Warga perumahan Pluit Putri di Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, memprotes penebangan pohon-pohon di lahan sengketa.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga perumahan Pluit Putri di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, memprotes penebangan pohon-pohon di lahan sengketa. Mereka menilai PT Jakarta Utilitas Propertindo (PT JUP), pengelola lahan itu, mengorbankan ruang terbuka hijau serta tidak menghormati proses hukum.
”Kerugiannya, yang pasti tambah panas, tambah gersang, waktu pemotongan berisik sehingga mengganggu ketenangan kami, dan polusi meningkat,” kata Ketua Forum Warga Pluit Putri RT 003, 005, dan 006 RW 006 Pluit, Rosa Aliandoe, dalam penyampaian aspirasi pada Senin (4/11/2019) di depan lahan sengketa itu. Lahan yang sejak awal berdirinya perumahan difungsikan sebagai fasilitas sosial milik publik tersebut juga merupakan sumber oksigen karena warga menanami dengan pohon-pohon.
Warga kesal karena pohon-pohon yang ditebang sudah berusia puluhan tahun dan berukuran besar. Rosa mengatakan, pohon-pohon di sana ditebang pada Sabtu-Minggu (2-3/11/2019). ”Saya tinggal di kompleks ini sejak 1980, sudah ada pohonnya,” ujar Rosa.
Dalam pantauan pada Senin siang, lahan fasilitas sosial terdiri dari area berisi pohon-pohon dan tanaman, bangunan semi-terbuka berupa gazebo, serta lapangan olahraga. Terdapat area lahan yang dibatasi dinding seng dan semua pohon di dalam dinding itu sudah ditebang. Potongan-potongan kayu masih tergeletak.
Kuasa hukum warga Pluit Putri, Hengky Hendratno, menambahkan, PT JUP dinilai tidak mengikuti kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sedang mengejar penambahan ruang terbuka hijau (RTH) DKI agar mencapai luas total 30 persen terhadap luas wilayah Ibu Kota. Pada saat pemerintah provinsi kesulitan mencari lahan untuk membuat RTH, PT JUP sebagai anak usaha PT Jakarta Propertindo—badan usaha milik DKI—malah mengurangi lahan RTH.
Saat ini, luasan RTH baru 9,9 persen terhadap luas Jakarta. Padahal, berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Jakarta menargetkan total luas RTH 30 persen dari luas wilayah DKI tercapai pada 2030.
Selain soal RTH, protes warga juga terkait dengan pandangan tentang tidak dihormatinya proses hukum sengketa lahan tersebut. PT Jakpro mengklaim memiliki lahan ini, seperti tercantum dalam papan informasi di depan lahan.
Namun, tutur Hengky, semestinya tidak ada kegiatan apa pun—termasuk pembersihan lahan dan penebangan pohon—di lahan sengketa sampai ada keputusan inkracht dari pengadilan. Warga Pluit Putri menggugat Kepala Unit Pelayanan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jakarta Utara karena terbitnya IMB untuk pendirian sekolah. Proses sidang belum selesai di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Ada juga papan di depan lahan yang memuat informasi dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI bahwa terdapat izin mendirikan bangunan baru berlantai tiga di sana. Lahan seluas 1.107 meter persegi dari luas total hampir 4.000 meter persegi memang akan dijadikan sekolah yang dijalankan Bina Tunas Bangsa School.
Rosa mengecamnya karena IMB terbit tanpa persetujuan warga. ”Selama ini memang ada sosialisasi untuk membangun sekolah, tetapi tidak pernah ada keputusan dari warga untuk menyetujuinya,” ujarnya.
Lurah Pluit Ahmad Rosiwan meminta semua pihak menahan diri sampai ada keputusan dari pengadilan terkait status lahan yang disengketakan. Soal ada atau tidaknya izin untuk penebangan pohon di lahan tersebut, ia menyatakan itu bukan ranah kewenangannya, tetapi DPMPTSP. ”Kami di kelurahan dengan PTSP hanya berkoordinasi,” katanya.
Sejauh ini, yang diketahui kelurahan adalah bahwa IMB pendirian sekolah sudah terbit. Jika proses mendapatkan IMB itu tidak disertai persetujuan warga setempat, Rosiwan menilai, kemungkinan itu karena terdapat pemangkasan birokrasi agar pelayanan perizinan lebih lancar.
Andika Silva, Kepala Departemen Corporate Secretary and Legal PT JUP, mengatakan, warga bisa saja mengklaim tidak memberikan restu pada pembangunan sekolah di lahan itu. Namun, penerbitan IMB oleh PTSP menunjukkan, PT JUP tidak melanggar regulasi apa pun. Tidak keluar dari koridor hukum adalah hal yang paling penting bagi PT JUP.
Selain itu, berdasarkan zonasi, lahan itu masuk wilayah coklat serta H2. Dengan demikian, pembangunan sekolah, menurut Andika, diperbolehkan. Namun, pembangunan taman dan ruang terbuka dalam rencana PT JUP tidak ditinggalkan sehingga sebenarnya keinginan warga setempat tetap terakomodasi.
Soal sidang di PTUN, Andika menyebutkan, pihaknya tetap melanjutkan pembangunan karena belum ada putusan yang menyatakan segala aktivitas di lahan tersebut wajib dihentikan selama proses sidang belum selesai. PT JUP akan menghentikan kegiatan jika terdapat putusan yang mewajibkannya.