Resah Menanti Tahun Berganti di Huntara Lombok Utara
Akhir Desember 2019, mereka diminta meninggalkan kompleks huntara yang berada sekitar 28 kilometer sebelah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB).
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Jam menunjukkan pukul 16.30 Wita ketika beberapa pemuda berkumpul di sisi barat kompleks hunian sementara (huntara) penyintas gempa bumi di Dusun Karang Montong Daya, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Rabu (30/10/2019). Selain balok-balok kayu kecil, berbagai perlengkapan tukang, seperti gergaji, palu, dan paku, turut mereka bawa.
Sore itu, para pemuda hendak membuat tandu hias. Tandu untuk mengarak salah satu anak penghuni huntara yang akan disunat. Mereka terlihat kompak mengerjakan setiap bagian tandu. Sesekali, saling melempar lelucon yang memancing gelak tawa.
”Beginilah cara kami menghilangkan kepenatan di huntara yang sudah hampir setahun ditempati,” kata Lalu Hamdi (32), salah satu penyintas.
Tahun lalu, kompleks huntara ini tergenang banjir. Bahkan, masuk ke dalam rumah. Kami khawatir, tahun ini juga kembali terjadi.
Namun, suasana itu hanya bertahan ketika mereka berkumpul. Setelah kembali ke unit huntara masing-masing, keresahan kembali datang. ”Kalau malam, masing-masing susah tidur. Itu karena harus memikirkan bagaimana nasib kami di akhir tahun nanti,” kata Hamdi.
Akhir Desember, mereka diminta meninggalkan kompleks huntara yang berada sekitar 28 kilometer utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB), itu. Lahan yang digunakan sebagai lokasi huntara yang dihuni sekitar sepuluh keluarga itu bukan milik pemerintah dan hendak disewakan.
”Bagi penyintas yang rumahnya sedang dibangun, bisa punya tempat. Kalau yang tidak punya, jelas kebingungan dan pasti resah,” kata Hamdi.
Sri, penyintas lainnya, menuturkan, hunian tetapnya saat ini masih dikerjakan. Ia memperkirakan sudah sekitar 70 persen, tinggal pemasangan pintu dan jendela. ”Sebenarnya sudah bisa ditempati, tetapi saya menunggu dulu sampai benar-benar selesai,” kata Sri.
Sementara, bagi penyintas lain yang hunian tetap belum selesai, bahkan belum dikerjakan, harus berpikir keras agar Desember mendatang bisa pindah dengan tenang. Hamdi, misalnya, berencana meminjam uang di bank untuk membangun rumah sendiri.
Rumah Hamdi sebenarnya masuk kategori rusak ringan, tetapi ia dan keluarganya memutuskan tidak kembali karena khawatir bencana susulan. ”Luarnya memang seperti rusak ringan, retak-retak saja. Tetapi di dalam, lebih parah. Kami takut kalau balik ke sana bangunannya ambruk. Jadi, rencananya pinjam uang untuk bangun di tempat lain,” ujarnya.
Menurut Hamdi, selain karena diminta pindah pada akhir tahun, tinggal di rumah sendiri jauh lebih baik daripada huntara, terutama bagi anak-anaknya. Pascagempa, anaknya yang berusia dua tahun terkena pneunomia atau infeksi paru.
Karena terkendala uang, tidak sedikit penyintas yang meminjam uang ke bank.
”Posisi huntara ini di pinggir jalan. Setiap hari masuk debu. Apalagi sedang kemarau. Kalau tetap di sini, anak saya akan sulit sembuh. Bahkan, bisa semakin buruk,” kata Hamdi.
Tidak hanya ancaman musim kemarau, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memperkirakan musim hujan akan datang pada akhir November mendatang. Hal itu membawa ancaman baru bagi para penyintas, yakni banjir. Sisa banjir berupa lumpur setinggi sekitar 50 sentimeter bisa dilihat di dinding huntara.
”Seperti tahun lalu, huntara ini dilanda banjir. Apalagi posisinya rendah. Air tidak hanya datang dari sungai yang meluap, tetapi juga dari pinggir jalan. Tahun lalu, setelah menyelamatkan barang-barang, saya bersama keluarga mengungsi ke rumah mertua,” kata Hamdi.
Penyintas gempa yang menempati huntara di Karang Montong Daya memang bukan satu-satunya yang resah. Penyintas yang tinggal di huntara-huntara lain juga merasakan hal serupa. Sebut saja di Desa Menggala, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
”Tahun lalu, kompleks huntara ini juga tergenang banjir. Bahkan, masuk ke dalam rumah. Kami khawatir tahun ini juga kembali terjadi. Dengan rumah yang belum jadi, kami tidak punya pilihan lain,” kata Ahmad Haris (39), salah satu penyintas di Desa Menggala.
Pemulihan ekonomi
Selain resah karena ancaman bencana alam, para penyintas gempa juga belum bisa memulai kehidupan secara normal, termasuk ekonomi. Di beberapa huntara, penyintas membuka warung kelontong yang menjual barang-barang keperluan sehari-hari.
”Hitung-hitung untuk mennambah biaya hidup di sini,” kata Madhar (64), penyintas di huntara Desa Menggala.
Menurut Madhar, selain membuka warung kelontong, para penyintas juga ikut menjadi tukang pembangunan hunian tetap. Mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk menunjang ekonomi. Mengolah sawah atau ladang juga terkendala air yang langka akibat musim kemarau.
Di Dusun Trengan Daya, Pemenang Timur, karena belum bisa mengolah sawah, selain jadi tukang, warga pergi ke kebun untuk mengambil biji jambu mete atau kelapa. Biji jambu mete itu kemudian dijual ke pengepul. ”Tetapi, harga kelapa juga turun. Sekarang hanya Rp 3.600. Biji mete juga dari semula Rp 24.000 sekarang Rp 15.000 per kilogram,” kata Zahir (40), penyintas di Dusun Trengan Daya.
Menurut Zahir, mereka tidak tahu penyebab anjloknya harga. ”Kami tetap harus jual karena harus makan. Belum lagi bahan kebutuhan pokok naik. Jadi, tolonglah, kalau tidak bisa mempercepat pembangunan huntap, pemerintah bisa bantu menjaga harga,” ujarnya.
Madhar menuturkan, karena terkendala uang, tidak sedikit penyintas yang meminjam uang ke bank. Itu untuk modal usaha atau kebutuhan sehari-hari. ”Tetapi itu justru jadi masalah. Kadang, istri berutang dan suaminya tidak tahu. Ketika ditagih, jadi ribut di keluarga,” katanya.
Menurut dia, meminjam uang bisa jadi akan terus dilakukan penyintas selama tinggal di huntara. Tinggal di huntara membuat mereka sulit untuk memulai kehidupan normal seperti sebelum gempa.
Penyintas gempa di Lombok tidak hanya terpukul sekali oleh gempa besar bermagnitudo 7,0 pada Agustus 2018. Pukulan-pukulan lain terus datang, seperti ketidakpastian hidup di huntara, ketidakjelasan pembangunan huntap, ancaman bencana hidrometeorologi, kesehatan, dan trauma yang tak kunjung pulih.