Untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor dan meningkatkan kontribusi belanja pemerintah pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah diharapkan untuk lebih berpihak pada produk lokal, khususnya UMKM.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Barang impor masih mendominasi belanja pengadaan pemerintah yang mencakup total belanja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Kondisi itu dinilai terjadi karena biaya dan kualitas produk lokal belum seefisien dan sebaik produk impor.
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Roni Dwi Susanto di Jakarta, Senin (4/11/2019), mengungkapkan, 37 persen dari nilai transaksi belanja pengadaan barang dan jasa melalui katalog elektronik pemerintah berasal dari luar negeri. Nilai itu belum termasuk bahan baku impor yang dijadikan produk oleh pabrik representasi asing di Indonesia.
Ia mencontohkan, Kementerian Kesehatan masih membutuhkan produk impor sekitar 95 persen, seperti obat-obatan dan alat kesehatan. Demikian juga pengadaan barang dan jasa untuk infrastruktur olahraga, seperti Stadion Papua Bangkit yang disiapkan untuk Pekan Olahraga Nasional 2020.
Roni mengatakan, pengadaan rumput, kursi tribun, hingga cat untuk dekorasi stasion harus diimpor demi sesuai dengan standar internasional. "Banyaknya kebutuhan impor ini memang masih jadi pekerjaan rumah kita," ujarnya.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memungkinkan impor barang atau jasa, jika yang dibutuhkan belum tersedia di dalam negeri, atau barang atau jasa lokal belum mencukupi permintaan.
Di sisi lain, aturan tersebut mengamanatkan penggunaan produk dalam negeri dan peningkatan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Produk dalam negeri dapat menang lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah jika memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi.
"Namun, TKDN juga tidak menjamin karena kita juga menggunakan preferensi harga. Contoh, kalau harga suatu produk impor Rp 500 dan produk dalam negeri dengan TKDN tinggi Rp 1000, produk lokal akan kalah dan otomatis barang impor masuk. Kita tidak bisa membatasi jenis barang impor ini untuk masuk, kecuali kita sudah memastikan barang lokal sudah memenuhi standar," kata dia.
Berdasarkan data LKPP, Rp 1.133 triliun belanja pengadaan pada 2019 atau 52 persen dari Rp 2.164 triliun total belanja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Nilai tersebut meningkat dari belanja pengadaan tahun 2015 sebesar Rp 971 triliun atau 56 persen dari Rp 1.744 triliun total anggaran belanja.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, mencatat, dalam kurun waktu 2015-2019 belanja barang meningkat signifikan yakni 43,2 persen. Sayangnya, kenaikan belanja barang tidak ikut meningkatkan produktivitas ekonomi.
"Di sini ketimpangan muncul, diduga karena kebergantungan pada pengadaan impor. Kontribusi belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 8 persen sampai 9 persen. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya 5 persen sampai 5,1 persen," tuturnya saat dihubungi hari ini.
Keberpihakan
Untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor dan meningkatkan kontribusi belanja pemerintah pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah diharapkan untuk lebih berpihak pada produk lokal, khususnya UMKM.
Ia mencontohkan, pemerintah bisa memberi peluang pada UMKM untuk menyediakan sepertiga pengadaan alat tulis kantor, atau menyediakan kesempatan bagi industri lokal untuk memproduksi 30 persen sampai 40 persen kendaraan bermotor dinas.
"Pengawasan aturan TKDN untuk pengadaan pemerintah perlu diperketat. Cara lainnya adalah penyesuaian syarat lelang pemerintah untuk menampung kesempatan produk UMKM bersaing," ujar Bhima.