Penyandang disabilitas mempunyai potensi besar untuk terus berkarya meski di tengah keterbatasan. Namun, potensi itu harus terus diasah, salah satunya lewat dukungan fasilitas pembelajaran dan pelatihan yang ideal.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Penyandang disabilitas mempunyai potensi besar untuk terus berkarya meski di tengah keterbatasan. Namun, potensi itu harus terus diasah, salah satunya lewat dukungan fasilitas pembelajaran dan pelatihan yang ideal.
Fasilitas itu dihadirkan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Art Therapy Center (ATC) Widyatama dengan meresmikan studio kriya di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (4/11/2019). Studio kriya tersebut terdiri dari ruang belajar teori dan praktik. Siswa difabel akan ditempa selama tiga tahun di lembaga pelatihan itu. Studio tersebut adalah hibah dari Kompas 100 CEO Forum.
“Dukungan fasilitas ini sangat penting memberdayakan kemampuan siswa difabel. Ini modal penting untuk mengaktualisasikan diri di dunia kerja,” ujar Direktur ATC Widyatama Anne Nurfarina, Senin.
Meskipun baru dibuka tiga bulan, Anne optimistis jurusan kriya mempunyai prospek cerah. Sebab, siswanya berpeluang bekerja di industri kreatif yang produknya banyak diminati. Saat ini, tercatat ada enam siswa di jurusan kriya.
Oleh sebab itu, ATC Widyatama aktif menjalin kerja sama dengan industri. Anne mengatakan, pihaknya telah mendapat proyek pembuatan desain hijab dari perusahaan fesyen Aleza. Menurut Anne, hal itu menunjukkan kemampuan penyandang disabiltas tidak kalah dengan lulusan pendidikan umum. Dia berharap, semakin banyak industri memberi kesempatan berkarya.
Kesempatan penyandang disabilitas masuk ke dunia kerja telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam pasal 53, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit dua persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Sementara perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Namun, menurut Anne, dalam prakteknya, aturan tersebut belum diterapkan dengan baik.
“Dalam beberapa kasus, difabel tidak dipekerjakan sesuai keahliannya. Jadi, kurang diberdayakan, hanya formalitas,” ujarnya.
Koordinator Kriya di ATC Widyatama Anunsiata Srisabda mengatakan, hibah studio kriya sangat membantu pihaknya dalam kegiatan belajar mengajar. Selain dilengkapi beragam alat menggambar, ada juga perkakas untuk membuat beragam jenis kriya. Dia berharap, fasilitas itu meningkatkan kemampuan siswa disabilitas untuk membangun kesetaraan kompetensi melalui pendidikan vokasi.
“Semoga semakin banyak dukungan fasilitas seperti ini sehingga stigma penyandang disabilitas tidak mampu bekerja dapat dihapus,” ujarnya.
Selain jurusan kriya, LPK ATC Widyatama juga sudah lebih dahulu membuka jurusan desain grafis dan seni musik. Sebelum meresmikan studio kriya, digelar wisuda 14 siswa dari kedua jurusan itu.
Engkos Kosasih (58), salah satu orangtua wisudawan, mendorong ATC Widyatama meningkatkan jenjang pendidikan difabel hingga tingkat sarjana. Dia juga berharap kerja sama dengan industri diperkuat. “Anak-anak disabilitas memiliki potensi dalam dirinya. Jadi, berikan mereka kesempatan pendidikan dan berkarya yang sama,” ujarnya.
Anak-anak disabilitas memiliki potensi dalam dirinya. Jadi, berikan mereka kesempatan pendidikan dan berkarya yang sama
Dalam peresmian studio kriya itu, ACT Widyatama menyerahkan sertifikat penghargaan kepada Kompas CEO 100 Forum. Sertifikat itu diterima Kepala Desk Nusantara Harian Kompas Gesit Ariyanto.
Gesit berharap, peresmian studio kriya menjadi langkah kecil untuk mengembangkan kemampuan siswa-siswa difabel yang besar. “Kompas sebenarnya hanya menjadi alat. Kompas ada untuk menjadi tujuan-tujuan besar yang harus kita sokong dan jalani bersama,” ujarnya.