Elegi Penyintas Bencana Palu, Lombok, dan Sinabung Belum Usai
Bencana alam besar seperti gempa disusul tsunami di Palu dan Lombok, serta gunung meletus di Sinabung telah lewat lebih dari satu tahun. Namun, manajemen kebencanaan Tanah Air belum menjawab kerentanan.
JAKARTA, KOMPAS - Bencana alam besar seperti gempa disusul tsunami di Palu dan Lombok, serta gunung meletus di Sinabung telah lewat lebih dari satu tahun. Namun, manajemen kebencanaan Tanah Air ternyata belum melepaskan ribuan penyintas gempa dari beragam masalah.
Kebutuhan penyintas bencana di Palu, Sigi, dan Donggala (Sulawesi Tengah), Lombok (Nusa Tenggara Barat), serta Sinabung (Sumatera Utara), belum tertangani tuntas. Liputan lapangan dan survei Litbang Kompas akhir Oktober 2019 menemukan banyak penyintas masih berkutat dengan kebutuhan dasar, seperti air bersih, pembagian bantuan tak merata, pendataan, hingga pembangunan hunian tetap yang molor.
Memang, mayoritas responden di Palu, Donggala, dan Lombok yakin pada kesungguhan pemerintah. Namun, masalah di lapangan masih banyak dijumpai.
Di Kelurahan Balaroa, Palu Barat, Sulawesi Tengah, sekitar 200 keluarga (800 jiwa) penyintas likuefaksi, hingga hari ini masih tinggal di tenda-tenda terpal yang pengap saat siang dan bocor saat hujan. Masih sama seperti masa tanggap darurat. “Setahun lebih kami hidup di tenda,” kata Rosna Halim (38), penyintas likuefaksi Balaroa di tenda pengungsian, Rabu (30/10/2019).
Gempa bumi dan likuefaksi disusul tsunami melanda Kota Palu, Sigi, dan Donggala, Sulteng, 28 September 2018. Data Sekretariat Daerah Provinsi Sulteng, sebanyak 3.124 jiwa meninggal, 705 hilang, dan korban dikubur massal (tanpa identitas) 1.016 jiwa. Sebanyak 110.214 rumah rusak dengan nilai kerusakan Rp 24,96 triliun. Saat ini, pengungsi tersebar di 400 titik di hunian sementara (huntara) dan tenda darurat.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu Bambang Sabarsyah menyatakan, huntara tak dibangun di Balaroa karena lahannya miring. Alasan lain, penyintas menolak pembangunan huntara dan meminta anggaran dibagikan tunai. Skema tersebut tak bisa dipenuhi karena anggaran huntara hanya untuk pembangunan huntara.
Para penyintas sudah diminta menempati huntara yang kosong. Namun, mereka beralasan anak-anak terlanjur sekolah di dekat kamp. “Kami tetap mengusahakan mereka masuk huntara. Sudah banyak yang masuk ke huntara di Kelurahan Duyu dan Pengawu,” ujarnya. Huntara Duyu dan Pengawu berjarak sekitar 2 kilometer dari kamp pengungsian Balaroa.
Rosna mengakui anak sekolah menjadi salah satu alasan ia enggan pindah ke huntara kosong. Selain itu, di kamp pengungsian banyak kerabat yang bisa membantu saat kekurangan kebutuhan.
Kasus Balaroa hanya satu dari banyak masalah penanganan bencana di Sulteng. Sejak masa tanggap darurat hingga saat ini di huntara, kekurangan air bersih masih terjadi. Di huntara Kelurahan Silae, Kota Palu, sejak huntara ditempati akhir Desember, masalah air belum terpecahkan.
Kami tak pernah tahu ada bantuan seperti itu saat masuk huntara.
Distribusi kebutuhan pokok di huntara juga tak merata. Di salah satu huntara, satu keluarga dapat beras 5 kilogram, kasur, tabung elpiji 3 kg dengan kompor. Di huntara lain, penyintas hanya dapat beras. Bahkan, ada yang tak menerima bantuan.
“Kami tak pernah tahu ada bantuan seperti itu saat masuk huntara,” kata Alamsyah (41), penghuni huntara Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, sekitar 75 km dari Palu, ibu kota Sulteng.
Di Lombok Utara, para penyintas gempa akhir Juli 2018 lalu di huntara Karang Montong Daya, Desa Pemenang Timur, Pemenang, NTB, gelisah pada musim hujan. “Tahun lalu, huntara ini dilanda banjir. Posisinya rendah,” kata Lalu Hamdi (32), penyintas. Bekas lumpur banjir membekas setinggi 50 sentimeter di dinding huntara.
Di sisi lain, karena atap berbahan spandek maka terlalu panas. Apalagi, Lombok sedang dilanda kemarau panjang. “Kalau buat yang masih tinggal, siangnya tidak pernah di dalam huntara. Panasnya seperti oven. Jadi pasti berteduh di luar,” kata Zahir (40), penyintas gempa di Dusun Trengan Daya, Desa Pemenang Timur.
Akibatnya, tidak sedikit penyintas yang memilih meninggalkan huntara tersebut, kemudian membangun huntara sendiri. Penyintas di Dusun Trengan Daya, Pemenang Timur, Lombok Utara, salah satunya. Di sana, dari puluhan huntara yang dibangun BUMN, hanya tiga unit yang masih terisi.
“Warga membuat lagi huntara sendiri. Bahan-bahannya diambil dari bagian-bagian rumah yang rusak. Kebetulan ada sawah kosong milik saudara yang tidak digarap dan diijinkan untuk membangun huntara,” kata Ismak (40), penyintas lain di Trengan Daya.
