Bau Sampah di Sepak Bola Indonesia
Catatan perusakan fasilitas Stadion Gelora Bung Tomo dan polemik mewarnai pengusulan Surabaya sebagai satu dari 10 kota yang diusulkan oleh PSSI dan pemerintah sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20 2021.
Sepak bola Indonesia adalah sampah?
Jangan marah lebih dulu. Jika demikian, memandang sepak bola Nusantara cuma dari satu sisi. Padahal, sampah punya dua karakter ibarat uang logam. Wajah yang satu, sampah sebagai kotoran sejati. Segi lainnya, sampah sebagai ”sesuatu yang terbuang”, tetapi masih berpotensi dan bernilai jika dimanfaatkan sesuai prinsip 3R (reduce, reuse, recylce) alias pengurangan, pemakaian lagi, dan pendauran.
Lalu, apa hubungannya? Menurut peringkat FIFA bertanggal 24 Oktober 2019, tim nasional Indonesia (putra) berada di posisi ke-171. Ini jauh di bawah Vietnam (97), Thailand (109), dan Filipina (126) di Asia Tenggara. ”Merah Putih” juga tak lebih baik dari negara tetangga, yakni Malaysia (158) dan Singapura (159).
Gambaran tim putri sesuai peringkat terkini bertanggal 27 September 2019 di situs FIFA juga memenuhi pepatah setali tiga uang alias serupa. ”Srikandi Merah Putih” ada di tangga ke-93. Peringkat itu jauh di bawah Vietnam (34), Thailand (39), dan Filipina (69). Lagi-lagi, Malaysia lebih baik dengan berada di urutan ke-89.
Baca juga : Piala Dunia U-20 dan Jersey Bernomor 21 untuk Presiden Jokowi
Namun, jika kita tega mengibaratkan kondisi peringkat sepak bola sebagai sampah, patut disadari sudut pandang yang perlu dipakai ialah masih ada harapan, berpotensi dan bernilai jika dimaksimalkan. Singkat kata, berubahlah atau berevolusilah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Tuan rumah
Jika sepak bola Indonesia tak punya potensi, rasanya FIFA juga enggan menunjuk Nusantara sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2021. Dengan segala kondisi yang mengiringi hingga saat ini, antara lain kasus mafia sepak bola dalam PSSI dan pergantian pengurus, sejumlah kerusuhan dalam laga kompetisi Liga 1 dan Liga 2 serta rentetan kegagalan timnas senior putra dan putri meraih trofi di turnamen regional, sekali lagi, sepak bola Indonesia masih berpotensi dan bernilai.
Menanggapi penunjukan FIFA bahwa Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan bersama PSSI mengajukan 10 stadion. FIFA akan menetapkan kemungkinan 6-7 stadion penyelenggara. Ini melihat kecenderungan jumlah gelanggang penyelenggara Piala Dunia U-20 pada 2013 di Turki (7 tempat), pada 2015 di Selandia Baru (7 tempat), edisi 2017 di Korea Selatan (6 tempat), dan perhelatan 2019 di Polandia (6 tempat).
Baca juga : Gelora Bung Tomo Siap Menggelar Pertandingan Piala Dunia U-20
Sepuluh tempat yang diusulkan sebagai tempat penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2021 adalah Stadion Gelora Bung Karno Jakarta (76.000 kursi), Stadion Patriot Chandrabaga Bekasi (30.000 kursi), Stadion Wibawa Mukti Cikarang (30.000 kursi), Stadion Pakansari Cibinong (30.000 kursi), dan Stadion Si Jalak Harupat (40.000 kursi).
Selain itu, Stadion Mandala Krida Yogyakarta (35.000 kursi), Stadion Manahan Solo (20.000 kursi), Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya (50.000 kursi), Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar (25.000 kursi), dan Stadion Gelora Sriwijaya Palembang (40.000 kursi).
Perbandingan
Di edisi 2017 Korea Selatan, turnamen diadakan di enam stadion. Yang terkecil di Incheon (20.000 kursi). Yang terakbar di Suwon (43.000 kursi). Perhelatan berikutnya di Polandia, pertandingan juga dilaksanakan di enam arena. Empat stadion bahkan berkapasitas kurang dari 16.000 kursi, yakni Bielsko-Biala, Gdynia, Lubin, dan Tychy. Yang terbesar ialah Stadion Bydgoszcz (21.000 kursi).
