Memahami Kekinian Papua
Paruh 2019 kembali jadi titik nadir pembangunan wilayah Papua yang telah dirintis pemerintah selama ini. Rentetan kerusuhan sosial belakangan ini jadi pengingat bahwa penyelesaian persoalan Papua belum banyak beranjak.
Paruh 2019 kembali menjadi titik nadir pembangunan wilayah Papua yang telah dirintis pemerintah selama ini. Rentetan kerusuhan sosial yang terjadi belakangan ini menjadi lonceng pengingat bahwa penyelesaian persoalan Papua selama ini belum banyak beranjak.
Mencermati Papua, dari sisi kesatuan wilayah, masyarakat, berikut segenap kompleksitas persoalannya, sama saja membaca kisah yang berulang. Berjalan tertatih semenjak paruh periode 1960-an, relatif senyap dalam periode 1970-1990, dan kembali beriak pada era setelahnya. Kini, Papua terseok lagi dalam menata kembali eksistensi sosialnya.
Semua kisah berulang Papua dapat ditelusuri dari berbagai peristiwa. Bahkan, dalam arsip pemberitaan Kompas sejak tahun 1965, sudah begitu banyak diungkapkan jejak kerentanan problem sosial Papua. Parahnya, hingga kini persoalan dan penyelesaian tetap saja sama.
Pada 22 Juli 1965, misalnya, upaya mendorong kemajuan Papua sudah tersampaikan. Hasil kunjungan Team 9 Partai-partai Politik ke Irian Barat (nama Papua dahulu) mengungkapkan adanya sambutan positif masyarakat jika ”karantina politik” dibuka. Karantina politik diterapkan setelah kedudukan Papua bagian barat berada pada Indonesia selepas 1 Mei 1963.
Kini, Papua terseok lagi dalam menata kembali eksistensi sosialnya.
Kedudukan Papua dalam RI menjadi lebih pasti setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Tokoh Team 9 Partai, seperti Walujo SH (PNI), Moh Nadjib (NU), Sudjito (PKI), H Sapari (PSII), Asmy A Suliki (PI Perti), Drs B Mangreng Say (Katolik), Victor Matondang (Parkindo), dan Moh Supardi (Partindo), menyimpulkan, publik (di Irian Barat) menginginkan pemberlakuan aturan yang sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia untuk semua bidang. Bidang-bidang itu meliputi pemerintahan, ketatanegaraan, sosial, ekonomi, dan kultural.
Sebagai kelanjutan dari dibukanya karantina politik, para tokoh partai politik itu juga berharap pemerintah mempertimbangkan penghapusan ”karantina moneter dan ekonomi”. Begitu pula, guna mengatasi keterbelakangan dan keterasingan daerah Irian Barat, mereka juga menyampaikan keinginan agar Provinsi Irian Barat dimekarkan menjadi tiga daerah provinsi, yaitu daerah utara (Sukarnapura, kini Jayapura), daerah Teluk Cenderawasih (kepala burung Manokwari), dan daerah selatan (Merauke).
Tidak sampai seminggu harapan disampaikan, 26 Juli 1965, terjadi insiden baku tembak di Manokwari antara kelompok warga dan militer. Hari-hari berikutnya berlanjut dengan operasi militer terhadap sebagian kalangan yang mendeklarasikan negara Papua Merdeka di Manokwari.
Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena menyatakan, peristiwa di Manokwari merupakan bentuk dari kesalahpahaman. Setelah bertemu dengan pemuka agama dan Sekretaris Koordinator Irian Barat, Leimena menyimpulkan, ”karena Irian Barat baru kembali ke pangkuan RI, di mana petugas-petugasnya datang dari luar Irian Barat, sehingga timbul salah tindak antara petugas yang datang dengan masyarakat Irian Barat sendiri, antara lain dalam penyaluran bahan pokok kebutuhan masyarakat yang acap kali tidak sampai kepada masyarakat” (Kompas, 17/9/1965).
Selang setengah abad
Setengah abad kemudian, tepatnya Senin (19/8/2019), kembali kerusuhan terjadi di Manokwari. Bermula dari protes tindak rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, beberapa waktu lalu, di Manokwari massa membakar kantor DPRD Papua Barat, sejumlah kendaraan, dan berbagai fasilitas publik. Selanjutnya, aksi-aksi serupa juga terjadi di Sorong, Timika, Fakfak, Jayapura, dan berbagai belahan wilayah Papua lainnya.
