Kebakaran Lahan Hanguskan 161.476 hektar Lahan Gambut di Sumsel
Kebakaran lahan di Sumatera Selatan menghanguskan lahan seluas 255.904 hektar. Sebagian besar kawasan yang terbakar adalah lahan gambut.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS - Kebakaran lahan di Sumatera Selatan menghanguskan lahan seluas 255.904 hektar. Sebagian besar kawasan yang terbakar adalah lahan gambut. Hal ini dikhawatirkan akan membuat lahan gambut di Sumsel semakin kritis. Potensi asap akan kembali terjadi karena dalam tiga hari ke depan, potensi hujan di Sumsel minim.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan, Ansori, Senin (4/11/2019) menerangkan, kebakaran lahan di Sumsel sampai saat ini sudah menghanguskan lahan seluas 255.904 hektar.
Kebakaran terluas ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan 135.622 hektar, kemudian Kabupaten Banyuasin seluas 46.717 hektar, dan Kabupaten Musi Banyuasin seluas 41.345 hektar.
Apalagi masyarakat menilai, dengan membakar bisa menjadi tambahan pupuk bagi tanaman, ungkap Bambang.
Sampai saat ini, kebakaran pun masih terjadi di Sumsel. Delapan helikopter bom air dikerahkan untuk memadamkan api di sejumlah lokasi seperti di Kecamatan Kayu Agung, Tanjung Lubuk, Lalan dan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sebaran titik panas per 4 November 2019 sebanyak 25 titik, 21 diantaranya ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Berdasarkan hasil rekapitulasi luasan kebakaran itu, ucap Ansori, sebagian besar lahan yang terbakar adalah lahan gambut. “Itulah sebabnya, kebakaran lahan di Sumsel sulit dipadamkan,” katanya.
Dari 255.904 hektar luas kebakaran di Sumsel, 161.476 hektar diantaranya merupakan kawasan gambut sedangkan sisanya seluas 94.428 hektar berada di kawasan non gambut.
Ansori menerangkan, dari jumlah 161.476 hektar gambut yang terbakar itu, 66.292 hektar diantaranya berada di indikatif fungsi budidaya ekosistem gambut, sementara 95.184 hektar berada di indikatif fungsi lindung ekosistem gambut.
Dosen Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Bambang Prayitno mengungkapkan, saat ini kondisi gambut di Sumatera Selatan sudah sangat mengkhawatirkan. Sebagian besar rusak karena kebakaran lahan dan juga penerapan transmigrasi tanpa pembekalan pengelolaan lahan gambut.
Menurut Bambang, saat program transmigrasi diterapkan petani yang kebanyakan berasal dari Jawa dan Bali itu tidak dibekali bagaimana cara untuk mengelola lahan gambut. Akibatnya, mereka melakukan penamanan dengan cara membakar (sonor) baik untuk tanaman pertanian ataupun perkebunan.
Di awal penerapannya, ujar Bambang, memang tidak ada dampak signifikan yang terjadi karena kebakaran belum terjadi secara masif. Hanya saja, tindakan tersebut mengikis keberadaan lahan gambut itu sendiri. “Apalagi masyarakat menilai, dengan membakar bisa menjadi tambahan pupuk bagi tanaman,” ungkap Bambang.
Padahal, pengelolaan gambut tidak sama dengan pengelolaan tanan mineral. “Yang terpenting adalah tata kelola air. Bukan membakar seluas-luasnya atau menggali sedalam-dalamnya," ujar Bambang yang juga menjadi Tim Ahli Badan Restorasi Gambut.
Pemerintah beri izin
Hal ini juga terjadi di level korporasi, dimana pemerintah memberikan izin untuk menanam komoditas yang tidak ramah gambut di atas lahan gambut. Dalam penelitiannya, ujar Bambang, kawasan gambut yang masih baik hanya di kawasan Sugihan kanan, Kabupaten Ogan Komering Ilir tepatnya di jalur 30-35.
Kawasan itupun kini terancam dengan keberadaan perluasan plasma sawit. Apabila lahan gambut terus dibakar maka, akan terkikis dan akhirnya akan menjadi tanah aluvial atau mineral.
Untuk mengantisipasi kerusakan gambut yang lebih parah, pemerintah diharapkan memberikan sosialisasi kepada warga dan perusahaan terutama tata kelola air di lahan gambut.
“Lahan gambut sudah terlanjur ditanami, sekarang kita fokuskan pada sosialisasi pengelolaan lahan gambut dan menjaga gambut yang masih ada,” kata Bambang.
Kepala Seksi Obesrvasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Bambang Beni Setiaji mengatakan, seiring adanya pusat tekanan rendah dan Badai Tropis Hatlong di Laut Cina Selatan mengakibatkan menguatnya massa udara dingin dari Australia (Muson Australia). Kondisi ini membuat lapisan udara atas kembali kering dan berangin kencang yang akan menghambat pertumbuhan awan hujan di wilayah Sumsel.
Alhasil, potensi hujan akan kembali minim, sebaliknya asap akibat kebakaran lahan dan hutan berisiko meningkat pada 6-8 November 2019. Kondisi ini bersifat sementara (fluktuaktif) karena secara meteorologi kondisi posisi matahari dan angin masih di musim peralihan.
Beni memaparkan, kondisi intensitas asap tetap berpotensi terjadi di Sumsel dikarenakan wilayah-wilayah yang memiliki jumlah titik panas yang signifikan belum terpapar hujan.
Apalagi kawasan yang terbakar merupakan lahan gambut dalam. Hanya hujan sistem konvektif berskala meso (mesoscale convective system/MCS) dengan indikasi awan hujan (cumulonimbus) yang memanjang lebih kurang 200 kilometer diyakini dapat memadamkan titik-titik panas akibat karhutla.