Dilihat dari kedua edisi tersebut, ke-10 stadion yang diajukan itu sama-sama berpeluang untuk menjadi tempat penyelenggaraan laga Piala Dunia. Sebagai catatan, Stadion Gelora Bung Karno tentu mustahil dicoret sebagai arena kebanggaan nasional dan rasanya FIFA tidak akan mengabaikannya.
Untuk dicatat, dalam kurun dua pekan lalu, terjadi kerusuhan di Mandala Krida, (Senin, 21 Oktober) dan Gelora Bung Tomo (Selasa, 31 Oktober). Di Yogyakarta, kerusuhan terjadi seusai tuan rumah PSIM kalah 2-3 dari Persis Solo. Di Surabaya, perusakan dan pembakaran fasilitas stadion terjadi seusai tuan rumah Persebaya kalah 2-3 dari PSS Sleman.
Kejadian ini jelas memantik perdebatan sengit terkait peluang Yogyakarta dan Surabaya sebagai salah satu tempat penyelenggaraan Piala Dunia. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, seperti dikutip media massa, menyatakan kira-kira untuk apa ada sepak bola di ”Kota Gudeg” jika yang diperlihatkan adalah perilaku kekerasan dan tidak beradab.
Menanggapi Gelora Bung Tomo, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengkritik dengan melontarkan pernyataan bahwa saat sore bau sampah masih kerap tercium di stadion terbesar kedua di Indonesia itu. Salah satu alasannya, arena bersebelahan dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Benowo.
Polemik
Khusus untuk pernyataan Khofifah memantik polemik. Pemerintah Kota Surabaya meradang dan membalas kritik itu. Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali sampai datang, Minggu (3/11/2019), untuk mengecek Gelora Bung Tomo yang katanya masih bau sampah itu. Namun, ketika itu, sang menteri gagal masuk arena karena terkunci. Selanjutnya, sudah bisa ditebak, terjadi aksi saling sindir dan kritik.
Sayangnya, yang agak dilupakan, kewenangan untuk menetapkan arena laga berada di tim FIFA. Tuan rumah, dalam hal ini para pemerintah daerah, sepatutnya berlomba untuk mempersiapkan stadion sehingga dinilai layak dan ideal sebagai tempat pertandingan Piala Dunia. Energi janganlah dihabiskan untuk saling kritik atau membela diri tanpa ada kerja nyata.
Di Surabaya, bisa dipastikan warganya akan amat bangga jika menjadi salah satu arena Piala Dunia. Apalagi, jika itu terjadi, Surabaya sedang dipimpin oleh wali kota yang baru.
Tri Rismaharini akan meletakkan jabatan dua periode pemerintahannya sebelum perhelatan Piala Dunia. Artinya, Risma akan ”dikenang” dengan baik jika mampu memastikan Surabaya sebagai salah satu arena Piala Dunia U-20 2021 yang rapi, aman, dan nyaman.
Saat ini pemkot sedang menggarap akses baru dari Jalan Tol Surabaya-Gresik ke Gelora Bung Tomo, termasuk memperlebar jalan hingga 50 meter. Semua proyek dijadwalkan tuntas pada 2020. Sebab, selama ini akses ke stadion memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam karena harus memutar. Kemacetan akan menjadi tantangan yang mustahil diatasi tanpa ada terobosan dalam pembuatan prasarana.
Jika memungkinkan, perlu gerbang tol baru yang khusus menembus ke Gelora Bung Tomo. Akses ini akan memudahkan mobilitas mobil, bus, dan truk pendukung kegiatan mengingat kawasan sekitar stadion akan dikembangkan sebagai kompleks pusat olahraga Surabaya.
Dengan akses baru, panitia dapat mengerahkan bus-bus sebagai alat transportasi penonton dari dan ke pusat kota atau terminal dan stasiun menuju stadion. Pola transportasi ini bisa dipertahankan ketika kawasan Gelora Bung Tomo benar-benar sudah menjadi kompleks pusat olahraga.
Selain itu, kritik bau sampah bisa dijawab dengan pengajuan pengelolaan limbah yang modern atau canggih. Jika pola sanitary landfill yang masih dipakai dianggap kurang memadai, bisa belajar ke Eropa atau Jepang yang mengolah sampah dalam pabrik atau ruang tertutup.
Berevolusilah dengan bekerja keras dan bekerja cerdas, berlomba menjadi penyelenggara Piala Dunia daripada berpolemik dengan kata-kata. Apalagi jika kata-kata yang dilontarkan tak sedap alias bau dan tak pantas alias seperti sampah.