Bisnis Internasional Hadapi Era Deglobalisasi, Waspadai Kemunculan Blok AS dan China
Bisnis internasional sedang menghadapi era deglobalisasi. Indikatornya adalah jangkauan perusahaan multinasional sangat berkurang, perdagangan dan investasi jadi lebih terbatas, serta risiko dan biaya bisnis meningkat.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis internasional sedang menghadapi era deglobalisasi. Sejak 2008, telah terjadi penurunan yang lambat dalam perdagangan dan penurunan besar dalam investasi asing langsung terhadap pendapatan domestik bruto.
Indikatornya adalah jangkauan perusahaan multinasional sangat berkurang, perdagangan dan investasi menjadi lebih terbatas, serta risiko dan biaya bisnis internasional meningkat signifikan. Pertumbuhan dan gerak rantai nilai global juga makin terhambat.
Poin-poin itu mengemuka dalam laporan INSEAD, sekolah bisnis di Fontainebleau, Perancis, yang diterima Kompas, Senin (4/11/2019). Laporan bertema ”Deglobalisasi: Teori, Prediksi, dan Peluang untuk Penelitian Bisnis Internasional” itu ditulis Senior Afiliasi Bidang Strategi dan Bisnis Internasional INSEAD Profesor Michael Witt. Makalah itu diterbitkan dalam Journal of International Business Studies.
Dalam makalah itu, Witt mempertimbangkan penyebab politik dan implikasi bisnis dari gangguan deglobalisasi untuk bisnis internasional. Gejala itu dikaji dengan pendekatan teori liberalisme dan realisme.
Witt mengatakan, para liberalis mengaitkan proses deglobalisasi saat ini dengan dua faktor. Pertama, tekanan politik domestik terhadap saling ketergantungan antarnegara dan, kedua, melemahnya institusi internasional, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dunia yang terdeglobalisasi akan menciptakan relasi ekonomi tambal sulam dalam bentuk perjanjian perdagangan bilateral dan regional. Secara ekstrem, hal ini dapat memunculkan blok ekonomi dengan pembatasan pemakaian mata uang dan perdagangan.
Adapun para realis memandang, deglobalisasi dipicu dengan berakhirnya hegemoni AS dan kebangkitan China sebagai pesaing geostrategis. ”Keduanya melihat deglobalisasi itu akan berdampak pada ekonomi global, bisnis internasional, dan kekuatan ekonomi masa depan,” kata Witt.
Menurut Witt, kaum liberal melihat dunia yang terdeglobalisasi akan menciptakan relasi ekonomi tambal sulam dalam bentuk perjanjian perdagangan bilateral dan regional. Secara ekstrem, hal ini dapat memunculkan blok ekonomi dengan pembatasan pemakaian mata uang dan perdagangan.
Sementara kaum realis melihat dunia yang terdeglobalisasi mengingatkan kembali pada Perang Dingin. Ke depan, hegemoni AS akan meredup, tetapi cukup kuat untuk menolak pengaruh China.
”Akan ada masa transisi pada dekade berikutnya yang memperlihatkan China muncul sebagai kekuatan global dengan yuan yang akan menggantikan dollar AS. Dalam jangka panjang, negara adikuasa lain, seperti India, dapat muncul menciptakan dunia multipolar dengan berbagai rezim ekonomi,” tutur Witt.
Rantai nilai global
Dalam laporan itu, Witt juga menunjukkan pertumbuhan dan gerak rantai nilai global semakin terhambat. Hal itu karena dua blok ekonomi Barat dan Timur kembali muncul.
AS akan memimpin Blok Barat dan China akan berpengaruh kuat di Blok Timur. Rantai nilai global diperkirakan akan jatuh ke dalam salah satu dari dua wilayah pengaruh itu.
Pertumbuhan dan gerak rantai nilai global semakin terhambat. Hal itu karena dua blok ekonomi Barat dan Timur kembali muncul. AS akan memimpin Blok Barat dan China akan berpengaruh kuat di Blok Timur.
Menurut Witt, korporasi mungkin harus menarik diri dari beberapa wilayah untuk memfokuskan operasi dalam satu bidang. Hal itu dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan secara signifikan.
Mengingat dominasi Asia dalam rantai pasok global dan kemungkinan negara-negara Asia akan jatuh di bawah lingkup China, perusahaan multinasional Barat akan terdampak signifikan.
”Anak perusahaan lokal dari perusahaan-perusahaan multinasional bisa besar kemungkinan mendapatkan sedikit akses teknologi dan pengetahuan perusahaan induk. Jika terjadi pembatasan penggunaan mata uang, perusahaan-perusahaan akan kesulitan mengembalikan keuntungan. Bisa juga terjadi risiko penyitaan aset jika persaingan berubah menjadi permusuhan,” paparnya.
Pekan lalu, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Pembangunan Islam (IsDB) menyebutkan, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global turun selama periode 2010-2017. Dalam kurun itu, ekspor komoditas primer masih mendominasi, sementara investasi asing secara langsung dan impor lebih berfokus pada pemenuhan konsumsi domestik ketimbang ekspor.
ADB dan IsDB, melalui studinya bertajuk ”Evolusi Partisipasi Indonesia dalam Rantai Nilai Global” menyebutkan, partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global turun dalam periode 2000-2017.
Nilai tambah sektor perdagangan Indonesia turun dari 31 persen pada 2000 menjadi 17,6 persen pada 2017. Adapun kontribusi nilai tambah perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turun dari 27,8 persen pada 2000 menjadi 15 persen 2017.
Kegiatan sektor unggulan untuk mendorong sektor lain atau forward linkage produk setengah jadi Indonesia yang diekspor sebagai bahan produksi barang jadi di negara lain turun dari 21,5 persen terhadap ekspor menjadi 12,9 persen.
”Partisipasi Indonesia yang terbatas dalam rantai nilai global menunjukkan bahwa Indonesia tidak memperoleh manfaat sebanyak yang diperoleh negara-negara tetangganya di Asia, baik dari pertumbuhan perdagangan global maupun dari pengalihan perdagangan akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China,” tutur Bambang Susantono, Wakil Presiden ADB Bidang Pengelolaan Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan, (Kompas, 1/11/2019).
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga mengingatkan, dunia mulai memasuki deglobalisasi. Dunia tengah dihadapkan pada era meredanya globalisasi dan menguatnya digitalisasi. Jika era ini tidak diantisipasi dan disikapi, petumbuhan ekonomi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, akan melambat dan akhirnya menurun.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan hal itu dalam pembukaan Konferensi Internasional BMEB di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Agustus lalu. Konferensi bertema ”Maintaining Stability and Strengthening Momentum of Growth Amidst High Uncertainties in Digital Era”.
Perry mengatakan, ada empat ciri penanda meredanya globalisasi dan menguatnya digitalisasi. Pertama, banyak negara yang mengandalkan potensi dalam negeri dalam merespons ketegangan perdagangan internasional.
Kedua, arus modal antarnegara dan nilai tukar semakin bergejolak. Ketiga, kebijakan bank sentral tidak dapat mengandalkan suku bunga acuan dan menjaga inflasi saja, tetapi juga menjaga stabilitas sistem keuangan dan ekonomi sehingga kebijakan makroprudensial juga diperlukan.
”Keempat, maraknya digitalisasi di bidang ekonomi dan keuangan yang perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar tidak mendisrupsi perbankan dan sektor-sektor lain,” katanya.