Sekjen PBB pun, kata Retno, mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang sudah banyak berkontribusi dalam penyelesaian masalah Provinsi Rakhine. Guterres mengakui belum ada kemajuan signifikan, baik di Rakhine maupun Palestina. Kendati demikian, semua pihak diharap tak putus asa karena kedua isu ini berkaitan dengan masalah kemanusiaan.