Suku Bunga Rendah Tak Cukup Dorong Kinerja Industri Manufaktur
Pelambatan sektor industri manufaktur perlu dihadapi dengan solusi yang tepat. Penurunan suku bunga kredit perbankan dinilai sebagian kalangan belum cukup untuk mendorong percepatan pertumbuhan.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan kinerja produksi industri manufaktur terus melambat dalam tiga tahun terakhir ini. Pelambatan ini terjadi pada kelompok industri besar dan sedang. Upaya pemerintah dengan menurunkan suku bunga kredit perbankan dinilai sebagian kalangan belum cukup untuk mendorong percepatan pertumbuhan.
Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (1/11/2019), mengumumkan pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang triwulan III-2019. Pada periode tersebut, pertumbuhan produksi industri hanya 4,35 persen. Angka itu lebih rendah daripada pertumbuhan pada periode sama di 2018 yang sebesar 5,04 persen maupun di 2017 sebesar 5,46 persen.
Pada Oktober atau akhir triwulan lalu, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga menjadi 5 persen. Sejak Juli 2019, BI tercatat telah empat kali menurunkan suku bunga acuan dengan masing-masing penurunan 25 basis poin (Kompas, 24/10/2019). Penurunan itu diharapkan menstimulasi pengembangan industri manufaktur.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal saat dihubungi, Minggu (3/11/2019), memperkirakan, pelonggaran moneter itu baru dapat berdampak enam bulan setelah kebijakan dibuat. Dampak itu juga bergantung pada sektor industri mana yang paling cepat merespons kebijakan tersebut.
”Sampai sekarang, kebijakan itu baru berdampak pada properti tingkat bawah atau pembelian rumah pertama untuk masyarakat menengah ke bawah, bukan untuk investasi. Sementara itu, saat ini kita juga dihadapkan pada perlambatan permintaan, seperti terlihat di indikator penjualan kendaraan bermotor dan sebagainya,” tuturnya.
Pada triwulan III-2019, penurunan produksi tertinggi dialami industri barang logam, bukan mesin, dan peralatannya, yakni 22,95 persen. Disusul industri karet, barang dari karet, dan plastik yang turun 16,63 persen. Sementara industri mesin dan perlengkapan turun 12,75 persen dan industri pengolahan tembakau 12,73 persen.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, yang dihubungi secara terpisah, melihat adanya penurunan penawaran dan permintaan produksi industri manufaktur secara umum. Hal itu terjadi dalam kondisi ekonomi nasional yang stagnan, antara lain, karena perlambatan pertumbuhan konsumsi domestik.
Data BPS menunjukkan, inflasi inti, yang menggambarkan naik turunnya harga karena faktor penawaran dan permintaan barang di luar makanan dan energi, melambat dari 0,29 persen pada September 2019 menjadi 0,17 persen pada Oktober 2019.
Secara tahunan, inflasi per Oktober 2019 sebesar 3,13 persen. Angka itu tercatat lebih rendah dari periode yang sama 2018 yang sebesar 3,16 persen dan 2017 yang sebesar 3,58 persen. ”Kalau mau membantu mendorong kinerja industri manufaktur nasional, penurunan suku bunga saja tidak cukup,” ujarnya.
Keragaman produk
Untuk mendukung kinerja industri manufaktur ke depan, Shinta menilai, perlu ada keleluasaan atau pembebanan untuk melakukan pendalaman industri. Hal itu penting agar ada inovasi yang dibuat industri dalam rangka menghasilkan produk yang lebih beragam.
”Produk hasil industri manufaktur Indonesia terlalu sempit atau kurang terdiversifikasi. Kinerja sektor ini sangat bergantung pada penjualan segelintir produk. Sebagai contoh, industri pengolahan tembakau dan karet, produk besarnya hanya rokok dan ban untuk kendaraan penumpang. Sementara produk turunan lain belum dikembangkan atau belum maksimal skala ekonominya,” tuturnya.
Selain diversifikasi produk, keleluasaan untuk menciptakan efisiensi biaya dalam rantai pasok juga perlu dipikirkan pemerintah. Efisiensi biaya produksi dapat menciptakan skala ekonomi yang lebih besar.