Data BPBD NTB, gempa merusak 222.530 rumah, kategori rusak berat, sedang, dan ringan. Korban meninggal hampir 400 jiwa, ratusan orang luka berat, dan sekitar 360 ribu orang mengungsi.
Setahun lewat, kesenjangan penanganan penyintas pun terlihat. Semakin jauh dari Mataram, ibu kota NTB, semakin berat kondisi penyintas, di antaranya terkait distribusi bantuan yang memicu konflik antardesa.
Muncul pula kecemburuan sosial antara desa yang dekat perkotaan dengan desa yang berada di kaki gunung. Terjadilah “pembegalan” bantuan ketika masih berada di jalan, seperti di desa-desa di Kecamatan Pemenang Timur, yang tidak terjangkau bantuan karena lokasinya terpencil.
Hunian tetap
Masalah hunian tetap juga terjadi di semua daerah. Data BPBD NTB, dari 222.530 rumah rusak berat, sedang, dan ringan yang menjadi target rehabilitasi dan rekonstruksi, sebanyak 105.449 unit (47.39 persen) telah selesai dibangun. Sebanyak 69.932 unit atau 31.43 persen masih dalam proses.
Di lapangan, masih ada persoalan pendataan, yang di antaranya terkait fasilitator rehabilitasi-rekonstruksi dan kekurangan tukang bangunan. “Rekening penyaluran bantuan belum kami terima. Padahal, sudah didata sejak 2018 lalu,” kata Ismak.
Sampai sekarang kami tidak tahu bagaimana kejelasan nasib kami. Kami menunggu relokasi tahap ketiga.
Di Lombok Barat maupun Lombok Utara, mudah dijumpai banyak hunian tetap yang masih dalam pengerjaan. Kondisinya berbeda-beda. Ada yang masih berupa pondasi, tiang-tiang yang belum dicor, hingga dinding tanpa atap.
Meski demikian, tidak di semua rumah yang sedang dibangun ada aktivitas. Sebagian besar kosong karena tidak ada tukang yang bekerja. Hal itu terjadi karena setiap menyelesaikan satu bagian rumah di titik tertentu, mereka akan berpindah ke titik lain. Dari titik kedua, mereka bisa ke titik sebelumnya atau ke berikutnya.
Masalah lebih besar dijumpai di Sinabung. Dilanda erupsi terakhir 2013, hingga kini masih ada dua ribuan hunian tetap belum selesai digarap. Bahkan, relokasi tahap ketiga baru dirancang dan peletakan batu pertama.
“Sampai sekarang kami tidak tahu bagaimana kejelasan nasib kami. Kami menunggu relokasi tahap ketiga,” kata Idawati br Singarimbun (40), pengungsi dari Desa Mardinding yang tinggal di huntara Terung Peren yang dihuni 40 keluarga.
Untuk bertahan, sebagian penghuni huntara menjadi buruh tani dengan penghasilan Rp 80.000 per hari jika ada kerjaan. Di kampung mereka yang sudah jadi zona larangan tinggal, warga punya 2-5 hektar lahan.
Survei Litbang Kompas, mayoritas responden (di atas 50 persen) penyintas menyebutkan membutuhkan hunian tetap (57,0 persen) dan bantuan modal usaha (50,5 persen).
Di Jakarta, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Bernardus Wisnu Widjaja mengatakan, menjaga konsistensi data jadi salah satu tantangan utama proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Data pengungsi berdasar nama dan alamat yang sudah ditandatangani bupati atau wali kota pun sering berubah. Sementara, sistem administrasi pemerintahan tak bisa cepat mengakomodir hal itu.
“Kami sekadar mendampingi, yang mendata pemerintah daerah. Penanganan pascagempa Nusa Tenggara Barat juga sama, selalu muncul pendataan baru,” kata dia.
Untuk membantu proses pendataan pengungsi, BNPB berencana memanfaatkan teknologi, seperti dilakukan di Gunung Agung. Saat itu, BNPB menggandeng Qlue untuk menggunakan face recognition guna validasi data.
Saat ini, BNPB menjajaki kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri agar dapat mengakses data kependudukan. Ke depan tidak ada lagi satu orang menerima bantuan dua kali.
Terkait relokasi penyintas Sinabung, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo mengatakan, proses relokasi bukan hal mudah. Salah satu tantangannya, lamanya pengurusan izin dan mencari lokasi tanah.
Di sejumlah daerah, bencana alam benar-benar menimbulkan dampak berkepanjangan. Sebagian di antara penyintas harus tinggal di daerah yang baru sama sekali, yang membutuhkan penyesuaian untuk melanjutkan hidup.
Indonesia sebagai negara di kawasan cincin api dengan gugusan gunung berapi aktif serta negara di atas lempengan dan sesar aktif, jelas rawan bencana geologis. Itu belum memasukkan karakteristik Indonesia sebagai negara tropis kepulauan dengan curah hujan tinggi yang berisiko bencana hidrometeorologis.
Atas semua kondisi itu, tidak bisa tidak, pemerintah harus memiliki manajemen kebencanaan yang kian hari kian mantap dan sigap menangani bencana.
Di Palu, Koordinator Sulteng Bergerak, salah satu kelompok relawan yang terlibat penanganan bencana, Adriansa Manu menyatakan, pemerintah tak memiliki kapasitas manajemen bencana. Banyak masalah yang harusnya selesai di masa tanggap darurat, hingga kini masih dialami penyintas di pengungsian, mulai dari kekurangan air bersih, pendataan pengungsi, hunian sementara, hingga hunian tetap.