Tak Sebatas Kewenangan, Struktur Inspektorat Daerah Ikut Diperkuat
Inspektorat Daerah dimungkinkan untuk menambah inspektur pembantu yang akan membantu kerja kepala inspektorat. Tak hanya itu, akan ada jabatan baru yang tugasnya menyelidiki saat indikasi penyalahgunaan tercium.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penguatan Inspektorat Daerah untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme di pemerintah daerah tidak semata dari sisi kewenangan. Inspektorat Daerah dimungkinkan untuk menambah inspektur pembantu yang akan membantu kerja kepala inspektorat. Tak hanya itu, akan ada jabatan baru yang tugasnya menyelidiki saat indikasi penyalahgunaan tercium.
Terbukanya kemungkinan untuk menambah inspektur pembantu itu tertera di Pasal 60 dan 79 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah. Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Inspektorat Daerah tipe A terdiri atas maksimal lima inspektur pembantu, tipe B terdiri atas paling banyak empat inspektur pembantu, dan tipe C, maksimal tiga inspektur pembantu.
Ini mengubah Pasal 60 dan 79 aturan sebelumnya, yaitu PP Nomor 18 Tahun 2016. Pada aturan lama, jumlah inspektur pembantu di Inspektorat tipe A paling banyak empat orang. Adapun pada tipe B tiga inspektur pembantu, dan tipe C dua inspektur pembantu.
Inspektur pembantu memiliki tugas membantu kepala inspektorat, dan membawahi jabatan fungsional yang melaksanakan fungsi pengawasan.
Selain dimungkinkannya penambahan inspektur pembantu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar, di Jakarta, Senin (4/11/2019), mengatakan akan ada jabatan baru yang tugasnya menyelidiki.
“Personel yang ada di jabatan baru itu bertugas untuk menginvestigasi kasus khusus, terutama indikasi kuat tindak pidana korupsi,” katanya.
Bahtiar menambahkan, tenaga investigatif itu masuk dalam kategori jabatan fungsional, yaitu pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, yang bernaung di bawah Inspektorat Jenderal Kemendagri. Mereka memiliki tugas yang spesifik, yaitu investigasi kasus tertentu.
Personel yang ada di jabatan baru itu bertugas untuk menginvestigasi kasus khusus, terutama indikasi kuat tindak pidana korupsi.
Contohnya dalam menginvestigasi dugaan korupsi yang terjadi di instansi pemerintah, mereka harus mendalami kasus, mulai dari membongkar perencanaan, mengurai alur, dan mengungkap para aktor yang terlibat.
Oleh karena itu, mereka yang mengisi jabatan itu bukan sembarang orang. Mereka setidaknya harus dibekali pengetahuan akan metodologi dan analisis investigasi. Untuk itu, Kemendagri akan bekerja sama dengan instansi lain yang berpengalaman dalam investigasi, seperti aparat penegak hukum dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Bahtiar, di Inspektorat Daerah sebenarnya sudah ada yang memenuhi kriteria tersebut. “Namun, jumlahnya belum memenuhi kebutuhan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Maka, kami akan merekrut pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2019,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyarankan agar tenaga investigasi yang direkrut memiliki latar belakang beragam. Tidak seperti selama ini, inspektorat didominasi oleh lulusan akuntansi dan keuangan.
Ini penting karena area rawan korupsi sudah melebar ke bidang lain misalnya pengadaan barang, perizinan, dan birokrasi. Korupsi di level daerah juga biasanya dipengaruhi corak politik lokal yang lekat dengan politik dinasti. Oleh karena itu, pengawas harusnya memahami betul bidang-bidang rawan korupsi tersebut.
Dia pun mengingatkan agar temuan tenaga investigatif itu tak sekadar menjadi temuan administrasi. Temuan yang mengarah pada pidana harus bisa ditindaklanjuti ke ranah hukum.
“Jika temuan soal pidana tidak bisa ditindaklanjuti secara hukum, inspektorat justru bisa dimanipulasi untuk memproteksi korupsi,” ucapnya.
Selain penguatan struktur organisasi inspektorat daerah, seperti diberitakan sebelumnya, PP No 72/2019 yang disosialisasikan pada akhir Oktober lalu memperkuat pula kewenangan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) atau dikenal juga dengan sebutan inspektorat.
Dalam PP itu misalnya, Inspektorat Daerah bisa langsung memeriksa jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang, termasuk indikasi korupsi. Pemeriksaan tidak perlu didahului penugasan dari kepala daerah. Selain itu, pemeriksaan juga bisa dilakukan tanpa sepengetahuan kepala daerah.
Ini mengubah cara kerja sebelumnya karena posisi inspektorat merupakan subordinat kepala daerah.
Hasil pemeriksaan pun tidak wajib dilaporkan ke kepala daerah. Sebaliknya, inspektorat di level provinsi wajib melaporkannya ke menteri. Adapun di level kabupaten/kota, inspektorat wajib melaporkannya ke gubernur.
Selain itu, PP memberi fungsi tambahan kepada inspektorat, yaitu menjadi koordinator pencegahan tindak pidana korupsi.
Kemudian untuk mencegah inspektorat diberhentikan atau dimutasi karena memeriksa penyalahgunaan di pemda, PP melarang kepala daerah sesuka hati memberhentikan atau memutasi inspektorat. Pemberhentian atau mutasi harus didahului konsultasi tertulis dengan menteri untuk inspektorat level provinsi dan gubernur untuk level kabupaten/kota.