Tutup Pembahasan Pasal Bermasalah, DPR Bakal Sahkan RUU Kontroversial
DPR bakal mengesahkan sejumlah RUU kontroversial, seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan. Komisi III DPR pun kemungkinan akan menutup ruang pembahasan pasal bermasalah dari RUU itu.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR bakal mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang kontroversial, seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Komisi III DPR pun kemungkinan akan menutup ruang pembahasan sejumlah pasal bermasalah dalam RUU kontroversial tersebut.
Saat ini, para anggota Komisi III hanya perlu menyosialisasikan sejumlah poin bermasalah dari beberapa RUU yang kontroversial, tanpa perlu mengubah substansi dari pasal-pasal tersebut.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Hery mengatakan, kemungkinan besar tidak ada lagi ruang pembahasan untuk RKUHP dan RUU Pemasyarakatan karena poin-poin bermasalah tersebut hanya perlu disosialisasikan. Hal ini ia sampaikan seusai rapat internal Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (04/11/2019).
”Kalau pembahasan itu, kan, perlu membongkar lagi pasal-pasal yang bermasalah, sedangkan kalau sosialisasi tidak perlu membongkar lagi. Tanpa ada perubahan substansi, kami akan sosialisasikan kedua RUU ini,” ucapnya.
Menurut Herman, saat ini Komisi III DPR sedang menyusun jadwal sosialisasi. Targetnya sosialisasi ini akan dilaksanakan ke kampus-kampus dan kepada kelompok masyarakat sipil.
Sebelumnya, mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil melakukan aksi demo untuk mendesak agar RKUHP dan RUU Pemasyarakatan ditunda pengesahannya dan permintaan tersebut dikabulkan Presiden Joko Widodo.
Dalam draf RKUHP masih lebih dari 20 pasal yang masih bermasalah, antara lain mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 2 dan 598); hukuman mati (Pasal 67, 99, 100, dan 101); pengaturan makar (Pasal 167); penghinaan presiden, pemerintahan yang sah dan lembaga negara (Pasal 218, 219, 240, 241, 353, dan 354); tindak pidana agama (Pasal 304); dan kesusilaan (Pasal 417 dan 419).
Selain itu, terdapat juga pasal bermasalah yang mengatur kriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran (Pasal 470-472); tindak pidana peradilan atau contempt of court (Pasal 281 dan 282); tindak pidana penghinaan (Pasal 440-449); tindak pidana korupsi (Pasal 604-607); dan pelanggaran HAM berat (Pasal 599 dan 600).
Kemudian, RUU Pemasyarakatan juga bermasalah karena tak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Kalau pembahasan itu, kan, perlu membongkar lagi pasal-pasal yang bermasalah, sedangkan kalau sosialisasi tidak perlu membongkar lagi. Tanpa ada perubahan substansi, kami akan sosialisasikan kedua RUU ini.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, sudah tidak perlu ada lagi yang dibahas dalam poin-poin yang ada di RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. DPR juga kemungkinan akan mengesahkan kedua RUU tersebut pada Desember 2019 atau Januari 2020.
”Sebelumnya, kami sudah melakukan pembahasan tingkat satu dan akan segera dibawa ke pembahasan tingkat dua. Jadi, untuk apalagi dibahas kembali ke tingkat satu?” katanya.
Menurut dia, pasal-pasal bermasalah tidak perlu dibongkar lagi, tetapi hanya perlu dipertajam penjelasannya. Saat ini, DPR juga hanya tinggal menunggu pandangan pemerintah, apakah ingin membahas ulang atau tidak.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, masyarakat belum terlalu paham terkait substansi yang ada di dalam RUU bermasalah ini sehingga perlu dijelaskan dengan cara sosialisasi. Menurut dia, nantinya kedua RUU ini akan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
”Adanya penolakan dari masyarakat karena adanya kesalahpahaman informasi yang mereka terima. Oleh sebab itu, DPR dan pemerintah memiliki kewajiban untuk menyosialisasikan pasal yang bermasalah tersebut,” tuturnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah berharap ada pembahasan kembali sejumlah pasal yang kontroversial dalam draf RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Namun, menurut dia, ada pula beberapa pasal yang tidak perlu diperbaiki.
”Seperti pasal tentang penghinaan presiden, itu harus tetap ada karena menyangkut soal martabat,” katanya.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, DPR tidak bisa hanya melakukan sosialisasi tanpa melakukan pembahasan lebih lanjut. Menurut dia, sudah ada aturan mekanisme luncuran (carry over) yang ada dalam pasal UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (P3).
”Untuk apa hanya ditunda pengesahannya, tetapi tidak kembali dibahas lagi pasal-pasal yang bermasalah. Seharusnya DPR memanfaatkan hal ini untuk kembali membahas pasal-pasal yang bermasalah. Jika tidak, tentunya hal ini akan kembali memunculkan penolakan dari masyarakat,” ucapnya.