Yang menarik, pasca-kerusuhan, berbagai upaya mencari duduk persoalan Papua banyak dibicarakan. Begitu pula tawaran-tawaran solusi terhadap Papua dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Salah satunya seperti yang pernah diusulkan Team 9 Partai Politik tahun 1965 lalu, Papua perlu dimekarkan wilayahnya.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, ada tiga wilayah di Papua yang menginginkan pemekaran provinsi, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Namun, kesepakatan terkini oleh masyarakat baru pada Provinsi Papua Selatan. Artinya, kelak setidaknya terdapat tiga provinsi di Papua, yakni Papua, Papua Barat, dan Papua Selatan. Ketiga provinsi tersebut tidak jauh berbeda dengan usulan tahun 1965.
Ironisnya, jarak senjang Papua demikian lebar dengan wilayah lain.
Jika dalam kurun waktu setengah abad persoalan Papua tidak bergeser, bagaimanakah kisah kehidupan sosial ekonomi masyarakat Papua? Seberapa jauh pencapaian mereka, terutama jika dibandingkan dengan provinsi lain?
Setengah abad lebih Papua menjadi bagian dari RI, perkembangan kondisi sosial ekonomi kesejahteraan masyarakat tentu saja terjadi. Namun, perkembangan Papua tampaknya menjadi serba relatif, terutama jika disandingkan dengan perkembangan provinsi-provinsi lain.
Betapa tidak, semua indikator kesejahteraan menempatkan provinsi di Papua (Papua dan Papua Barat) dalam posisi bawah. Ironisnya, jarak senjang Papua demikian lebar dengan wilayah lain. Bahkan, pada beberapa persoalan, perlu satu generasi waktu untuk mengatasi ketertinggalan.
Menelisik IPM
Ukuran kesejahteraan paling baku adalah dengan menelisik Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kawasan Papua. Indeks ini mampu menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tahun 2018, skor IPM rata-rata Indonesia 71,39. Terbesar di DKI Jakarta (80,47). Sebaliknya, terendah di Provinsi Papua (60,06). Artinya, jarak di antara kedua provinsi terentang sebesar 20,41. Apa yang dapat disimpulkan dari perbedaan jarak tersebut? Jika dihitung dari kecepatan pertumbuhan IPM selama lima tahun terakhir dari kedua provinsi, diperlukan waktu lebih dari 35 tahun bagi Papua mencapai kondisi IPM di DKI Jakarta.
Jika kemajuan desa dijadikan ukuran, setali tiga uang. Indeks Pembangunan Desa (IPD) desa-desa di Pulau Jawa dan Bali mencapai skor tertinggi (67,8). Pada sisi lain, desa-desa di kawasan Papua menjadi kawasan dengan nilai indeks terendah (35,6). Dengan kondisi demikian, jarak senjang di antara kedua kawasan tersebut sebesar 32,25. Perbandingan di tingkatan kabupaten, Tolikara dan Nduga menjadi dua kabupaten terbawah. Jika dibandingkan dengan desa-desa di Provinsi Bali (desa dengan indeks tertinggi), dibutuhkan sekitar 40 tahun lagi mengatasi ketertinggalan.
Suatu kondisi yang riil setengah abad tidak berubah.
Selain kesejahteraan, ukuran demokrasi juga menempatkan provinsi-provinsi di Papua dalam posisi terbawah. Hasil perhitungan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dilakukan BPS dapat dijadikan rujukan. Indeks yang merangkum indikator kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan demokrasi di suatu provinsi itu menunjukkan bahwa skor tertinggi tahun 2018 ada di Provinsi DKI Jakarta (85,09). Skor tersebut jauh di atas rata-rata skor Indonesia (72,39). Sementara itu, skor indeks terendah di Provinsi Papua Barat (58,29).
Dengan demikian, skor DKI Jakarta dan Papua Barat berjarak hingga 26,79. Dengan besaran jarak perbedaan, terbilang cukup lama bagi Papua Barat untuk mengatasi ketertinggalannya. Jika menghitung kecepatan rata-rata peningkatan indeks demokrasi provinsi ini satu dasawarsa terakhir, guna memangkas jurang perbedaan itu, setidaknya perlu waktu hingga 25 tahun.
Jika diperluas dengan beragam ukuran indeks ataupun indikator lain, hampir semua konsisten menunjukkan posisi ketertinggalan Papua dan Papua Barat dibandingkan dengan provinsi lain di negeri ini. Suatu kondisi yang riil setengah abad tidak berubah. Itulah mengapa, dari segenap dialektika Papua yang tergambarkan, baik dari rentetan peristiwa konflik yang berlangsung, duduk persoalan, maupun penyelesaian, tampaknya posisi Papua tidak banyak beranjak.
Hanya dimensi waktu saja yang menjadi unsur pembeda. Kondisi-kondisi berjarak semacam ini yang mempertebal kesan keterasingan (alienasi) Papua dan Papua Barat dengan provinsi lain. (Litbang Kompas)