Persoalan Klasik JKN: Antre Lama hingga Keterbatasan Obat
Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN hingga 100 persen mulai awal 2020 diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan bagi para pesertanya.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN hingga 100 persen mulai awal 2020 diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kesehatan bagi para pesertanya. Pasalnya sampai sekarang, mereka selalu dibuat repot saat hendak menggunakan fasilitas kesehatan tersebut. Dari harus antre berjam-jam hingga ketersediaan obat yang terbatas.
Kerepotan peserta JKN itu setidaknya terlihat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta Pusat, Senin (4/11/2019).
Pasien harus antre untuk mendapatkan nomor pendaftaran, kemudian harus menunggu lama untuk diperiksa dokter, dan kembali harus menunggu saat mengambil obat yang dianjurkan oleh dokter. Pasien yang datang pagi hari, baru bisa menyelesaikan urusannya di rumah sakit, sore hari.
Matrais (68), salah satu peserta JKN yang ditemui di RSUD Tarakan, misalnya. Dia tiba di rumah sakit pukul 08.30 untuk memeriksakan kondisi jantungnya. Pemeriksaan yang wajib dilakukan secara rutin sejak enam tahun lalu.
Dia harus menunggu 3,5 jam sampai urusan administrasi pendaftaran usai. Selanjutnya, dia harus kembali menunggu pemeriksaan oleh dokter di Poliklinik Jantung. Berjam-jam lamanya dia menunggu sampai dipanggil. Padahal pemeriksaan oleh dokter biasanya singkat, tidak sampai 15 menit.
"Biasanya bisa pulang baru pukul 16.00 setelah dapat obat di apotek," ujar Saipul (22), anak Matris yang selalu menemaninya berobat.
Kerepotan Matris tidak hanya di rumah sakit. Setiap tiga bulan dia harus memperbarui surat rujukan ke rumah sakit. Oleh karena itu, dia harus kembali ke fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas untuk dibuatkan surat rujukan ke rumah sakit. Padahal untuk berobat di puskesmas dan memperoleh surat rujukan, juga butuh waktu berjam-jam.
Selain itu, rumah sakit rujukan selalu berubah-ubah yang membuat warga Petojo Utara, Jakarta ini repot. Sebelum di RSUD Tarakan, Puskesmas Petojo Utara pernah merujuk Matris ke RS Pelni, RSAL Mintohardjo, RS Menteng Mitra Afia, dan RS Budi Kemuliaan.
Ketersediaan obat
Selain harus antre berjam-jam, mereka mengeluhkan terbatasnya tenaga medis dan keterbatasan obat-obatan.
Menurut Saipul, biasanya ada dua dokter yang memeriksa pasien tetapi hari ini, hanya satu dokter yang bertugas. "Perawat bilang dokternya ada operasi di rumah sakit lain atau masih rapat," katanya.
Adapun stok obat yang terbatas adalah obat pengencer darah. Matrais yang seharusnya mendapatkan dua strip, hanya memperoleh satu strip. Satu strip lainnya terpaksa dibeli di apotek lain. Untuk ini tidak ditanggung oleh JKN. Dia harus mengeluarkan uang dari kantong pribadinya. Padahal harga obat mencapai Rp 250.000 per strip.
Lamanya antrean untuk bisa berobat dengan JKN di RSUD Tarakan juga dikeluhkan Sarimi (70). Dia datang jauh-jauh dari Tangerang, Banten dengan menggunakan angkutan umum, dan sudah tiba di RSUD Tarakan, pukul 05.00.
Padahal waktu pendaftaran baru dibuka pukul 07.00. Itu pun tidak langsung dibuka karena hingga pukul 07.00, petugas yang biasa melayani belum ada di loket. Petugas baru tiba pukul 08.00.
"Saya dapat nomor urut satu. Tetapi antre sampai pukul 11.00 karena dokternya baru datang pukul 10.45," ujar Sarimi. Ia meninggalkan rumah sakit pukul 13.30.