Heran, Sudah 6 Tahun Menunggu
Selasa (29/10/2019) pagi, hawa sejuk melingkupi hunian sementara penyintas erupsi Gunung Sinabung di Terung Peren, Kecamatan Tinganderket, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Selasa (29/10/2019) pagi, hawa sejuk melingkupi hunian sementara penyintas erupsi Gunung Sinabung di Terung Peren, Kecamatan Tinganderket, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Namun, kesejukan itu tak jua mengusir gundah mereka yang menunggu kepastian relokasi, hingga enam tahun lamanya. Enam tahun....
Pagi itu, Yelita Sembiring (40) membujuk putrinya, Astin Singarimbun (6), agar menghabiskan sarapannya sebelum berangkat sekolah. Nasi dengan sepotong telur dadar jadi menu yang sama dengan kakaknya.
”Ayah mereka kerja di Kabanjahe, seminggu sekali pulang,” kata Yelita, menggendong anak bungsunya yang masih berumur tiga bulan. Suaminya buruh bangunan yang harus berhemat sehingga tak bisa pulang setiap hari meski jarak dari rumah hanya sekitar 30 kilometer.
Hunian sementara di Terung Peren ada 75 unit, tetapi hanya 40 unit yang ditempati sejak diresmikan pada 2017. Sebagian warga memilih mengontrak rumah. Semua penghuni berasal dari Desa Mardinding, sekitar 10 kilometer dari lokasi hunian sementara, yang masuk radius 3 kilometer dari puncak Gunung Sinabung, zona larangan tinggal.
Praktis, sejak erupsi tahun 2010, warga Desa Mardinding bedol desa, pergi dari kampung mereka.
Praktis, sejak erupsi tahun 2010, warga Desa Mardinding bedol desa, pergi dari kampung mereka. Sempat pulang sekali, erupsi susulan tahun 2013 membuat warga harus pergi selamanya.
Sejak itu pula kehidupan warga berubah. Keluarga Yelita dan yang lain harus meninggalkan rumah dan kebun seluas 2-5 hektar per keluarga di desa yang dikenal sebagai penghasil kopi itu.
Tinggal di hunian sementara dengan fasilitas MCK komunal yang sebagian besar rusak dengan aliran listrik tiga jam di pagi hari dan tiga jam di sore hari, mereka mengandalkan hidup sebagai buruh tani dengan upah Rp 80.000 per hari. Mereka juga mendapat bantuan sewa ladang Rp 2,2 juta per tahun.
Sungguh tidak mudah keluar kampung berstatus pengungsi. Bagi Yelita, hunian sementara 27 meter persegi itu persinggahan keenamnya. Beberapa anak, termasuk Astin dan adiknya, lahir selama orangtua mereka mengungsi. ”Kami masih menunggu hunian tetap, entah kapan,” katanya.
Pengungsi di Terung Peren menunggu relokasi tahap ketiga, total 1.038 keluarga. Seharusnya tahap ketiga tuntas tahun 2018, seperti ditegaskan Presiden Joko Widodo saat mengunjungi pengungsi di Karo, 14 Oktober 2018. ”Apa pun, urusan pengungsi harus didahulukan,” kata Presiden ketika itu.
Apa pun, urusan pengungsi harus didahulukan.
Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo Martin Sitepu, persoalan utama relokasi tahap ketiga adalah teknis tender yang panjang. Mereka sudah mendapat dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rp 161 miliar.
Tidak tahan
Molornya pembangunan hunian tetap tahap ketiga membuat sekitar 200 keluarga dari Desa Mardinding terpaksa membangun sendiri. Per keluarga mengiur Rp 3 juta untuk membeli lahan 2 hektar. Setelah dibagi, setiap keluarga mendapat tapak rumah 5 meter x 15 meter.
