Masyarakat yang akan melakukan jual-beli tanah harus waspada terhadap modus penggelapan sertifikat. Pelaku penggelapan bekerja sama dengan notaris untuk memuluskan aksinya.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang akan melakukan jual-beli tanah harus waspada terhadap modus penggelapan sertifikat. Pelaku penggelapan bekerja sama dengan notaris untuk memuluskan aksinya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Senin (4/11/2019), mengutarakan, Subdit Harta Benda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menangkap dua tersangka, yakni W dan notaris berinisial N yang memiliki wilayah kerja di Cianjur, Jawa Barat.
Menurut Argo, awalnya korban inisial Y hendak menjual sebidang tanah di Jagakarsa, Ciganjur, Jakarta Selatan, senilai Rp 4,5 miliar pada Mei 2019. Tersangka W berpura-pura sebagai pembeli yang serius ingin membeli tanah tersebut. W memberikan uang muka Rp 150 juta agar korban percaya.
”Korban menerima uang muka kemudian memberikan dua sertifikat hak milik untuk dibuat perjanjian jual-beli. Sertifikat diserahkan kepada N. Saat jatuh tempo tidak ada kabar. Ternyata sertifikat sudah digadaikan,” kata Argo.
Menurut Argo, tersangka W dan N diduga ada kaitannya dengan kasus mafia properti yang diungkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum beberapa waktu lalu. Polisi juga menyelidiki kemungkinan ada korban-korban lain.
Kepala Subdit Harta Benda Ditreskrimum Polda Metro Jaya Komisaris Gafur Siregar mengatakan, tersangka W terlilit utang sehingga menutup utangnya memakai sertifikat hak milik (SHM) kepunyaan orang lain. Tersangka W diketahui memiliki utang sebesar Rp 26 miliar.
”Setelah dilakukan penelusuran digital forensik ternyata ada hubungan dengan sindikat yang sudah kami serahkan ke kejaksaan,” katanya.
Gafur menuturkan, tersangka N adalah notaris di Cianjur, tetapi beroperasi di Jakarta. Sesuai dengan UU, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Masyarakat perlu pemahaman bahwa notaris memiliki wilayah kerja masing-masing.