Mereka lalu membangun sendiri rumah kayu senilai Rp 25 juta per rumah. ”Saya pinjam uang dari keluarga,” kata Ersinalsal Tarigan (55), eks warga Mardinding. Awal 2019, mayoritas rumah berdiri. ”Pengungsi selesai membangun 200 rumah dengan biaya sendiri kurang dari setahun. Heran, kenapa pemerintah yang punya uang negara tidak bisa. Enam tahun kami menunggu,” katanya.
Penelusuran Kompas ke hunian sementara, hunian tetap, rumah sewa, dan rumah tenda, Senin-Rabu (28-30/10), relokasi tahap kedua terhadap 1.863 keluarga ternyata belum tuntas. Ratusan rumah terbengkalai, seperti 173 rumah di Gang Garuda, Kabanjahe.
Kompleks hunian tetap itu ditumbuhi rumput setinggi lebih dari semeter. Dinding dan atap rumah sudah dipasang. Namun, belum ada lantai, pintu, jendela, dan kamar mandi. Tembok belum diplester. Meski begitu, sekitar 20 keluarga sudah tinggal di sana. Mereka menuntaskan pembangunan dengan uang pinjaman. ”Kami mengeluarkan Rp 25 juta per keluarga,” kata Januati Pelawai (55).
Presiden juga meminta relokasi yang molor itu dituntaskan akhir 2017.
Mengenai kondisi hunian tetap itu, Martin mengatakan pemerintah tak bisa sepenuhnya mengawasi sebab program tahap kedua dilakukan mandiri oleh penyintas. Pemerintah telah menyerahkan seluruh uang bantuan untuk membeli lahan pertanian dan rumah.
Seperti diberitakan, dana relokasi tahap kedua Rp 190,67 miliar sudah ditransfer BNPB kepada Pemkab Karo, Desember 2015 (Kompas, 25/5/2016). Program itu pun seharusnya selesai akhir 2016. Presiden juga meminta relokasi yang molor itu dituntaskan akhir 2017.
Sesuai data BPBD Karo, sebanyak 290 rumah relokasi tahap kedua belum selesai dibangun. Pada tahap ini, pemerintah memberi bantuan Rp 50,6 juta untuk membeli lahan pertanian dan Rp 59,4 juta untuk membeli rumah. Masyarakat diminta membangun rumah secara mandiri di bawah pengawasan Pemkab Karo.
Masa depan terpuruk
Koordinator Forum Advokasi Sinabung (FASI) Lesma Peranginangin mengatakan, lambatnya penanganan pengungsi Sinabung membuat masa depan ribuan keluarga pengungsi terpuruk. ”Mereka kehilangan tanah, sumber perekonomian, dan tercerabut dari akar sosial budayanya. Kini, masa depan mereka juga terancam karena penanganan lambat,” katanya. FASI dibentuk sejumlah LSM dan gereja Kristen.
Kondisi itu, sedikit banyak, juga harus dialami para penyintas bencana di Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah. Banyak penyintas harus pergi dari kampung mereka, atau bahkan tanah mereka hilang, gara-gara tersedot fenomena likuefaksi. Di tengah proses rehabilitasi dan rekonstruksi, masih ada saja warga yang tinggal di tenda-tenda sejak awal mengungsi, September 2018.
Baca juga: Bantuan untuk Penyintas Palu Jadi Stimulan Ekonomi Berkelanjutan
Di Sinabung, pemerintah menargetkan hunian tetap untuk relokasi tahap ketiga rampung paling lama Juni 2020. Nantinya, para penyintas akan diberi ladang setengah hektar per keluarga agar bisa menjadi sumber ekonomi baru, seperti diterima 473 keluarga dari tiga desa dalam relokasi tahap pertama pada 2015.
Namun, sebelum hari itu tiba, penyintas yang dulu pemilik tanah harus menjadi buruh serabutan berupah Rp 80.000 per hari. Itu pun jika ada pekerjaan. Di hunian sementara Terung Peren, Yelita dan tiga anaknya terus berdoa, waktu itu segera tiba. Sejauh ini, enam tahun penantian, bagi mereka masih belum cukup.